PERAN ORANG TUA DALAM MENGHADAPI BULLYING

by - August 04, 2018

Bullying bisa terjadi dimana saja. Anakku yang masih berumur 3,5 tahun pun, juga pernah. Dahsyat memang. Ya... anggaplah ini pengalaman berharga. And for your information, demi menulis blogpost ini, aku menunggu waktu beberapa saat agar masalah terselesaikan dulu. Siapin camilan dulu yok ibu ibu...


Seperti yang kita tahu, bully adalah hal yang sensitif banget. Efeknya beragam. Korban nantinya bisa kuat, atau justru kehilangan percaya diri. Lama enggak bersentuhan dengan bully, tibalah hal yang sama sekali enggak aku duga sebelumnya. Aku pikir anak kecil minim bully. Nyatanya, kini giliran Alya yang mengalami. Suka enggak suka, semua terjadi di tempat kami tinggal. Sebagai orang tua, enaknya aku harus gimana nih? Gimana cara menetralkannya supaya hubungan tetap baik-baik saja?

Aku pernah cerita kan ya, kalau Alya ini pernah mengalami fase suka pukul dan bikin nangis temannya? Cukup lama aku treatment anak sendiri supaya dia enggak mengulangi kesalahan berulang kali. Dari mulai yang ngajak ngobrol baik-baik, beliin dia buku yang relate sama kehidupan berteman, sampai ngasih ketegasan even itu di depan teman-temannya langsung. Aku pengennya, semua orang sepakat bahwa aku enggak pilih kasih. Oh ini loh anakku salah, berarti aku harus berbesar hati mengakuinya dan mengajari supaya berbuat baik. Bagaimanapun, Alya harus tahu misal dia salah berarti dia harus minta maaf. Enggak boleh enggak. Salah tetap salah.

Baca juga: Belajar Tidak Mengulangi Kesalahan

Sayangnya, aku lupa. Enggak semua temannya bisa memahami apa yang jadi pikiranku. Ada yang lalu beranggapan bahwa apa yang selalu Alya lakukan itu salah. Satu anak enggak mau main sama Alya lagi, berimbas ke teman yang lain. Pelan-pelan mereka bikin sekutu. Wes jan amit-amit, anak kecil kok sudah main gap-gap-an.

Seserius itu dan nyata loh. Satu anak bisa ngajak anak lain yang pada akhirnya mereka semua lalu menjauhi Alya. Alya pinjem mainan, Alya deketin, Alya pengen main bareng, itu enggak mereka perbolehin. Aku heran donk, kenapa kok semua teman di lingkupnya jadi kompak menjauhi Alya?

Yang bikin miris, aku pernah dengar dari tetanggaku, bahwa selama ini Alya nakal karena ada faktor pemicunya. Alya disenggol duluan, Alya digodain duluan, Alya dibuat jengkel duluan. Alya lalu enggak nyaman, dia jadi nakal. Sekalipun, kami enggak pernah mengajarkannya kekerasan. Pukul, cubit, dan semua berbau fisik enggak pernah kami lakukan. Sedih ya, ternyata dia tahu seperti itu justru malah dari lingkungannya.

Nah, yang jadi persoalan, sikap teman-temannya godain Alya duluan tersebut enggak secara langsung terlihat di mata kepalaku sendiri. Tapi... di belakangku. Di depanku mereka yang super baik, ngajakin Alya main, menggambar di rumah, makan bareng dan lain-lain. Aku mah santai, asal rukun dan senang sama-sama, rumah acak kadut nomor dua.

But hey, is that true? Anak kecil bisa acting secemerlang itu? Kalau benar mereka acting, hancur lebur sudah selama ini aku jadi tukang casting! Damn.

Baiklah, aku enggak boleh menyerah. Bagiku sikap anak kecil masih bisa diperbaiki. Masih selalu ada celah untuk selalu berbaik hati. Aku berusaha tetap netral.

Suatu hari, tanpa sepengetahuan mereka, aku amati. Kebetulan amat, setelah mereka mengaji, mereka pada ngumpul di depan rumah. Pelan-pelan aku intiplah dari jendela. Mostly anak serempak pakai sepedanya masing-masing. Karena Alya belum bisa dan belum punya sepeda roda dua, otomatis Alya cuma jalan kaki dan berlari di belakangnya.

