NAIK GETHEK DI SUNGAI ARUT

by - June 26, 2018

Cuaca di Pangkalan Bun beberapa hari ini cukup sering hujan. Hujannya bisa yang seharian gitu. Jadi lebih terasa adem ketimbang biasanya. Maklum, sehari-harinya di wilayah hutan hujan tropis, bisa hujan sewaktu-waktu, termasuk pas cuaca terik sekalipun. Bayangin saja, suasana panas menyengat kok tiba-tiba hujan. Yang pakai motor selalu sedia mantol kayaknya ya. Enggak lucu kan, kita basah kuyup kehujanan, begitu di daerah lain ternyata kering kerontang. Haha.

Karena cuaca yang bikin mager itulah, aku sering memilih ngendon di rumah sambil baca-baca buku. Tapi tadi pagi, mumpung cuaca lumayan cerah, aku ngajakin Suami ke pasar beli Pupur Dingin. Kebetulan, Mama Mertua dan Adik Ipar juga mau cari nasi kuning buat sarapan. Ya sudah am, selajuran, kata orang sini.


Tadinya aku enggak niatan mau naik gethek loh. Enggak OOTD juga, plus enggak bedakan, enggak gincuan. Cuma ke pasar ini, dipikirnya kan langsung pulang. Jaga-jaga kalau mendadak hujan, mana ngajak Alya kan. Enggak lama-lama deh perginya, karena Suami juga masih ada kerjaan desainnya.

Kami berangkat dari rumah langsung menuju ke tempat Bu Haji sebelah Kodim. Nama Bu Hajinya lupa, monmaap ya. Tapi...menu sajian khas banjarnya endeus gulindes, semacam nasi kuning, haruan, ayam habang, sampai lontong opor. Kalau kalian ke Pangkalan Bun, cobain deh mampir ke sana, no sponsored post, cuma ya misal nanti aku ke sana lagi, "tolong ya Bu Haji, boleh donk seporsi nasi kuning ayam habangnya". Hahaha.

OK setelah puas makan, baru kami cari Pupur Dingin di Pasar Bawah. Sempat kesusahan cari Pupur Dingin ini karena langganan Mama lagi enggak jualan. Kami sampai nyisir pasar dari depan sampai belakang yang tembusnya Sungai Arut. Alya yang ikutan langsung excited dan teriak-teriak ngajakin naik gethek. "Nak, Mamamu lagi kucel loh ini."

Mama Mertua sih langsung iyain Alya, lha wong cucu yang baru satu-satunya. Mumpung masih di Pangkalan Bun, kalau bisa sih semua wisata dijabanin lah ya. So, kita lets go langsung cari dermaga kecil yang bisa ditemukan di tepian Sungai Arut.


Untuk naik gethek, kita kudu memanggil Paman yang sedang lewat atau berlabuh. Lebih enak kalau naik barengan karena biasanya lebih murah. Aku enggak tahu tarif gethek umumnya ya. Awalnya si Paman pasang harga Rp 50.000 tapi ditawar menjadi Rp 30.000. Lumayan lah, berlima bisa bolak-balik dari Pasar ke Jembatan. Bagi kami yang penting, Alya senang. Daripada enggak diturutin dan ngalem-ngalemnya lama. Nambah gawean jadinya.

Jarak dari Pasar Ke Jembatan enggak jauh kok, cuma sekitar 5 km, dengan durasi perjalanan 10 menitan pulang pergi. Tapi sensasi naik gethek itu memang lebih asik, lebih menantang, dan bikin kita lebih bersyukur. Iya kan ya?

Dan untungnya nih, waktu perjalanan enggak hujan! Enggak mikir macem-macem juga sih soalnya. Kami enjoy naik gethek sambil foto-fotoan. Apalagi lihat Alya heboh banget nanya apa ini apa itu, nyanyi-nyanyi Moana sampai menghayati, dan anteng enggak cranky sama sekali. Paling penting itu boss. LOL.


Buat yang belum tahu, Gethek itu sebutan dari Perahu kecil. Mungkin karena bunyi gensetnya "getek...getel...getek" gitu kali ya. Bedanya sama Klothok, ukuran Klothok sedikit lebih besar. Kalau gethek kan si Paman berada di belakang. Nah kalau klotok, cara mengemudikannya ada setirnya di depan.

Gethek
Kiri: Klothok, Kanan: Kapal Nelayan
Sebenarnya ada 3 jenis perahu yang biasa mengarungi sungai Di Kalimantan, yaitu Gethek, Klothok dan speed boat. Speed jelas lebih cepat dan harganya pun sedikit lebih mahal. Kalian bisa memilih salah satunya kalau suatu saat nanti mau coba menyisiri Sungai. Tapi jangan lupa, pastikan perahunya aman dan enggak bocor sehingga kita juga merasa nyaman.


Di sepanjang Sungai Arut, terdapat banyak pemukiman, perkantoran dan pasar. Orang Pangkalan Bun menyebut daerah sini dengan sebutan "bawah", sedangkan kalau ke atas ke arah Bundaran Pancasila, disebut "darat".

