TEGAS BEDA DENGAN GALAK

by - April 16, 2018

For the first time, aku ikutan Collaborative Blogging yang diadain rutin oleh Kumpulan Emak-emak Blogger. Namanya #KEBloggingCollab. Kelompokku ini bernama Siti Nurbaya dengan ketua Mak Ucig dan mempunyai jumlah anggota 5 orang, termasuk aku. Yeay!

Tahu enggak rasanya? Antara terlalu bersemangat tapi juga deg-degan. Karena apa? Ya karena aku semacam enggak pede sama apa yang bakal aku tulis nanti. Bagus enggak? Berfaedah enggak? Maklum lah, selama ini aku nge-blog kan kebanyakan curhatnya ketimbang ngasih tulisan yang bener-bener sharing plus kasih tips serta saran. Hehehe.

Baiklah, di post trigger dari Mak Myra Anastasya yang berjudul Tegas Bukan Berarti Kejam, kali ini aku jadi pengen bahas juga tentang ketegasan pada anak. Dari semua poin yang disampaikan Mak Mira, i totally agree! Nah, aku mau curhat sedikit dan nantinya ada bagian yang relate dengan post trigger dari Mak Myra ini. *lagi-lagi curhat tsay*


Ada kejadian lucu saat kami kumpul jadi satu di rumah Mama. Alya ini lumayan dekat sama Mama dan adek-adekku. Kalau aku pas ada acara dan Mama lagi libur, aku titipin Alya di rumahnya. Nah, sewaktu ngumpul bareng, tiba-tiba Alya ngomong gini:

Alya: "Eyang... Alya sukanya sama eyang. Soalnya mama sama tante koko galak."
Eyang: "Kalau eyang baik ya?"
Aku : "Iya... soalnya eyang galaknya sama mama sama tante koko"


Sontak kami semua ngakak dan Mama cuma cengar-cengir saja. Kegalakan Mama dan Papa itu maha dashyat. Sekarang kami bisa ketawa, tapi dulu, beuuugh lihat papa melotot saja rasanya dunia kok ikut murka!

Sebelum aku menekan poin KETEGASAN, aku hampir merasa rancu antara TEGAS ATAU GALAK? Karena yang terjadi di sekitarku, ketegasan itu identik dengan keras. Tegas itu menakutkan. Iya, aku tahu ini salah kaprah. Makanya, dalam mendidik anak, aku selalu belajar dari pengalaman. Mana yang baik, mana yang bikin tidak nyaman.

Jadi aku mulai saja dari cerita masa lalu ku ya. Sejak kecil aku dibesarkan di keluarga yang cukup kompak. Apa saja, termasuk kompak galaknya. Baik Papa, Mama, bahkan eyang yang paling dekat sama aku, fix mereka semua galak. Nyaris tidak ada yang kalem dan lembut. Padahal kami semua orang jawa lho. Kalau ada yang bilang orang jawa itu dikenal halus dan santun, mungkin kalian bisa lihat keluarga kami yang beda daripada yang lain. Hehehe.

Aku adalah anak sulung dari 3 bersaudara. Adikku yang pertama cewek, dan yang kedua cowok. Sayangnya, Papa Mama memberlakukan kegalakannya hanya sampai anak yang kedua. Alias sama adek yang ketiga, sikapnya cenderung lebih lembek dan nurutin apa yang ia minta.

Ada dua efek yang ditimbulkannya. Efek baiknya, Papa Mama jadi lebih bisa mendengarkan kami berbicara. Namun efek buruknya, adek kami yang terakhir menjadi paling manja, paling lempeng, paling susah disuruh, dan paling brutal. Itu karena orang tua kami tidak memberlakukan 'ketegasan' yang diinginkannya ke semua anaknya secara merata.

Jadi memang benar bahwa konsistensi itu sangat sangat sangat diperlukan. Jangan lantas sama si sulung tegasnya bukan main, lalu dengan si bungsu kita jadi lemah tak berdaya. Kalau begitu bukannya kita malah memanjakan anak. Manja boleh saja, namun dilihat dulu manja untuk apa dulu. Kalau hanya ingin disayang, dibelai, its okey. Tapi kalau sampai manja karena tidak mau disuruh ya big no no.

