TENTANG PILIHAN MENJADI FREELANCER

by - January 24, 2018

Sore ini, Magelang dikabarkan hujan es. Beritanya santer sampai mana-mana. Lucunya, kabar tersebut justru kami dengar dari kerabat dan sanak sodara yang mengkhawatirkan kami yang sebenarnya sedari siang di rumah saja. Iya, dengan teduh menikmati derasnya hujan dan bersyukur karena: kami bisa selalu bersama. Aku dan suami bersyukur karena pekerjaan kami banyak di rumahnya. 

Blogpost kali ini, aku mau cerita tentang pekerjaanku sehari-hari sebagai seorang freelancer. Seperti yang kalian tahu, aku kerap kali merasa jenuh. Engga jarang aku merasa kudu sesekali keluar rumah. Keluar rumah adalah salah satu kunci kebahagiaan. Keluar rumah adalah kebebasan. 

Tapi sore ini jadi lain. Kondisi cuaca yang sedang ekstrim dan rentan penyakit ini membuatku kembali bersyukur. Aku di rumah baik baik saja. Pekerjaanku tetap kelar, dan anak tetap dapat perhatian.

Blogpost ini juga menjawab beberapa pertanyaan teman tentang suka duka menjadi freelancer. Sekali lagi disclaimer ya, isinya tentang cerita kami. Kalian tidak bisa menyamaratakan semua kehidupan itu sama. Dan iya, aku cerita ini sekadar sharing aja, tanpa bermaksud menyinggung siapa-siapa.

So Yeah, let's tell this story properly.


Basic Story
Pekerjaan utama suamiku adalah freelance designer yang sehari-hari banyak ngendon depan komputer. Kalau sekarang dia punya klien tetap dari luar negeri, itu adalah jerih payahnya semasa bujang untuk mempersiapkan suatu hari termasuk hari ini. 

Goals: punya kerjaan yang tidak jauh dari keluarga.

Aku memilih menjadi freelancer lagi, karena setelah aku resign, tampak banyak kesempatan di depan mata. Baik itu menjadi pegawai lagi atau pekerjaan dengan sistem per project. Kalo aku memilih menjadi pegawai lagi, otomatis aku akan memulainya dari nol. Berkenalan dengan aturan dan teman baru. Meniti karir dan gaji yang tidak lantas langsung tinggi. Lumrah sih, namanya juga adaptasi.

Goals: punya bisnis sendiri yang bisa disambi momong anak.

Intinya sih, kami punya visi dan misi yang sama.

Dulu, kami dipertemukan karena sama-sama satu tim. Kerjanya di lapangan. Pantang bagi kami malas-malasan. Berpeluh matahari dan tahu kondisi terkini adalah bukti kerja keras kami. Tak jarang kami menghabiskan weekend untuk bersenang-senang.

Itu dulu, jauh sebelum memikirkan rumah tangga. Ya, ini sedikit melenceng memang. Tapi kalo punya kondisi kerja lapangan tiap hari, dan itu dilakukan baik suami maupun istri, pun dari pagi ke pagi lagi, anak kami mau ditaruh mana? 

Maka kami pun berpikiran jauuuh sekali ke depan. Salah satunya dengan memutuskan resign dan melatih skill di berbagai bidang.

Jadi freelancer, tentu saja membebaskanku pada sebuah pertanyaan: 
"Kapan kamu keluar dari zona aman?"

Benar, lingkaran pertemananku banyak yang freelancer juga. Jarang lah yang mau jadi pegawai. Tertekan katanya. Kalo tertekan kan kita engga bebas berkarya. Ya masa berkarya dibatasin. Udah gitu gajinya kalo jadi pegawai kan dikit. Iming-imingnya bulanan, tapi kerjanya romusha. 😔

Malah ngelantur. Lanjut ya.
Time flies. Kami menikah, punya anak.

Aku sama suami tidak hanya bernaung di bawah satu perusahaan. Apalagi kami juga punya usaha sampingan untuk jasa fotografi dan videografi. Harus gitu kan, namanya juga usaha.

Lambat laun, jadi freelancer menuntut kita untuk kesana kemari. Ada kalanya kami pergi untuk meet up bersama komunitas dan meeting dengan klien. Paling kalo disuruh nginep pas ada kerjaan lapangan, itu cuma hitungan hari doank. Jadi, kami lebih sering menghabiskan waktu di rumah, dengan keluarga tercinta.

