HIKMAH DIBALIK PERCERAIAN ORANG TUA

by - July 07, 2017

Bagaimanapun, perceraian selalu menyisakan luka pada setiap ceritanya.
Mungkin aku bukan satu-satunya orang yang tegar dan kuat menghadapi perpisahan kedua orang tuaku. 
Mungkin aku ngga layak buat ngasih wejangan sedangkan aku termasuk anak baru dalam menghadapi rumah tangga.

Tapi cobalah dengar kisahku, aku janji kisahku akan jadi semangatmu.
***

Dari aku kecil sampai menginjak remaja, aku adalah anak rumahan. Ya, kalo kamu mau tahu, aku banyak dilarang keluar rumah karena di luar cukup keras dan orang tua menganggapku terlalu lemah. Tubuh kecilku selalu menjadi alasan agar aku ngga sembarang bersosialisasi dan membuka mata. Lumayan masih beruntung karena ketika mama papa bekerja, sementara aku dititipkan di rumah nenek, yang cuma beda kampung doank. Aku bersyukur, barangkali jika aku tidak menghabiskan siangku di rumah nenek, mungkin aku ngga akan merasakan rindu.

Rindu kisah masa kecilku.

Kami hidup di daerah yang sering orang sebut sebagai black list area. Itu juga sebabnya pertemanan kami dibatasi. Kampung kami berisi masyarakat heterogen. Dari polisi, ulama bahkan pencuri semua ada di kampung ini.

Mama papa dipandang cukup berada, sedangkan teman sebayaku di rumah nenek, nyaris berbeda. Tapi semua teman kami sebenarnya cukup baik adanya. Misalnya kami suka mainan orang-orangan. Mereka menggunakan barang seadanya, cuma berbekal bungkus rokok yang (pura-pura) jadikan sebagai tempat tidur. Lain dengan aku yang sudah dibeliin mama semacam maket kecil berbentuk rumah. Sungguh kondisi yang kontras dan membuat semua iri. Cuma gara-gara bentuk mainan yang mewah itu, mereka sering menganggapku sombong. Padahal disisi lain, aku justru merasa risih dan ingin sama kayak yang lain. Lagipula, aku ngga segan meminjamkannya pada mereka.

Pernah waktu ujian SD, banyak anak yang hanya membawa tas kresek hitam, pulpen, pensil, penghapus dan penggaris. Aku dan adikku sudah dibelikan tas kecil bergambar kartun yang lucu dan imut. Bukannya kami senang, tapi kami malah berontak dan bahkan memaksa menggantinya dengan tas kresek hitam berikut perlengkapannya.

Supaya ngga berbeda.
Supaya kami dianggap setara.
Di dalam hatiku tertanam, aku harus baik, menjaga hubungan pertemanan agar aku tidak kesepian. Kepada siapa lagi aku memohon pertemanan kalo bukan dengan mereka?
***

Aku punya dua adik, cewek dan cowok. Keluarga kecil yang tampak harmonis dan baik-baik saja. Penuh dengan tawa dan kehangatan yang sederhana. Kami menikmati hari-hari dengan selalu berkumpul dan makan bersama. Sedangkan waktu weekend, biasanya mama papa mengajak kami berlibur santai dan menikmati family time.

Hal yang sangat lumrah terjadi.

Kami berusaha bergembira sepanjang jalan. Bercanda tawa dan bercerita seperti keluarga pada umumnya. Papa selalu  mengisahkan pada kami tentang keadaan orang di desa dan masa kecilnya yang membuat kami harus bersyukur. Aku selalu yakin setiap kami pergi keluar bersama, kami tidak sedang pergi berlibur, tapi orang tuaku sedang memberiku wawasan dengan segala kebaikan. Mereka lakukan dengan sangat hati-hati. Sekali lagi, orang tuaku mendoktrinku keras: dunia penuh dengan kebahagiaan.

Sesuatu yang indah, tapi nantinya, lambat laun aku akan mengerti bahwa dunia tidak cuma kelembutan belaka, dunia banyak warna.

Aku menikmati moment kumpul keluarga ini walopun kami sering menyembunyikan apa yang kami rasakan. Aku sebenarnya merasa kesepian, aku ingin menyentuh langsung seperti apa yang orang lain lakukan. Family time itu terasa kurang, karena di rumah aku hanya cuma bisa membaca majalah, menulis puisi, menonton tv. Setiap hari.

