3 HARI DI DESA SEMBUNGAN DIENG

by - January 11, 2019

Super late post nih. Maafkan yak! Enggak mungkin enggak dipublish soalnya wk. Oke, daripada lama-lama kita mulai ceritanya.

Dua hari sebelum tahun baru, kami akhirnya berangkat juga ke Dieng, atas ajakan temen SMA. Namanya Dian Yogi. Suaminya ini orang Desa Sembungan asli. Sebetulnya sudah lama banget mereka ngajakin buat nginep di sana sekaligus ngenalin potensi wisata. Cuma ya, berhubung Yosa banyak wacana, rencana tersebut sempet lama enggak terlaksana.

Kami mikirnya panjang, antara bagaimana kalau ngajak Alya yang masih punya bakat asma, dan satu lagi, kapan waktu yang tepat karena kerjaan kami berasa enggak ada jedanya. So, yes, dengan jiwa nekad dan nyelesaiin deadline kerjaan jauh hari, kami putuskan untuk tahun baruan di Desa Sembungan. Mbuh gimana nanti konsekuensinya, yang penting lakoni disik, pikir keri. Azeg.

Dieng boleh saja deket, tapi track dan hawanya termasuk yang baru buat kami, apalagi Alya. Dulu pernah sih, waktu kecil, aku beberapa kali ke sana, tapi enggak pakai nginep segala. Suami juga cuma sekali nginep, tapi itu di Wonosobonya. Untuk ke Dieng masih perlu menempuh sekitar 25 kilometer lagi. Sedangkan ke Desa Sembungan? Bablas terus sekitar 5 kilometer, naik-naik terus nanti mentok  ketemu Desa terakhir sebelum bukit sikunir.

Yes, kenalin deh, Desa Sembungan, desa tertinggi di pulau jawa.

Okay then, selamat bersenang-senang 3 hari di sana. Brrrr!


DAY 1


Kami dijemput Dian Yogi, Mas Bukhori (Suami Dian Yogi), Tama (anak pertama), dan Afnan (anak kedua). Perjalanan Magelang-Wonosobo memakan waktu sekitar 3 jam. Itu kalau yang sudah terbiasa,  plus bonus jalanan lancar, dan enggak mampir-mampir di jalan. Berhubung Mas Bukhori ini kelasnya sudah advance, jadi perjalanan kerasa cepet.

Oh iya, menjelang tahun baru, banyak wisatawan yang akan ke Dieng. Nah, kalau nanti lewat Wonosobo, kebayang enggak, padetnya kayak apa tuh. Makanya, kami potong kompas melewati Desa Tambi biar bisa langsung tembus ke Dieng. Desa Tambi itu banyak berupa perkebunan teh, pemandangannya baguuus banget mirip di Puncak. Tapi monmaap nih, misal enggak sama Mas Bukhori, kami mending lewat Wonosobo saja deh, macet no problem! Karena FYI saja guys, Desa Tambi jalannya berkelok, sempit, dan kadang harus mlipir kalau lagi papasan. Papasan mobil satu dengan yang lain, bakalan ganteng-gantengan, alias mau gimana nih maju mundur kena. Mana pas kami lewat sana, malam pula! Lengkap loh ya horrornya.

Kami sampai Desa Sembungan, tepat jam 8 malam. Rintik gerimis dan kabut tebal menghadang kami waktu turun dari mobil. Beneran, ini dinginnya kayak lagi di freezer. Untungnya Alya malah cekikikan bahagia, terus abis itu dia ketemu sama Kanaya (anak ketiga Dian Yogi). Wah Moodnya bagus, aku jadi optimis Alya enggak rewel selama tinggal di sana.

Begitu masuk ke rumah Mas Bukhori, kami enggak langsung disuguhi minum atau makan apa, tapi malah tungku! Tungku ini berupa perapian kecil yang digunakan warga untuk menghangatkan badan. Mungkin kalau di luar negeri, orang biasa pakai perapian besar di tengah ruangan, nah, di Sembungan berbeda. Tungku pun bisa!

Sampai malam tiba, kami mengurungkan niat untuk berbersih diri. Cuci muka sama sikat gigi saja sudah selamet kok! Hahaha.


Oke, namanya juga hawa adem, makan apa saja pasti enak, ya enggak. Kami lalu makan malam mie cabe bendot yang pedesnya amit-amit. Alya juga telap telep tapi yang versi enggak pedes. Misalpun kurang kenyang, kami sudah sedia roti sama susu. Adegan setelah makan malam bisa ditebak dong. Enggak lama kami berbincang, setelah itu tidur nyenyak pakai selimut tebal.

