APAKAH MASIH ADA ORANG BAIK DI NEGERI INI?

by - May 19, 2017

Indonesia.
Dari kecil, aku didoktrin bahwa kita hidup di negeri yang terkenal ramah nan hangat dengan kerukunan antar sukunya. Aku percaya, percaya sekali. 
Di eraku, sekolah negeri dengan Guru dan Siswa yang heterogen adalah sekolah paling favorit dan asik. Kami menghargai perbedaan dengan menumbuhkan semangat toleransi beragama. Saking banyaknya keragaman yang dimiliki Indonesia, justru itulah kebanggaan yang menguatkan bahwa kita kaya budaya. 
Berbeda beda tetap satu jua.
Tumbuh di lingkungan mayoritas dengan rasa aman dan tentram, tidak lantas membuatku salah paham. Termasuk menyikapi banyak kasus yang kian hari kian tajam diderukan di media,
SARA.

 Jurnalis menghindari fitnah dan pencemaran nama baik. 
Jaman sekarang makin maju dan serba bergerak cepat. Melalui media online, semua berita diterima dengan mudah, semua kasus dikonsumsi khalayak tanpa kesiapan apapun. Kekuatan media generasi ketiga ini membuat orang terlena. Dan tanpa sigap membangun filter dari diri sendiri, secara tidak sadar adu domba dengan sengit merambah ke sosial media. Sikap gegabah, tanpa tahu itu benar atau salah, berita yang langsung dishare sering menggiring perspektif salah kaprah. Sayangnya, jika berita itu terbukti tidak benar, terlanjur sudah tidak akan bisa terampuni, gara-gara fitnah sudah kadung merajalela. Aku sadar sekali, sebuah tombol sharepun bisa berakibat fatal. 

Jurnalis segera meralat setiap pemberitaan yang diketahuinya tidak akurat.
Di kasus lain, kamu merasa, kamu telah melaporkan kejadian di depan mata secara nyata. Kamu anggap itu adalah berita hangat. Up to date! Tinggal pencet HP kamu bisa live, semua orang akan tahu. Apakah kamu yakin tidak akan membuat keruh suasana? 
Berita paling heboh di sekitarku, dalam 3 hari ini, adalah konflik warga Sleman dan Magelang. Masalahnya, disinyalir gara-gara dendam ngga berkesudahan antar supporter bola. 
Aku mau gimana?
Aku pro siapa?
Aku lihat berita menyebar cepat di sosial media, whatsapp, bbm, dan semuanya! Aku merinding mau kemana-mana, merasa was-was bawa anak, dan merasa damai hanyalah impian.
Aku lahir dan tinggal di Magelang sedangkan anakku lahir di Sleman. Kamis sering bolak-balik Magelang-Sleman. KTP Magelang, plat nomor kendaraan AB.
Ada lagi, tetanggaku akhirnya naik bus gara-gara takut kasus sweeping plat nomor kendaraan. Apa ngga celaka kalo cuma gara-gara plat nomor doank, motor bisa dirusak tanpa haloo, kenalan dulu itu siapa sebenernya?
Sore tadi aku bertanya sama tetanggaku, dia jawab ternyata aman, pihak berwajib sudah siaga di jalan. Kami tenang dan bernafas lega.

Jurnalis senantiasa mempertahankan prinsip-prinsip kebebasan dan keberimbangan dalam peliputan dan pemberitaan serta kritik dan komentar.
Kamu bisa bilang kalo kasus ini norak, kampungan, dan barangkali ngga berfaedah! You named it!
Tapi,
gara-gara aku hidup dengan banyaknya pertemanan dari berbagai kalangan, aku jadi ngerti, hidup itu ngga kayak Teletubbies yang ke sana hepi ke sini hepi. Lari-lari kayak ngga ada masalah berarti dan lempeng jalani hari.
Siapa yang tahu sih, barangkali buat beberapa orang, menjadi Hooligan adalah kepuasan batin, dan ditakuti orang lain adalah kemenangan hakiki. Mana mereka mikir dan takut sama dosa! 
Lantas, apa kamu berani secara langsung ceramah di depannya? 
Menggiringnya ke jalan yang kamu sebut benar?
Padahal kamu sendiri cuma berani cuap-cuap komentar di sosial media, trus misuh-misuh pake kata-kata kotor, apa ngga lebih norak dari yang kamu sebut?
Dalam memaknai hidup, aku selalu berpikir, apa emang harus ada bentrokan gini? Apa kita mungkin perlu klimaks untuk mencapai antiklimaks? 
Ya, mungkin  kita perlu tahu yang salah hingga menjadi benar.

Jurnalis hanya melaporkan fakta dan pendapat yang jelas sumbernya.