Jenuh.

Kebosanan itu berubah seusai kuliah, di mana aku harus mandiri dan siap dicaci. Di sinilah aku mengenal: Keragaman. Pelan-pelan aku mulai membentuk jati diriku yang kuat dan kokoh menghadapi alam semesta. Aku banyak berteman dengan siapa saja dan tumbuh menjadi pribadi yang keras dan ambisius dalam bekerja. Kuliah sambil bekerja. Lulus tepat waktu. Dan membuktikan kalo aku bisa.
***

Meniti karir tidaklah semudah yang kita bayangkan. Menghadapi kenyataan sama hal nya dengan kita harus sigap walopun harus mengubah haluan.

Aku menikah dengan orang yang sama-sama bekerja di industri media. Sungguh sesuatu aku idamkan, aku ngga perlu ngotot jika nantinya aku meneruskan impianku yang tertunda. Kami sering menjadi satu tim yang solid dan menjadi kawan baik selama produksi berlangsung. Semua orang nyaman dengan hubungan kami. Rumah tangga yang baru dijalani seakan menjadi energi baru untuk sekitar kami.

Semua pertemanan ikut menjadi keluarga baru kami.

Namun sesuatu terjadi setelah aku melahirkan. Tepat pagi hari setelah aku bisa istirahat sejenak karena semalam caesar, mama memberitahuku kalo mama sudah mengajukan gugatan cerai.
Kamu tahu rasanya?

Obat bius yang belum 100% hilang ini rasanya kebas lagi. Dan entah kenapa jahitanku malah nyeri. Kontras dan membingungkan.

Mama bilang, mama memang tidak cocok dengan papa.

KLASIK.

Bagaimana mungkin mama merasa ngga cocok, padahal mereka berdua adalah panutan di kampung. Padahal label keluarga baik-baik menjadi tujuan utama mereka. Dan lucunya, mereka selalu kompak kalo urusan memarahiku. Ketika aku salah, bahkan mereka bersatu hingga aku bingung mana yang harus dibenarkan.

Dimana letak ketidakcocokan tersebut?
Mengapa harus sekarang?
Bukankah dengan kehadiran seorang cucu akan membuat mereka lengkap dan bahagia?
Dunia tidak sedang baik-baik saja,
walopun anakku baru saja lahir ke dunia.
***

Singkat cerita, setelah beberapa bulan kami mengalami banyak kejadian yang tidak terduga, aku dan suami memantapkan hati pidah ke Magelang.


Semua impianku dan keinginanku dalam meniti karir hilang sudah. Aku banyak menolak tawaran produksi, banyak berurai air mata karena ini bukan asa yang aku cari. Aku banyak mengorbankan waktu untuk hal yang tidak aku harapkan sama sekali.
Tinggal di magelang bukan persoalan mudah, dan membuatku dipandang sebelah mata karena tidak produktif.

Mereka hanya tahu luarnya saja.

Ah, persetan mereka bilang aku ngga berkembang, tahu apa mereka dengan kondisiku?
Dibenakku, keluarga adalah yang terdepan. Siapa lagi yang bisa menjadi penengah, siapa lagi yang bisa memperbaiki semuanya?
Aku hampir tertutup dan malu. Lama-lama kehidupanku menjadi berjarak tanpa mengenal rasa berbagi. Aku lupa bahwa bercerita bisa meringankan bebanku selama ini.
***

Sebuah jeda yang cukup lama, walopun hanya dalam beberapa bulan saja. Tapi buatku -yang cukup ekstrovert- itu sudah membuang waktu lama agar semua reda. Aku lantas membuka hati dan nyali. Banyak menerima tawaran dan produktif lagi.
Pernah pada suatu hari, teman dekatku datang, dan bertanya kabar mama papaku. Aku jawab,
Oh mereka baik-baik saja, tapi sudah resmi bercerai.
Temanku langsung menyahut kaget kenapa aku ngga memberinya kabar. Otomatis aku berkelakar, kalo aku memberitahunya apa semua akan berubah?

Sebenarnya, aku merasa senang ternyata banyak yang masih peduli pada kami. Semua orang menyesalkan langkah yang orang tuaku buat. Semua mengira kami selalu dalam keadaan tentram dan nyaman. Aku cuma bisa terdiam dan mengiyakan. Sesekali aku bercanda karena mungkin orang tuaku memasuki puber kedua.