Namun begitu, baik aku maupun suami pernah juga mengalami yang namanya penghasilan seret. Paling sering di tahun 2016. Tahun-tahun merangkak kalo aku bilang. Selanjutnya ya seret seret pun masih bisa disiasati, karena kami sudah pengalaman. 😐

Padahal, dalam bekerja, engga ada yang kami kurang-kurangin. Sama sekali. 
Kami tetap menabung karya. Satunya lewat blog, satunya lewat tulisan. Pun dengan keharusan momong anak, yang kadang bikin ketrucutan, bahwa anak adalah beban bersama. Huhuhu harusnya kan engga boleh begitu. Iya iya, kami paham. 

Dan kami selalu berusaha lebih dari sebelumnya. Karena barangkali, ketika kita sudah berusaha tapi hasilnya belum terasa, kemungkinan usaha kita yang belum maksimal. 

Makanya, diam-diam kami juga mencoba mengais rejeki dengan berbagai cara. Dan yang halal tentunya.  Suamiku ikut kontes desain terus-terusan tanpa pilah pilih. Akupun sama berusahanya. Dari menjual beberapa barang bekas, jualan masker, dropship, dan ikut kontes blog. 

Paling tidak, kami sudah babat alas barengan. Ya maklumlah, banyak yang bilang kalo jadi freelancer itu serba tidak pasti. Sekarang makan ubi, barangkali besok makan cheese fusilli. 

Oh, bukannya aku memberikan kalian sebuah pernyataan yang membingungkan. Bukan juga bermaksud plin plan. Tapi ini beneran terjadi. Bahwa keluar dari zona aman dan nyaman itu pasti. 

Rumit ya?
Toh, engga ada yang bilang mudah. Hehehe.

Maksudku begini, ada konsekuensi yang memang harus diambil ketika sudah menjatuhkan pilihan. Misalnya, kamu adalah seorang ibu bekerja dan nitipin anak di daycare. Tinggal di kota besar, jauh dari keluarga. Ya kamu pasti sudah memikirkan hal yang matang. Toh kamu bekerja untuk meringankan beban keluarga.

Trus ada juga yang memilih jadi ibu rumah tangga. Di posisi ini aku pernah, tepatnya setelah melahirkan. 
Ini juga pilihan tak kalah sulitnya. Ibu rumah tangga kan rentan stress. Kerjaan di rumah terus, jarang bisa keluar rumah, dan banyak yang mengandalkan penghasilan dari suami. Lhooo gakpapa. Itu kan kewajiban. Engga ada yang salah.

Semua pilihan itu tergantung dari sisi mana kebutuhan kita. Apalagi kalo kita ini bukan siapa-siapa. Sama-sama memulai dari nol. Membangun hubungan rumah tangga dan menjaga komitmen bersama.

Engga ada yang bisa bertukar peran satu sama lain. Mau jadi pegawai, mau kerja di lapangan, mau kerja di kapal pesiar, mau jadi freelancer, sama sulitnya.

Jalan hidupku begini. 
Orang tuaku bercerai tepat setelah aku melahirkan. Mereka otomatis pisah rumah. Sendiri-sendiri. Hanya adekku yang terakhir yang menemani kesana bisa, kesini bisa. 
Di kota lain, sebelum kami pindah ini, anak susah aku titipkan. Apalagi kami kan sama-sama engga gampang percayaan. 
Kami memutuskan pindah ke Magelang. 
Pertama, karena banyak keluarga, jadi anak bisa dimonitoring siapapun kalo aku pergi.
Kedua, daerah jangkauanku di Semarang dan Yogyakarta. Yes, anggap aja Magelang di tengah-tengahnya. Paling engga, aksesnya gampang.

Waktu aku memutuskan pindah, bukan sekali dua kali aku mendapat cibiran yang ampuuun sini gue kepret!
Belum tahu masalahnya udah maen kesimpulan aja. Sok tahu kan ya.

Mengapa kami jadi freelancer? Mengapa kami hidup di kota kecil?
Karena kami bisa menjangkau semuanya. Ke back up semuanya.

The points are.
💪Aku selalu berusaha mengerti, dalam hidup ini uang bukanlah satu satu yang terpenting buat kita. Jadi freelancer adalah salah satu caraku untuk bisa mengutamakan keluarga. Aku engga ingin anakku kurang perhatian kayak aku waktu masih kecil. Aku engga ingin jalan hidupku seperti orang tuaku. Aku engga ingin pikiran dipendam hingga menjadi dendam. Dan aku tetap ingin menjadi anak berbakti untuk kedua orang tuaku.

