KARENA BUAH JATUH TAK JAUH DARI POHONNYA

by - January 27, 2018

Judul dari "kata pepatah" tersebut, mungkin paling cocok buat kasus aku sama Alya. Yaitu punya sifat yang hampir sama. Masih mending donk kalo sifat baik yang aku turunkan, lha ini sifat buruknya juga nurun. Fiuh, drama apalagi sih ini? *pasang kuda kuda*


Perlu digarisbawahi, bahwa sifat dan sikap itu berbeda. Sifat konon adalah bawaan lahir dan cenderung berinteraksi ke diri sendiri. Sifat ada yang baik atau buruk dan terbentuk oleh lingkungan dan pengalaman yang dialaminya.

Sementara sikap merupakan bentuk perlakuan kita terhadap orang lain. Apa yang nampak adalah sikap kita, perilaku kita. Baik cara bicara, berjalan, penuh kasih sayang atau tukang bantah, itu sikap yang ditunjukkan.

Nah, sifat sama watak beda lagi. Kalo watak tidak bisa diubah dan identik dengan kebiasaan buruk. Tapi kalo sifat, bisa mengalami ketidakstabilan apalagi anak-anak. Karena anak-anak kan dalam tahap belajar. Mereka juga sering menirukan tabiat orang-orang di sekitar.

Anak kecil memang datang seperti kanvas putih yang mau digambar apa juga bisa. Artinya, anak-anak itu sangat gampang terkena dampak keadaan. Semakin umurnya bertambah, semakin mudeng pula dia memahami apa yang dihadapinya. Maka, disinilah peran orang tua dan orang terdekatnya yang sangat dibutuhkan. Karena lewat kita yang dewasa inilah, anak bisa memfilter apa yang baik untuknya.

Aku ambil contoh ya.
Beberapa tahun yang lalu, aku pernah shooting di pemukiman kumuh. Tepatnya di belakang salah satu Universitas Negeri kota Yogyakarta. Kami lagi mencari talent dadakan karena format shootingnya sendiri adalah reality show. Pemukiman padat penduduk yang berada di pinggir rel kereta api tersebut, mayoritas penghuninya dapat dikatakan masyarakat menengah ke bawah. Hidup berdampingan dengan hiruk pikuk kota besar dan berdekatan pemukiman mewah. This is life lah pokoknya.

Waktu menunggu talent terpilih, kami duduk di pinggir rel. Tak berapa lama kemudian, datang seorang bapak dan anak kecil, yang mungkin berusia dua tahunan. Masih digendong kok, aku inget banget. Mereka lantas ikutan ngobrol sama kami.

Tahu apa? Beberapa kali anak kecil itu melontarkan kata-kata kayak:
"acuuu...ajiguuul"

Diulang-ulang terus, sampai kami bingung mau nanggepinnya bagaimana. Bapaknya cuek. Orang orang di sekitarnya juga sudah terbiasa.

Buat yang belum tahu, kata-kata itu kasar banget dan jorok. Aku sendiri ogah deh nerjemahin ke bahasa sebenarnya. Sumpah enggak tega. Tapi kami cuma nyengir aja. Mau negur mana berani, bapaknya aja tampang gali. Eh enggak tampang aja dink, preman kok. Beneran preman! Bingung kan jadinya. Trus pas bahas di mobil akhirnya pada bilang:
"Ohlha pantes... Wong tuone wae ngono"
-___-

Saking seringnya menemui hal seperti ini, kami anggap bukan perkara mudah untuk bisa mengubah sifat. Toh yang penting kami datang dan bermaksud sama baiknya. Akhirnya, kami hanya bisa diam sambil membatin saja. Enggak usah ikut campur pokoknya, daripada kenapa-kenapa.

Dont get me wrong.
Bagi aku, diam bukan berarti enggak memikirkan. Demi apapun, yang sudah terekam itu selalu jadi bahan pembelajaran.

Aku jadi was-was mendidik anak. Takut nantinya terkontaminasi oleh hal-hal yang tidak aku inginkan seperti tadi. Kalo bisa mah, anakku jangan sampe kenal sama kekerasan dan kata-kata kotor. Gimana pun caranya ya menghindarkan jauh-jauh dari perusak moral generasi bangsa.

Enggak bisa dipungkiri bahwa masih ada beberapa orang tua yang masa bodoh dalam mendidik anak. Udah mengandung, melahirkan, momong, mana anak rewelan pula. Lupa deh, ngurus anak adalah kewajiban orang tua. Anak itu rejeki, anak itu refleksi kita. Siapa kita, ya itulah jadinya anak kita.