Sudahlah, sekarang aku terlanjur terbuka. Kamu mau ngomong apa terserah, aku sudah terima.

Bahkan dengan senang hati, aku sudah ngga kepoin whatsapp mama papa atau sosial medianya. Mengetahuinya sama dengan menyakiti diriku sendiri, karena mereka sudah mempunyai kehidupan masing-masing. Berpisah rumah, rumah yang nantinya akan aku rindukan kehangatannya.
Aku hanya ingin merengkuh mereka walopun secara terpisah. Paling tidak, aku berada di tengah, yang selalu ada untuk semua kebutuhannya. Semua berawal dari hal-hal yang sangat kecil. Uluran tangan seperti suamiku yang selalu siap saat mama membutuhkan bantuan menganti lampu, memperbaiki antena rusak, atau mengganti galon dan gas tiap minggu. Atau dengan sikap terbukaku, yang akan selalu ada sebagai sandaran saat mama butuh dan tidak ragu menceritakan padaku.
Atau ketika papa butuh cerita melalui telepon yang lama -yang barangkali waktu masih muda- kupingku akan sakit luar biasa. Tapi kini aku terima dengan lapang dada. Akan selalu dengar ceritanya, hanya supaya bisa memberikannya nafas lega.
***

Semua perceraian pasti akan menjadi cerita pilu. Tapi bagaimana cara kita untuk tetap bisa melangkah maju.


Suamiku pernah berkata padaku,
Sekarang ini, banyak orang tidak mencari kebenaran. Mereka sibuk mencari-cari kesalahan.
Benar, aku yakin kamu juga setuju. Aku percaya, kalo aku masih memihak salah satu orang tuaku, akan menjadi bumerang bagi diriku sendiri. Aku berada di posisi tengah. Posisi yang harus tegas menentukan arah, menjaganya tetap tegak dan kokoh walopun diterpa angin.

Aku harus jadi panutan untuk anakku, menjadi istri yang baik untuk suamiku.

Semakin banyak cerita yang menggerus tentang perceraian, justu malah mengokohkanku menjadi pribadi yang hangat dan relevan.

Semakin aku dihantam keegoisan, akan menjadi kekuatanku untuk selalu bertahan.
Semakin banyak sindirian tentang keluargaku, tidak akan merobohkan nama keluargaku.
Aku ngga akan takut dalam menghadapi segala drama rumah tangga. Persoalan itu pasti ada, dan kebersamaan keluarga kecilku akan menjadi pembuktian aku masih baik-baik saja
Pernikahan harus dilandasi rasa cinta.

Taruhlah cinta pada bagian terakhir dalam rumah tanggamu. Karena, ketika kamu sibuk beragumen dan bertengkar hebat pada hal hal yang tidak kamu sukai, bagian terakhir itulah yang akan menjadi alasan kenapa kamu harus bertahan.

Atau jika kamu menang karena egomu terlalu besar, kamu harus ingat,
kemana lagi kamu akan pulang?

You May Also Like

7 komentar

  1. Semangat ya Mba :). Pasti ada hikmah mengapa mba dan keluarga harus melalui peristiwa yg memilukan ini.

    ReplyDelete
  2. Ga bisa berkata banyak, rasanya mau peluk mba aja walau belum kenal. Salam kenal ya Mba :')

    Semangat!

    ReplyDelete
    Replies
    1. Perhatianmu lewat baca ini lebih dari cukup mbak, salam kenal ya :)

      Delete
  3. Semua ada hikmah dibalik kesedihan. Jangan terlalu berpikir negatif. Intinya ambil positif nya aja. Semoga allah memberi kemudahan dan jalan keluarnya.

    nurazizahkim.blogspot.com

    ReplyDelete
    Replies
    1. sudah baca sampe tuntas, mbak?
      thanks udah mampir btw.

      Delete
  4. Aku bingung harus berkata apa, bahwa yg orgtua mba alami skrg sedang saya jalani. Bru proses Perceraian. Bagaimana aku menjelaskan kpd anakku nanti yg masih 5thn.
    Mbak tetp semangat, bagaimanapun orgtua ttep syg sm mbak. Syukuri yg udh di dapet sama mereka sehat dan kesempatan pintu surga masih terbuka lebar bt mba 😊

    ReplyDelete