Sungai Arut sendiri melintas di wilayah Kalimantan tengah sepanjang 250 km. Busyet. Tapi Sungai Arut masih termasuk sungai yang pendek dibanding dengan yang lainnya seperti Kapuas, atau Barito. Pokoknya suatu saat nanti, aku mau banyakin travelling di Indonesia gini ah. Mencoba dan berkenalan dengan budaya asli, supaya bisa makin cinta sama negeri sendiri.


Daerah bawah meliputi mendawai, kampung raja, kampung baru. Nah, kalau yang seberang sungainya disebut kampung seberang. Cara menyebutnya bisa juga begini, kampung seberang mendawai, disebut Mendawai Seberang. Berturut-turut, kampung raja seberang, dan kampung baru seberang.

Pasar yang aku datangi ini bernama Pasar Indrasari, terletak di Kampung Baru. Kampung yang letaknya di pinggir sungai, sudah banyak pemukiman penduduk. Mayoritas rumahnya dari kayu ulin gitu. Antara rumah yang satu dengan yang lain, dihubungkan dengan jembatan kayu ulin yang dibangun besar-besaran. Gimana enggak besar ya, bayangin saja, di pinggir sungai ada kampung yang terbuat dari kayu ulin. Yang memang terbukti awet dan kokoh.


Kampung ini ada sudah lama, tepatnya dari masa Hindia Belanda. Masyarakat di sini biasa mandi sampai nyuci ya di Sungai Arut. Dulu zaman Mama Mertua kecil, Sungai Arut bersih dan berwarna merah akar. Namun karena pergeseran zaman dan kotoran yang enggak dikelola dengan baik, jadinya Sungai Arut sekarang kotor. Sedihnya bukan main ya.

Cuma, masyarakat sini memang sudah terbiasa. Lihat deh, anak-anak kecil yang bermain di pinggir sungai, mereka tampak hepi kan ya. Seakan sudah menjadi bagian dari hidupnya. Enggak ada takut atau apa, main di sungai dan ceburan gitu adalah hal yang wajar. Naik kapal kecil yang didayung sambil ketawa-ketawa. Aku tuh ya, kalau misal disuruh ikutan naik perahunya, palingan langsung pucet. Sudah dek, dikatain cemen, aku terima. LOL.


Jembatan yang menghubungkan dengan Kampung Seberang, baru ada di tahun 2000an. Sebelumnya kalau mau nyebrang, kita kudu naik gethek dulu karena belum ada jembatan. Mau beli sayur, perabot, sampai kulkas *ya keleus*, aksesnya ya cuma lewat sungai. Nah, sekarang sudah ada jembatan jadi lebih gampang. Bahkan jalanan sampai Kotawaringin Lama sudah lumayan bisa dilalui dengan rute darat.

Hanya saja yang perlu diperhatikan, kalau hujan dan banjir, maka jalanan darat tersebut bisa hancur atau tenggelam. Bahkan sampai harus menggunakan gethek untuk melanjutkan perjalanan. Iya, jalanan daratnya bisa jadi perairan gitu loh. Gimana dengan kendaraan yang lewat? Motor bisa diangkut dengan gethek, nah kalau mobil entah deh. Mungkin kudu cari rute lain.


Aku sih setiap ke Kalimantan selalu tertarik mengarungi sungai-sungainya. Karena yaaa... Kalimantan kan memang terkenal dengan hamparan Sungainya. Ini saja belum sampai juga ke pasar apung. Maklum, jaraknya ke Banjarmasin lumayan jauh kalau dari Pangkalan Bun. Mungkin nanti direncanain sendiri liburannya. Karena waktu kami di sini juga terbatas.

Oiya, kalau kalian mau ajak anak naik gethek kayak gini, pastikan anak sudah di-sounding berkali-kali ya. Ajak boleh, tapi jangan dipaksa. Karena enggak semua anak mau dan tertarik naik gethek. Nah, kebetulan Alya memang sudah lama senang sama hal-hal yang berhubungan dengan masa kecil Papanya. Jadi mau naik gethek, berenang di sungai, sampai masuk ke hutan, dia sudah siap duluan. Ya gimana enggak siap, orang sejak kecil sudah diceritain tentang kondisi di Kalimantan. Hehehe.

Oke segitu dulu ya ceritanya. Alhamdulillah sampai rumah baru hujan, dan Alya langsung pules tidur siang. Kalau kalian pernah naik gethek, atau pengen naik gethek, boleh share di kolom komentar ya?

Bye.

You May Also Like

2 komentar

  1. Di Jambi saya sudah biasa naik Gethek, mba dari kecil malah. Jadi sekarang udah jarang kalau naik Gethek berasa nostalgia. Beda banget sama teman yang jarang naik Gethek, bisa jejeritan karena takut tenggelam katanya wkwk. Untung Alya berani ya :D

    ReplyDelete
    Replies
    1. Hahaha iyaaa. Kalau buat aku jadi berasa seru karena enggak nemu ginian di magelang. Ada sih sungai tapi ada arusnya jadi biasa buat rafting hehe.

      Delete