Bukan cuma aku lihat dengan mata kepala sendiri. Noh, di sosmed banyak disebar, anak kecil bisa merokok plus ngomong jorok. Dibombong pula. Makin jadi deh akhirnya.

Apa yang dibanggakan dari anak yang bisa merokok dan ngomong jorok? Certainly enggak ada. Jadi omongan, iya!

via GIPHY

Perbedaan cara berpikir itu dikarenakan oleh adat, budaya, lingkungan serta tingkat pendidikan. Rasanya kok kayak enggak adil ya kalo mikir gini. Tapi kebenaran itu nyata dan masih ada.

Time goes by.
Semua yang sudah aku pikirkan matang-matang itu kadang lupa begitu saja. Yaaa...ada benarnya lah kalo kalian bilang, aturan buat dilanggar. Yang melanggar biasanya yang buat aturan. Sengaja atau tidak sengaja, jenuh dan jengah karena aturan ternyata memaksa.

Punya anak tentu punya segudang masalah. Aku sendiri sering banget kelepasan emosi dan inilah yang dicontoh Alya kemudian. Kecil-kecil begini, anak kan peniru ulung. Sayangnya mereka belum tahu mana yang baik dan mana yang buruk.

Even aku itu lebih sering jaga image di depan anak, tapi makin kesini aku makin menampakkan sifat asli. Karena aku pikir, Alya kan sudah mudeng, jadi harus tahu mana yang bikin mama seneng, mana yang bikin mama marah, dan mana yang bikin mama sedih.

Namun, aku sendiri kurang sadar. Aku meluapkan emosiku di depan Alya. Yang paling parah, bahkan beberapa kali aku ketus-ketusan sama suami. Aku kan kalo marah, ya harus diungkapin. Apa-apa harus dikomunikasiin, jadi abis itu plong. Enggak ada dendam enggak dipikir jadi beban. Cuma ya itu, enggak lihat kondisi dulu langsung main marah aja. 

Alya tahu itu semua. Dan aku selalu nyesel akhirnya.

Baca juga : Maafkan Mama, Nak

Saking seringnya aku keceplosan dan beberapa kali terlihat marah, menjelang umur tiga tahun Alya sudah menampakkan sifat aslinya. Dia ikutan galak. Berlaku buat semua, pukul rata. Asal ada yang bikin dia enggak suka, ya udah, langsung keluar sifat jeleknya. Wajahnya cemberut, nunjukkin sikap marah, dan bentak.

Pernah ya, kami beli baju di bringharjo. Kok ya ndilalah, ibunya yang jual baju ketus abis. Ditanyain harga baju, malah dijawab "lha situ niat beli enggak?".

Aku sama suami males urusan kayak gini di depan orang banyak kan. Jadi kami selow, enggak ambil pusing. Kami enggak tawar langsung beli deh. Orang cocok dan murah juga kok.

Alya nih yang kami anggap enggak ngerti apa-apa, tiba-tiba teriak "Alya enggak mau baju iniiii"

Sepasar noleh deh kayaknya. Kami malu lah jelas. Tapi ibu penjual malah jadi enggak enak hati. Mungkin dia pikir, sikap ketusnya dibales sama Alya kali ya. Sumpah, aku enggak nyangka. Sampe ibu itu malah berubah ngebaikin kita. Kali itu aku merasa, AHA ada gunanya ya Alya galak.

via GIPHY

But yeaah, itu kebetulan yang tidak direncanakan. Emangnya seberapa banyak manfaat baik ketimbang efek buruknya? Kan cuma sedikit presentasenya. Alya galak itu memang sering bikin keki temen-temennya. Jarang lah dinakalin, padahal dia paling kecil lho di lingkungannya.

Tapi efek buruknya banyak. Dia jadi sering memulai pertengkaran. Mulai berani bentak temennya kalo udah ganggu mainan dia. Trus juga enggak sungkan nunjukkin kemarahannya di depan siapapun. Pede amat kan.

Huhuhu, akhirnya ketakutan itu terjadi.
Aku pasti dibilangin: "Ohlha pantes, wong tuone wae yo ngono"
-___-

The conclusion is:
Roger that!
Aku jadi mengerti dan inget sama si bapak preman tadi. Nyahaha.

Ada juga sih, anak preman yang malah pinter. Anak pejabat tinggi malah narkoba. Kadang bukan kesalahan orang tua, tapi lingkungan yang turut serta. Tapi ingat, mendidik anak dan membentuk sifatnya itu tugas berat boss. Kalo bisa sih, kita aja kan ya yang gesrek, anak jangan. Kita boleh bego, anak jangan. Anak harus lebih baik dari kita.