💪Jadi freelancer mengharuskanku bisa terus menghasilkan padahal kerjaan saja kadang ada kadang tidak. Tapi disitulah letak tuntutan berpikir dan terus kreatif. Tidak tertekan oleh apapun. Tidak terikat siapaun. Kami ada untuk menjadi sebuah tim.

💪Engga munafik, kadang pengen jadi pegawai. Yang terpenting, jangan sesekali menjelek-jelekkan nama perusahaan tempatmu dulu bekerja. Karena ia-lah yang justru membuatmu kuat dan bisa menentukan pilihan terbaikmu. Semacam, kamu harus berterimakasih pada mantan. Karena dialah yang membuatmu memikirkan yang terbaik untuk masa depan. *etdah*

Ingat, jika kita memutuskan resign dari pekerjaan dan beralih menjadi freelancer, ada banyak pandangan yang bisa kamu petik dari ceritaku di atas.

Tidak sedikit dari semua temanku beranggapan bahwa freelancer itu keren. 
Bukan serta merta minta enaknya aja, karena bisa semau gue. 
"Wah enaknya, jadi freelancer, gajinya gedhe"

Padahal mah kelihatannya aja banyak. 
Orang sistem kerjanya, malah kadang engga ada aturannya. 
Aturannya ya kita sendiri yang buat. Dibikin sante, ya duit segitu gitu wae. Mau ngejar tabungan ya kudu menggebu.

Selain itu, kita hanya bisa berharap banyak pada diri sendiri. 
Sudah banyak link belum?
Sudah ngembangin skill belum?
Sudah bersikap baik belum?

Toh nyatanya, kalo sikap kita engga ngenakin, pasti dapet hukum rimbanya. 
Semua balik ke yang namanya mental dari diri sendiri. 
Semua disesuaikan sama kebutuhan, bukan cuma keinginan. 
Apalagi cuma pengen keren-kerenan doank. Jangan sampai ketika kita menyesal kemudian.

Oke, sampai di sini dulu ya. Sudah ngantuk. Mama cantik mau bobok dulu. Next post aku akan bahas tentang ketakutan yang sering dialami freelancer. Penasaran? Stay tune lah. Hahaha.

You May Also Like

14 komentar

  1. Semoga sukses ya mbak, jadi freelancer. :)
    Quality time bersama keluarga juga maksimal.

    ReplyDelete
  2. semua punya pilihan ya, frelance bisa menagtur waktus esuai keinginan kita ya jd lebih nyaman

    ReplyDelete
  3. Semua adlh pilihan ya mbak. Tergantung kita. Yang penting bisa menghargai pilihan oranglain. Hehe. Sy seorang IRT yg kadang2 nerima job. Hehe. Sering bgt dpt nyinyiran krna udh sekolah tinggi2 tp ujung2ny didapur 😂. Capek juga kadang dengernya. Tp yasudah sih ya. *curhat😅

    ReplyDelete
    Replies
    1. Hehehe iya. Aku juga IRT kok mbak. Hampir sama, sering cibir juga. Tapi lama-lama engga ngaruh, justru malah jadi semangat buat terus maju.

      Delete
  4. Kadang permanent worker yang kelihatan baik-baik saja, mendapat epastian kapan dan berapa pendapatan perbulannya, tapi hatinya dongkol luar biasa. Karena ya itu tadi kerjanya kayak romusha atau idealisme kita sama sekali tak terpakai karena sudah ada aturan baku yang berlaku....Ah, kalau sikon seprti itu jawaban tepat adalah jadi freelancer saja..Lebih nyaman, hati tenang..

    Semangat Mbak ^^

    ReplyDelete
    Replies
    1. Yep. Waktu jadi pegawai impiannya itu sih. Kerja tenang bisa fokus ke keluarga.

      Semangat juga buat mbak dian :)

      Delete
  5. Sekarang makan ubi, barangkali besok makan cheese fusilli.
    * Ngakak baca bagian ini

    Saya tunggu kisah selanjutnya mbak.

    ReplyDelete
    Replies
    1. Iyaaa beneran itu. Dulu sering banget malah. Hehehe. Makasih ya mbak nanik :)

      Delete
  6. Setiap pekerjaan itu pasti ada suka dukanya ya mbak. Tergantung bagaimana cara kita menghadapinya aja.

    ReplyDelete
  7. Tetep semangat dan tekun, nanti juga menghasilkan sesuatu yang baik :)

    Cheers,
    Dee - heydeerahma.com

    ReplyDelete