Beberapa orang tua menerapkan sistem "tidak membedakan anak". Nah, atas nama sifat anak yang berbeda, hal ini kemudian jadi blunder sendiri kan. Mungkin karena sifat anak pertama cuek, jadi kita harus penuh kasih sayang dan ngomongnya pelan. Trus giliran anak kedua yang slengek'an, kita kudu sedikit tegas dan bikin aturan sendiri.

Ya balik lagi, aku masih punya anak satu. Jadi aku jelas belum bisa menerapkan dan paham gimana cara mendidik anak dengan masing-masing sifatnya. Pokoknya aku mah terima saja. Toh sebagai orang tua kita belajar dari anak juga. Ya kan ya? Hehe, jangan serius-serius ah, nanti kita cepet tua. 😅

Balik lagi ngomongin ketegasan orang tuaku ya. Tidak dapat dipungkiri, aku belajar dari pola asuh mereka. Terlebih belajar agar ketegasan itu tepat sasaran. Ya aku tahu, mungkin yang mereka tidak bermaksud galak, tapi kami sebagai anak sering merasa ikut imbasnya juga. Kalau galak itu nular, bisa jadi benar adanya. Karena apa? Karena kita terbiasa.

Kecuali kita secara sadar mau merubahnya. Aku baru sadar setelah aku punya anak. Ternyata efek yang ditimbulkan dari sikap galak itu bukannya bikin anak sungkan. Tapi malah bikin dia ikut-ikutan. Masih PR besar bagiku agar aku bisa tegas, bukan kelepasan menjadi galak. Aku tidak mau donk, sikap galaknya jadi turun temurun. Oh no! Cukup sampai aku saja ya. Hahaha.

Tidak gampang lho Mak, dan melalui berbagai halang rintang pastinya. Ya untungnya Alya ini masih bisa dikasih tahu, masih bisa dibilangin, masih bisa dikasih aturan. Asal orang tuanya juga ikut praktekkin. Sudah 3 tahun lumayan bisa protes kalau ada yang tidak sreg di hatinya.

Yang jelas, aku tidak mau sikap orang tua ku ke aku nurun juga ke cara mendidik Alya. Belum sepenuhnya berhasil sih ngurangin sikap galakku. Yang ada Alya malah lumayan tertular ini galaknya. Kraaaay.....

Sebagai Emak yang selalu belajar dari pengalaman dan ingin anaknya menjadi pribadi yang baik, aku berjuang supaya ketegasanku tidak salah langkah. Hal ini sering aku diskusiin sama Suami. Kebetulan Suami ini tipe orang yang tidak banyak omong, sekalinya ngomong mak njleb!

Kami punya aturan rumah tangga untuk mendidik anak dengan penuh ketegasan. Apalagi di usia Alya yang sudah banyak maunya ini. Jadi antara tegas dan galak itu bisa kita bedakan menjadi 3 bagian, antara lain:

INTONASI SUARA

Waktu kecil, aku agak bingung membedakan mana yang galak dan mana yang tegas? Aku selalu merasa bahwa orang tua ku lebih banyak galaknya ketimbang tegas. Hal itu aku rasakan, karena kalau misal aku salah, Mama dan Papa lebih sering meninggikan intonasi suara.

Otomatis nyaliku ciut. Alhasil, aku takut. Tapi hal ini enggak lantas membuat aku trus tersadar bahwa apa yang aku lakukan itu tidak baik. Akibat dari apa yang aku yakini bahwa galak itu cenderung melampiaskan emosi, jadi aku enggak menganggap galak menjadi hal yang ditakuti.

Berbeda dengan tegas. Kita enggak perlu meninggikan suara, misal hanya dengan tatapan mata atau sikap yang kuat, aku yakin kok, orang justru lebih segan. Aku belajar dari banyak pengalaman di luar. Misal waktu sekolah, ketemu senior, ketemu bos, sampai ketemu klien dari banyak lini.

Aku beberapa kali menemukan figur pemimpin yang tegas dan berwibawa. Menyuruh disiplin tentunya dengan mencontohkannya terlebih dahulu, baru kalau ada yang melanggar, lantas dikenai hukuman. Soal sikap, tentu tidak perlu berlebihan. Ada kalanya kita lembut dan ngayomi. Ada saatnya kita kudu yakin memilih dan menentukan.