Aku harus bisa mendidik anak dengan baik dan menyenangkan. Dimulai dari diri sendiri dulu lah. Masak aku komplain sama cara mendidik orang lain tapi aku sendiri menanamkan sifat yang keras?

Kecil memang. Tapi dampaknya banyak.
Sekecil apapun aku marah, itu merupakan contoh buruk bagi anak. Dia lah yang menjadi cerminan kita. Sifat apapun bisa dicerna mentah olehnya.

Disinilah letak aku yang belajar banyak dari Alya. Aku harus bisa meredam emosiku. Lihat situasi dan kondisi. Marah kan bukan solusi, mana katanya pernah jadi Guru Komunikasi. Heleeeh teori doank mah.

Yayaya. Besok lagi kalo lagi gondok, aku kudu bisa menata emosi. Misalnya pergi bentar beli ice cream, tidur di kamar sendirian, dengerin musik dengan tenang, atau... pergi yoga!

Hmmmm.
Mantep lah. Jadi ada alesan buat kongkow jalan-jalan. 😋

You May Also Like

18 komentar

  1. betul juga, anak perempuanku mirip dg aku kalau lg kesel jutek banget

    ReplyDelete
  2. Betul mbak. Lucunya anakku kedua karakter ibu bapaknya ada di dia. Kdg gemes kadang nyadar sendiri jadinya

    ReplyDelete
  3. anakku yang gede itu Mbak (sudah remaja).., Bapake banget, makin ke sini makin kaku..keras kepala. Maka, mereka berdua sering enggak ada yang mau ngalah ..Lha aku yang kegelian, bapak anak sama aja..-harusnya bapaknya yang ngalah apa ya? atau anaknya :D

    ReplyDelete
    Replies
    1. Yah hahaha. Lucu pasti ya. Malah geli sendiri jadinya.

      Delete
  4. Wooowww!!...😱😳

    Lhaa!! kalau buahnya jatuhnya disungai terus hanyut kebawa air gimana...? 😄😱

    Yaa! sifat anak sama seperti ibunya biasanya pada anak kedua...Kalau anak pertama lebih dominan kebapaknya...

    Dan itu berlaku bila usia anak sudah 17 tahun keatas.😄😄

    Kalau masih kecil atau 5 sampai 7 tahun itu cuma spontanitas anak...juga bisa pengaruh keadaan lingkungan serta kelakuan dari kita sebagai orang tua tanpa kita sadari..😄

    Intinya perangai buruk orang tua jangan terlalu menyolok didepan anak...

    ReplyDelete
  5. iya ya. gak hanya orang tua dan keluarga, lingkungn jug bisa membentuk karakter anak
    disini sebagai orang tua kita harus jeli dalam membesarkan anak. terutama dalam pergaulannya

    Salam kenal kembali Mbak :)
    semoga silaturahmi terus berjalan ya

    ReplyDelete
    Replies
    1. Terimakasih sudah mampir :)

      Betul mbak, sudah tugas kita ya. Hehe.

      Delete
  6. Kalau saya lebih mirip ayah apa ibu ya.. mmm, mikir..he
    Salam kenal ya, Teh.
    Pernah kesini atau belum ya aku..

    ReplyDelete
    Replies
    1. Kayaknya belum mas. hehehe. Makasih sudah mampir ya.

      Delete
  7. Anakku cerewet walaupun laki mirip kayak aku, soalnya bapaknya diem hahaha

    ReplyDelete
  8. Anak kecil itu mirip spons ya, gampang bgt nyerapnya... Anak saya jg suka niru gaya marah saya huhu...

    ReplyDelete
    Replies
    1. Betul mbak. Emang kudu ekstra ngasih pengertian ya :)

      Delete
  9. Aku jd penasaran apa arti kata2 yg diucapkan anak td mba :D.

    Aku agak kuatir jg anakku keikut temen2nya yg mungkin terbiasa omong kasar. Apalagi lingkungan rumah ku bukan komplek. Anak2nya ga bisa dibilang baik semua. Kdg aku aja bisa dgr kalo mereka lg teriak2 dan ngucapin kata kasar. Jd takut anakku yg skr masih 2 thb, ntr lama2 terpengaruh -_- .. Berat memang tanggubg jwb sbg ortu ya mba :)

    ReplyDelete
    Replies
    1. Wah itu kata-kata kasar dan umpatan mbak. Sedih aku. Memang filter terbesar dari orang tua sih ya.

      Delete