Benar saja, salah seorang temannya meledek sambil mengayuh sepedanya. Alya masih kontrol, aku lihat dia masih tertawa sambil teriak "ayo kak.. sepeda..satu... dua. tiga.." Niatnya dia baik, pengen temen-temennya balap sepeda, biar dia yang hitungin.

TAU APA?

Di telingaku, dengan jelas aku mendengar "Aku enggak mau main sama Alya"
Disusul dengan ejekan yang lain"Weeek weeek weeeek"

Aku yang awalnya mengamati dari jendela langsung enggak bisa nahan emosi. Apa yang aku khawatirkan ternyata benar, dia diejek duluan. Orang tua mana yang enggak panas hatinya melihat anaknya dibully. Kebaikan yang selama ini aku ajarkan bersama ternyata berbuah simalakama. Minta maaf rupanya bukan merupakan satu-satunya cara agar hubungan kembali baik-baik saja.

Iya ini salahku. Aku pernah memarahi Alya di depan mereka tanpa tahu penyebabnya terlebih dahulu. Aku cuma percaya kalau Alya nakal karena teman-temannya bilang begitu. Seharusnya aku punya etika memarahi anak dan jangan sampai terlihat memihak di depan teman-temannya. Kalau begini, teman-temannya merasa "ibunya saja memihak ku kok". Jadi Alya memang harus dijauhi. Padahal Alya enggak memulai masalah duluan. Sial.

Sekali lagi aku salah. Anak-anak kecil itu menang karena bisa acting dengan sangat gamblang. Dibilang emosi ya jelas. Pengen deh datengin terus langsung kasih ucapan: selamat ya, besok tante sodorin kalian ke production house biar diajak main film sekalian. Sumpah, enggak habis pikir. Sama sekali.

Saking aku emosinya sama anak-anak ini, lantas aku enggak bisa kontrol dan teriak di depan rumah:

"Kalian kalau enggak mau main sama Alya ya sudah pergi saja sana. Gitu ya, di depan tante kalian baik, tapi di belakang ternyata nakalin Alya"

Ini kalau adegan di film-film, pasti sudah ditambahi sound effect yang berubah jadi echo. Yang bakalan jadi menggema. Hahaha. Becanda dikit ya, biar emosiku enggak meledak lagi.

Well, aku bergegas nyuruh Alya buat masuk ke dalam rumah. Entah para tetangga pada denger atau enggak, aku as prek. Cuek. Urusan belakangan lah. Aku benar-benar melihat Alya sedih. Dia kebingungan. Beruntung mood-nya masih oke. Enggak terjebak ikutan mamanya emosi. Agak aku sayangkan karena aku reflek ngomong keras di depannya. Lagi-lagi aku melakukan kesalahan. Duh... kelepasan memang sering disesali belakangan.

Aku berusaha meredam emosiku sendiri. Pengennya masih marah-marah saja. Tapi aku masih berpikir, misal aku luapin marahku sekalian, nanti gimana hubunganku sama orang tua mereka. Dianggap apa aku ini? Iya kalau mereka setuju anaknya salah, lah kalau nganggep itu adalah hal yang wajar?

Padahal apapun bentuk dan perilaku bully sama sekali tidak bisa dibenarkan. Ini klise banget sih. Aku paham, Alya bukan satu-satunya. Di luar sana aku yakin pasti banyak yang ngerasa sama atau bahkan lebih parah. Lingkungan keluarga, rumah, maupun sekolah harus kompak membentuk karakter mereka dan mengenyahkan bully yang tertanam. Susah memang, semua perilaku buruk anak tentu perlu treatment khusus dan perlu waktu yang enggak sedikit.

Sekarang, tinggal aku harus bagaimana? Apakah aku diam dan menyerah? Atau aku harus tetap kasih tahu teman-teman Alya kalau mereka salah? Namun semua harus tetap aku lakukan dengan bijak. Oke, tambah susah. Mungkin kalau sama-sama besar kan sudah aku jotos, emosi terlampiaskan, diam seakan enggak butuh, selesai. Nahini anak-anak je. Aku enggak mau Alya pun jadi ikut-ikutan bully karena pernah dibully.