EMOSI BERLEBIHAN

Galak biasanya lebih dipacu karena emosi. Kondisi yang sedang kelelahan, begitu melihat orang lain melakukan kesalahan, membuat kita mudah terpancing emosi. Ngomel melulu jadinya. Padahal bisa jadi itu cuma kesalahan kecil yang sangat berbeda dengan aturan kita. Akibatnya kita mudah meluapkan emosi, mengeluarkan kata-kata yang menyakiti hati, serta kontak fisik yang sering menjadi akhir dari drama. Dari nyakitin orang lain, sampai nyakitin diri sendiri. Hiiii....

Dipikir-pikir ngeri juga ya, kalau kita mudah melakukan aksi fisik. Kekerasan itu lebih banyak ruginya ketimbang mudharatnya lho. Setelah orang melakukannya, biasanya menyesal sih. Yaaah yang namanya penyesalan emang datang belakangan ya. Hehehe.

Sedangkan kalau tegas, kita bisa mengatur emosi agar tidak pecah. Usahakan tetap tenang, biar kita sama-sama nyaman. Keseringan galak akan dicontoh anak, tapi kalau kita bisa menunjukkan sikap tegas, anak jadi tahu diri.

MENYIMPAN DENDAM

Pernah enggak kita emosi tapi susah mengungkapkannya? Nah ini lebih ngeri lagi. Bisa-bisa kita jadi menyimpan dendam. Tidak ada yang bilang mudah dalam mengendalikan emosi negatif. Berbagai masalah, tekanan, hingga mengakibatkan stress, bisa menjalar ke orang sekitar. Sekali kita menyimpan dendam, akan ada banyak penyakit yang bisa ditimbulkan.

Aku pribadi beberapa kali pernah gondok akibat emosi sendiri yang enggak bisa dikeluarkan. Trus aku baca-baca, ternyata kita bisa merubah emosi negatif kita menjadi sesuatu yang bermanfaat. Seperti? Ya menulis gini. Sharing lewat tulisan sering meredam amarah yang mau kita keluarkan lho. Sharing juga bisa membuat pikiran tenang. Jadi Mak, ada baiknya kita mengelola emosi sendiri dulu sebelum kita bertindak di depan anak.

Rumusnya begini:

EMOSI - TERPANCING - MARAH - NGOMEL-NGOMEL ⇉ GALAK
EMOSI - DITATA - TENANG - KASIH TINDAKAN YANG MASUK AKAL ⇉ TEGAS

By the way, saking panjangnya barusan aku curhat, aku rekap poin penting agar kita lebih bisa mengontrol emosi. Pokoknya satukan visi, tegas iya, galak no!

👉 Tegas itu bukan berarti galak. Sangat berbeda.
👉 Tegas bukan pula keras. Tegas punya maksud untuk menjadikan situasi lebih baik dengan sama-sama tidak menyakiti. Sementara keras, akan menimbulkan trauma tersendiri.
👉 Ketegasan harus dimulai dari diri sendiri dulu. Seperti mencontohkan kepada anak tentang kedisiplinan. Ingat, anak itu seperti kanvas putih. Lebih mudah mengatur dari kecil ketimbang dia sudah mulai beranjak besar.
👉 Sifat galak bisa menurun karena anak itu mencontoh. Sementara sikap tegas akan membuat anak segan.
👉  Galak itu timbul karena kita terpancing emosi, trus jadi marah. Tegas itu bisa mengelola emosi agar tidak menjadi emosi berlebihan. Tegas bisa dengan memberikan arahan dengan benar.
👉  And yes, tegas bukan berarti kejam. Tegas itu ada untuk kebaikan bersama.

Kalau semua pola emosi sudah tercapai, tinggal bagaimana tegas itu sampai ke anak.

Pernah nih, aku sudah kompak tegas waktu Alya tantrum. Kami kekeuh tidak mau mengiyakan kemauan Alya karena waktu itu kemauannya sudah kami penuhi, tapi dia merasa kurang. Kemauannya sepele kok, minta jalan-jalan. Padahal kami posisi sudah muter kota, cuma di perjalanan Alya malah tertidur. Lhaaa begitu sampai rumah, Alya nangis kejer donk, Dipikir kan belum jalan-jalan. Alya tantrum sejadi-jadinya di depan rumah. Nah, kebetulan ada tetangga yang melihat. Karena tidak tega, mereka lantas mengajak Alya jalan-jalan! Coba bayangkan, kami harus bagaimana?