Aku percaya, kita masih terngiang betul pecahnya kerusuhan sampit di tahun 2001. Ketika itu, suami masih SMP, masih suka bermain, berteman tanpa memandang apa latar belakangnya. Dia bercerita, selain foto dan video kekerasan yang tersebar di media, banyak juga orang dikirimi sms berisi info korban yang meninggal. 

Jurnalis tidak menyajikan berita dengan mengumbar kecabulan, kekejaman kekerasan fisik dan seksual.
Sms yang diforward secara random itu membuat suasana makin panas. Entah berapa banyak korban meninggal, yang jelas teror saling bunuh antar suku menjadi traumanya hingga kini.

Jurnalis menggunakan cara-cara yang etis untuk memperoleh berita, foto dan dokumen.
Suami pernah berkata bahwa perang primitif jauh lebih menyeramkan dibanding headshot. Maka jangan heran jika suamiku ngga suka status berbau provokatif dan menyebar kebencian. Beberapa teman yang dia kenal, bakal dikomentari langsung "udah deh" "cukup" "ngga perlu diterusin".
Percuma soalnya.
Kalo temen yang dia anggap deket, pasti dia message pribadi dengan bicara baik-baik, kasih penjelasan, kasih saran. 
Mana mau suami melihat dan merasakan lagi perang sodara cuma gara-gara salah komunikasi?
Mana ada orang yang mau negerinya diporakporandakan gara-gara adu domba semata? 
Benar katanya, cukup.

Jurnalis menghindari kebencian, prasangka, sikap merendahkan, diskriminasi, dalam masalah suku, ras, bangsa, politik, cacat/sakit jasmani, cacat/sakit mental atau latar belakang sosial lainnya.

Jadi,
apakah kita masih terbuai dengan berita provokatif yang menyudutkan? Apakah kita sadar kalo selama ini kitalah yang menyulut api peperangan?
Kemana perginya kerukunan di masyarakat?
Mana Indonesia yang katanya ramah tamah?
Berbuat baik itu ngga melulu soal kamu kudu meyakinkan orang agar berbuat benar.
Memaksa orang agar hidup sesuai jalannya.
Berbuat baik itu berasal dari diri sendiri.

Ah, apalah aku ini? Seorang Ibu rumah tangga biasa yang kamu sematkan julukan mudah sensitif dan mudah baper.
Kamu ngga salah kok.
Nyaris benar.
Ada masalah kecil aja mikirnya kayak mau akhir jaman dan bereaksi spontan yang kadang dianggap berlebihan. Tapi yang harus kamu tahu, seorang Ibu itu jadi lebih peka karena sikap sensitifnya. Aku termasuk pemerhati di dunia maya, dan jangan salah, aku ngga dengan gampangnya share berita yang aku sendiri ngga tahu.
Aku juga bawa perasaan dalam melihat masalah, dengan menimbang apa hikmah dibalik ini semua, menelaahnya kemudian bisa memeluk anak secara tiba-tiba. Karena sesungguhnya, jauh dibenak kami, kami yakin anak adalah harapan negeri paling berharga.
Selalu, aku lantunkan doa doa suci untuk anak-anak kami. Generasi pemersatu negeri ini.


Semoga ketika hari ini aku bertanya apakah masih ada orang baik di negeri ini? Jawabannya masih ada, yaitu

KAMU.

You May Also Like

8 komentar

  1. Bener banget bundaaaa. Di jaman sekarang begitu serem apalagi nanti di jaman anak2 kita besar nanti. Tantangannya bgtu besar untuk kita dalam mendidik anak2 kita. Walau bgtu kita ga boleh putus harapan. Pasti mash ada org2 baik di dunia ini. Yuk kita sama2 mendidik anak2 kita nanti menjadi salah satu orang2 baik itu dunia akherat 😃

    ReplyDelete
  2. Masih banyak orang baik. Harapan itu harus terus ada. Kalo kesal sama tukang sulut, kadang cuma tinggal buka pintu tengok jalan kanan dan kiri, lebih peka sama kebaikan di sekitar.

    ReplyDelete
  3. Jaman makin maju, tapi pikiran dan moral manusia makin mundur. Ngeri juga Mba, ga cuma di Indonesia saja, di India pun sama. Kalau di sini media banyak yang "dibayar" oleh parpol besar hehe sepertinya sama aja sih ya?

    ReplyDelete
    Replies
    1. Ya Tuhan, sama mirisnya ya mbak. Asal kita bisa bawa diri kemana-mana moga2 kita selalu dalam keadaan aman. :)

      Delete
  4. amiin, semoga masih banyak orang baik lainnya

    ReplyDelete