DAY 2


Pagi-pagi sekitar subuh, Dian Yogi membangunkan kami untuk segera bersiap untuk berangkat ke Sikunir. Katanya, mumpung cuaca lagi lumayan bagus, enggak hujan. Padahal kalau mau disuruh milih aku masih ingin tidur lagi sih. Ya gimana, hawanya cocok buat kruntelan cint.

Dian Yogi juga bilang kalau pas tahun baru besok, Sikunir bakal lebih rame, susah naik ke atas sampai berdesakan. Lah benar saja, baru nyari sampai parkiran sudah agak repot. Mobil penuuuuh, tenda-tenda juga sudah mulai dipasang. Kami start naik ke Sikunir padahal termasuk pagi, yakni setengah 5.

Sebelum aku lanjutin ceritanya, aku mau kasih tahu ke kalian dulu. Misal besok kalian merencanakan berlibur di Desa Sembungan dan pengen naik ke puncak Sikunir, nanti kalian akan dikenakan biaya masuk Rp 10.000 saja per orang. Loket ini ada persis di depan gapura masuk Desa Sembungan. Setelah itu, mobil di parkir di area masuk tersebut. Nah, rumah penduduk dan homestay ada di kanan kiri jalan menuju ke bukit Sikunir. Terasa jauh untuk jalan kaki dari gapura ke Sikunir? Kalian bisa sewa ojek yang banyak wara wiri di ruas jalan utamanya.

Okay, lets go back to story. Harus diakui, karena keterbatasan tenaga, dan ya sudah lah ya, umur enggak lagi muda, jalan naik bukit itu berasa encoknya. Aku apalagi, ngakunya getol olahraga, giliran suruh naik 1 jam saja mau give up. Jujur kalau kaki sih kuat, tapi masalahnya di nafas. Rasanya nusuk banget di ulu hati. Kalau aku maksa, pasti bakalan enggak kuat nih. Tapi kalau enggak diterusin sampai puncak, lah kok eman?

Alya digendong Suami di pundak. Jangan tanya rasanya, cuma kata Suami, lebih baik digendong model gitu dari pada di punggung. Terserah deh, yang penting jangan aku yang gendong, tambah pendek baru tahu rasa ya kan yaaa...

Oh lupa, satu lagi, aku juga ngajak Mama. Mama sudah aku wanti-wanti, kalau kami sedang mengejar matahari. Jadi kami harus cepet-cepet, sedangkan Mama tampak enggak kuat. Aku nyuruh Mama supaya nunggu di bawah saja sambil makan kentang. Mama bilang, "sudah kalian naik dulu saja, mama biar pelan-pelan". Tenyata, Kanaya malah minta jalan. Jadi Dian Yogi, Tama, dan Kanaya jalan nemenin Mama. Sementara, kami bertiga jalan duluan.

Beberapa saat kemudian, kami sampai di pos 1. Sumpah, mau sempoyongan rasanya. Kami lalu istirahat sebentar. Suami terus motret, aku sama Alya nungguin di pinggiran. Enggak ada tempet duduk nih, mana penuh orang foto-fotoan. Padahal Alya sudah mulai ngak-ngek, enggak tahu minta apa. Di sana aku juga nelpon Mama, mastiin sih, Mama baik-baik saja. Mama malah balik ngeyakinin aku kalau Mama mampu naik pelan-pelan. Jadi, Mama minta aku santai saja karena suasana di Sikunir ramai "enggak usah khawatir", gitu katanya.

Well, walaupun Mama sudah tua, tapi nyalinya tinggi juga ya. Beliau tetep kekeuh sampai atas. Gimana enggak? Pesona Sikunir enggak bisa dipungkiri lagi ciamiknya. Sikunir ini terkenal sama Golden Sunrise. Sayang waktu kami ke sana, kabutnya tebeeel buanget, plus kami ternyata kesiangan, jadi ya enggak golden-golden amat hehehe.

Sikunir Golden Sunrise
Begitu Suami kelar motret, bersamaan dengan itu pula Dian Yogi sekeluarga dateng nyusul. Mama masih tertinggal di belakang katanya. Lalu Mas Bukhori ngajakin Suami buat nyari spot foto yang bagus. Dan sayangnya, pos terakhir masih agak lumayan. Mana anak-anak ditinggal sama emak-emaknya pula ini, rempong amat kan jadinya.

Enggak tahu kesambet apa, aku memantapkan hati sampai puncak bawa Alya. Aku semangatin Alya lewat Kanaya yang lincah. Kanaya sudah 3 kali ke Sikunir dan almost jalan kaki sampai puncak terus. Paling kalau minta gendong juga enggak seberapa. Nah, Alya seneng nih disemangatin gini. Plus dia ngerasa kompetitif, masa' anak lain bisa, aku enggak bisa. Gitu kali ya dipikirannya.