Kompaknya sudah. Tapi orang lain belum tentu menganggap tegas itu baik juga ya kan. Beda rumah tangga kan beda aturan.

Beranjak dari pengalaman itulah, sementara ini, apabila aku lagi bersikap tegas sama Alya, aku usahakan agar tidak banyak orang yang lihat trus ikut campur. Termasuk saudara dan eyangnya sekalipun.

Aku dan Suami masih terus sama-sama mengingatkan, apalagi kalau kita sudah terlihat tersulut emosi. Solusinya, kalau misal salah satu dari kami mau marah, yang satu bertugas untuk meng-handle anak duluan. Baru kita mengelola emosi sendirian. Mau me time bentar, mau ngobrol sama tetangga, mau olahraga, atau mau nonton film sebagai hiburan. Yang pasti anak aman terkendali, emosi kita juga dialihkan ke hal-hal yang lebih baik.

Karena namanya rumah tangga itu kan dibangun dengan azas kebersamaan ya. Trus ngomong-ngomong ini ngelanturnya malah jadi kebanyakan gini sih. Hehehe.

Ya sudah, mari kita sama-sama memperbaiki diri terus menerus. Yang sudah terjadi biar berlalu. Yang sudah terlanjur galak, yuk kita belajar lagi. Tegas itu memang tidak gampang, hasilnya juga tidak langsung kita dapatkan, tapi akan menjadi karakter kuat anak kedepan.


With love,

Yosa.

You May Also Like

10 komentar

  1. Nice.. aku jadi keinget lagi. Tegas beda dengan galak. Kok ya kadang bablas jadi galak karena udah grrrr banget hihi
    Ternyata di anak terakhir agak beda ya si eyang. Ini kejadian sama dgn bapak aku. Adikku bontot, bapak lebih kasih perhatian. Kalau dulu, ya jarang perhatian ke anak lain. Eh aku jadi yg curhat.
    S

    ReplyDelete
    Replies
    1. Naaah iya mbak. Rata-rata orang tua sama ya pemikirannya. Makanya banyak yang bilang kalo bungsu itu paling disayang. Trus jadi manja. Ah moga2 kita enggak gini ya mbak :)

      Delete
  2. Sampai sekarang pun kadang-kadang kalau abis tegas ma anak, saya suka mikir tadi itu tegas apa galak, ya? Emang agak susah juga buat saya untuk tetap tegas, tapi lembut hahaha. Kekompakan juga saya setuju banget. Kalau cuma ibu yang tegas, ayah enggak, nanti anak-anak biasanya akan memilih mana yang enak buat dia :)

    ReplyDelete
    Replies
    1. Hehehe iyaaa aku juga sering nyesel belakangan. Soalnya anakku malah jadi nurun galaknya ini. Padahal pengennya tegas. Sekarang udah agak bisa ngurangin dan saling mengingatkan. :)

      Delete
  3. Suka sama rumusnya mak ����. Aku mau tegas dilema. Hixx

    ReplyDelete
    Replies
    1. Sebenarnya sama kok mbak. Tega engga tega ya. Asal tegasnya dapat, jg melatih anak disiplin. :)

      Delete
  4. Iya lho mbak...di saya dua anak saja sdh ga bisa disamakan cara tegasnya (atau galaknya?). Yg sulung ditegasin lgsg ok. Yg bungsu ditegasin malah jd lebih galak wkkka

    ReplyDelete
    Replies
    1. Nah karena aku baru punya anak satu, aku juga enggak bisa menyamaratakan treatment pada anak. Mungkin disesuaikan dengan kondisi dan sikap ya. Tapi justru disinilah yang musti dihati-hati. Takutnya kayak kejadian adekku yang malah jadi manja.

      Delete
  5. Huaaa, daku kadang nih tipe yang selalu menyesal belakangan kalau sudah bersikap tegas sama anak.
    Kadang mikir, itu tegas apa galak ya, kok anak-anak jadi takut :)

    ReplyDelete
    Replies
    1. Banyak juga yang ngerasain gini ya mak puh. Ini aku juga lagi kurang2in judesnya sambil belajar supaya ketegasan itu enggak salah langkah. Hihihi.

      Delete