Titik kuncinya ya karena aku dan Alya pengen baik-baik saja. Jadi aku harus punya cara biar bisa ngomong ke teman-temannya.

Cukup lama aku membesarkan hatiku sendiri buat bisa datengin teman-teman Alya satu per satu. Sedihnya, Alya berubah menjadi anak yang enggak percaya diri. Dia sekarang lebih sering mengurung diri dan mengajak main papa mamanya ketimbang teman-teman di luar sana. Sedih memang. Tapi ini efek beruntun. Butuh banyak lapang dada biar semua berjalan lancar.

Jika sore biasanya main bareng, Alya memilih nonton TV dan main sama boneka-bonekanya di rumah. Sehabis ngaji pun gitu, yang biasanya main dan nongkrong sambil haha hihi, sekarang berubah langsung pulang. Efeknya sedemikian cepat ya ternyata.

Di sini aku enggak boleh menyerah sama keadaan. Aku enggak mau Alya muram, aku tetap pengen Alya gembira main sama teman-temannya. Seperti dulu lagi. Woh kayak orang dewasa sungguhan ya hahaha.

Yang pertama aku lakukan adalah aku nyusun strategi sama Suamiku. Dia bilang, bakal ngebantu aku pelan-pelan sounding ke orang tua anak. Ini cukup penting karena siapa lagi sih yang bertanggungjawab atas anak selain orang tuanya? Mereka harus tahu donk. Aku yakin kok, di sini kami bertetangga cukup bagus. Kenapa enggak sekalian dikomunikasikan. Ya kan?

Yang kedua aku ikut main lagi sama mereka. Agak susah bujuk rayu Alya supaya dia mau keluar rumah dan main seperti biasa. Dia berkali-kali bilang "enggak mau sama teman-teman. Mereka nakalin Alya" Begitu terus pokoknya. Aku bilang janji temenin dia main. Nanti kalau ada yang nakal, biar main sendirian. Yang penting kita baik, seperti Roy, Amber, Poli wah sampai ngelantur ngomongnya kemana-mana.

Menemani bermain sama Alya ini sudah agak bisa mentralkan suasana. Jangan salah, aku tetap baik sama semuanya. Sambil pelan-pelan dapetin hati anak-anak ini supaya bisa didengarkan.

Cara yang ketiga adalah aku kenalin Alya dengan lebih lebih lebih banyak teman lagi. Yang artinya, Alya akan kembali percaya diri karena ternyata temannya bukan cuma itu-itu saja. Tenyata banyak teman itu senang. Aku bisa main bersama-sama. Sekali lagi, ini cukup menyita waktu juga. Butuh efford lebih, karena kami harus meluangkan waktu setidaknya tiap sore buat menjauh sebentar dari lingkungan tempat tinggal.

Ketiga cara diatas lumayan efektif untuk membuat enak lagi suasana. Yang tadinya mungkin aku heboh marah-marah, aku jadi agak bisa legowo dan bernafas lega. Enggak ketemu itu-itu saja. Alya juga jadi lebih senang dan kembali ceria. Sedangkan teman-teman Alya jadi enggak ada bahan untuk di-bully. Ya rasain sih, memangnya enak.

Setelah aku dan suami kompak menyikapi bullying dengan cepat, saatnya atur waktu kapan bisa ngobrol sama anak-anak itu. Yang ini enggak susah, lah wong tiap sore kumpul. Cuma tetep perlu tak tik. Jangan sampai anak-anak kok merasa kami doktrin dan bikin mereka tertekan. Intinya kami harus pelan-pelan.

Eh kok ya timing-nya terjadi begitu cepat dan dengan mudah. Seperti biasa, setiap sore mereka kan bermain bareng, kebetulan banget ada salah seorang teman Alya yang main di rumah. Mereka lalu main bareng. Aku biarin lah, mereka mau main apa. Lalu enggak beberapa lama, ada seorang anak yang mau pinjem sepeda teman yang satunya. Pakai memaksa. Aku lerai mereka berdua.