Sepanjang pos 1 sampai pos terakhir, aku disemangatin juga sama orang-orang yang papasan. Katanya, emak-emak hebat, ngajak anak ke Gunung. Enggak semua bisa ya kan. Wah ya bener, habis itu Alya minta gendong aku iyain saja. Baru kalau aku capek, aku bilang ke Alya "Nak, Mama capek nak. Kamu yang semangat ya"

Akhirnya kami sampai juga di pos terakhir dan Alya nangis mengharu biru ketemu bapaknya. Ini nangis kayak ngambek dan ngadu gitu loh. Kenapa aku ditinggal, kenapa aku enggak digendong. Setelah itu kami enggak berlama-lama di puncak, daripada Alya rewel. Sekali dua kali ambil foto sama video. Dan disitulah Alya mengaku kalau kedinginan dan pengen sarung tangan yang tadi dijual di bawah. Ya amplooop cuy, sepele amat.


Kami terus turun dan ketemu Mama di pos 1, yeay! Kata Mama, beliau nemu tongkat buat dijadiin pegangan Mama selama naik ke puncak. Dan mama ternyata sampai puncak juga. Padahal kami enggak nemu. Gimana sih ya, mungkin sibuk sendiri-sendiri.

Kalau mau nonton videonya, sudah aku upload di youtube kok. Silahkan diplay yak!


Ada cerita lucu nih. Jadi begini. Aku bertemu Mama di Pos 1 itu sama Mas-mas yang kami ajak foto di puncak tadi. Katanya, mereka sempet ngobrol lama. Aku juga bingung nih, gimana Mas-mas ini bisa ketemu satu-satu dari kami yang kepisah yak hahaha.

Belum sempat kami ajak kenalan, padahal sudah ngobrol banyak gimana sih ya hahah, tapi yang jelas, di Gunung itu semua berasa saudara!


Ngerasa capek dan laper, kami singgah sebentar menikmati hawa Sikunir dengan makan semur kentang! Enggak cuma itu sih, ada juga soto, nasi goreng, teh tambi, dan kopi. Banyak sajian khas yang berjejer rapi di sekitar pintu masuk. Tapi kami pilih Rumah Makan Pak Carik yang viewnya langsung ke danau. Hanya saja, waktu itu habis hujan, jadi kondisinya agak becek.


Kalau kamu sempat berlama-lama di sini, enggak ada salahnya kamu ngicipin juga makanan seperti sagon, serabi khas dieng yang lembut, dan gandos. Aku paling suka sagonnya, gurih, enggak eneg, tapi sayang satu, seret, gampang haus hahaha.


Sebelum pulang, aku sempetin juga belanja carica, teh hijau Tambi serta kopi arabica dataran tinggi Dieng. Semuanya hasil homemade beberapa UMKM di Dieng. Oh lupa. Harganya termasuk terjangkau banget. Kopi Arabicanya cuma Rp 40.000, modelnya sudah digrilled. Terus Tehnya model tubruk tapi halus banget, tuang dikit saja dijamin langsung mak nyus. Teh nya juga wangi asli, padahal tanpa melati. Beneran, coba sendiri deh kalau enggak percaya.

Dateng ke Sikunir kemarin, kelemahannya satu, kami enggak banyak borong, kelupaan ambil ATM. Padahal ATM jauhnyaaa hahaha.


Wah, masih banyak yang pengen aku ceritain nih kayaknya. Cuma, bakal panjang banget kalau aku tulis dalam satu blog post, jadi lanjut besok lagi ya. Next aku ceritain, kami ngapain saja selama di Desa Sembungan. So yeah, tunggu yaaa!!!

BERSAMBUNG...

You May Also Like

3 komentar

  1. wah serunya dan alamnya masih asri ya

    ReplyDelete
  2. Kalau lewat Wonosobo, jalannya nggak serem ya mbak? Saya trauma banget pas liburan kemaren jalan jalan ke daerah gunung dan jalannya menanjak sempit dan berkelak kelok. Sempet nggak kuat mobilnya terus mundur ke bawah 😣 padahal bawahnya jurang. Seisi mobil jejeritan semua😂 duh sekarang saya kayaknya masih trauma kalau harus ke tempat wisata yg jalannya extrim begitu 😁

    ReplyDelete
  3. Baca artikel ini aku jadi pengen makan carica nih mbak ehehehe

    ReplyDelete