Si anak ini bilang kalau yang merebut sepedanya itu adalah anak yang selalu nyuruh teman-temannya ikutan dia. Istilahnya ngajak nakal. Misal dia bilang jauhin Alya, yang lain jadi ikutan. Katanya sih dipaksa. Nah, entah yang mana yang benar, aku lalu temukan mereka semua. Wah drama juga ya anak-anak hahaha.

Pelan-pelan aku ajak main sambil ngobrol. Enggak lupa aku ajak Alya biar bisa jadi orang yang juga netral. Si anak-anak ini kemudian mau rukun, mau berbagi, mau baik-baik saja.

Aku bilang "Kalau besok tante yosa tahu kalian ada yang nakal lagi, tante enggak main-main mau ngomong ke orang tua kalian supaya enggak dibolehin main di komplek. Sekarang kalian saling minta maaf, biar adil"

Abis gitu mereka beneran minta maaf dan main bareng lagi. Ya do'a nya semoga ke depan memang harus terus baik sih. Karena kalau di lingkup tetangga, lingkupnya kan kecil ya. Apa jadinya kalau bully terus ngaruh ke psikis anak. Mau pindah rumah?

Beberapa hari kemudian, aku masih tetap menerapkan cara ketiga agar Alya maupun teman-temannya enggak bosan. Alya tetap harus aku dekatkan ke teman-teman lainnya. Paling enggak, kepercayaan diri Alya sudah tumbuh lagi. Dia bisa berbagi tanpa ada gangguan. Memang sudah seharusnya, konsep berteman adalah hal yang menyenangkan. Jangan sampai si anak merasa, karena berteman dirinya jadi enggak aman.

Orang tua harus bertindak tegas. Kayaknya sudah enggak zaman deh, diam karena dibully. Please speak up even itu menyakitkan. Jangan sampai bully jadi tindakan yang dianggap wajar. Tapi ingat, tegas bukan berarti kasar ya. Kita sebagai orang yang lebih mudeng dan nalar harus bijak.

Sekali lagi peran orang tua adalah penting. Aku bersyukur, banyak teman yang melek kasus bullying dan bersikap tegas agar kasus ini cepat diselesaikan. Dari hasil ngobrol bareng teman, minta saran ke psikolog anak, ini sedikit aku rangkum beberapa hal yang harus kita lakukan dalam menghadapi kasus bullying terhadap anak kita.

- Beri dia keyakinan kalau dia bisa melalui semua masalah dengan tenang.
- Tumbuhkan rasa percaya diri dengan terus mengajaknya ngobrol dengan intens.
- Selalu minta anak bercerita apa yang dia lakukan hari itu.
- Kasih kepercayaan, tapi juga kasih dia pengertian jika anak harus bertanggung jawab atas apa yang dia lakukan.
- Berkomunikasilah dengan pelan. Treatment enggak bisa dilakukan cuma sekali dua kali.

Aku berharapnya sih, kita sebagai orang tua sama-sama tahu perkembangan anak. Enggak mau kan mereka jadi nakal dan bikin onar? Jangan pernah membiarkan anak kita sebagai pelaku maupun korban. Masing-masing akan membuat efek jangka panjang.

Oke, bully ini belum berakhir. Next aku mau cerita tentang bully di sekolah Alya. Duuuh, rasanya pengen marah lagi marah lagi. Tapi tenang, sudah aku tenangkan. Tinggal tunggu waktu yang tepat biar bener-bener netral dulu. Baru aku cerita lagi. Jangan bosen-bosen denger ceritaku ya. Makasih sudah mampir.

See ya.

You May Also Like

1 komentar

  1. Thanks mba udh berbagi pengalaman, jadi pelajaran juga untuk saya. Semoga Alya nggak sedih lagi ya, ceria terus ya nak :D

    Saya pun kalau nemenin anak main di sekitaran rumah sama anak lainnya sering dengar yang lebih besar ngejek yang kecil, paling cuma saya bilangin bahwa berteman nggak boleh saling ejek. Peran orang tua masing-masing memang dibutuhkan. Nggak boleh cuek hanya karena anak terlihat bermain bersama.

    ReplyDelete