ORANG TUA DIBULLY ANAK? MEMANGNYA BISA?

by - February 15, 2019

Bukan hanya sekali dua kali aku menemukan seorang anak yang tega ngebentak orang tuanya sendiri. Masalahnya kadang sepele, minta sesuatu yang akhirnya enggak bisa diturutin. Atas dasar "iyain saja deh dari pada lama", kebiasaan ini enggak menutup kemungkinan akan terus tumbuh sampai besar. Ya kali, kalau semua orang berpikir bahwa "halah masih kecil ini", lantas kapan waktu yang tepat untuk memberi tahu anak? Bukankah lebih baik jika sejak dini diberitahu dan dibiasakan ketimbang menunggu saat yang tepat entah kapan.

Baiklah, enggak usah berlama-lama, mari kita bahas bullying oleh anak ke orang tua. Memangnya bisa? Ya bisa saja dong.


Enggak usah jauh-jauh dulu, contoh terdekatnya adalah adek bungsuku sendiri. Sejak kecil sudah diturutin semua kemauannya, mulai dari mainan, makanan, pergi ke suatu tempat, rasanya jarang banget keinginannya enggak terpenuhi. Trust me, kepuasan itu kadang bukan soal ingin mempunyai barang, tapi juga bisa tentang rasa menang sendiri.

Nah, ini berbeda banget sama aku dan adekku yang kedua. Kami yang cewek-cewek ini malah sering dibatasin dan lebih sering digalakin. Mungkin karena waktu adekku yang paling bungsu lahir, keadaan papa mama sudah jauh lebih baik, terutama masalah finansial. Otomatis, apa yang adek bungsuku ini pengen, dengan mudah terpenuhi. Plus, mungkin juga karena dia satu-satunya anak cowok, satu-satunya anak yang sangat dinanti-nanti. Aku inget banget soalnya, waktu mama hamil si bungsu, papa gencar puasa daud dan sholat tahajud.

Well, parenting kan bukan cuma soal melahirkan anak yang diinginkan terus selesai. Tapi setelah anak itu lahir, banyak banget kewajibannya, seperti menghidupi, memberinya pendidikan, makanan begizi maupun ngajarin kebaikan biar akhlakul karimah.

Cuma ya gitu deh, kadang kalau sudah capek, hal-hal krusial kecil sering kali diwajarkan. Satu hal yang lalai dilakukan, tentunya ya itu tadi: membiasakan anak menjadi anak yang mudah memperoleh sesuatu, sampai sekarang.

Hasilnya bagaimana? Kini adekku tumbuh jadi anak yang ngototan, kalau minta sesuatu harus segera diturutin, misal enggak diturutin ngamuk sampai banting-banting barang sampai berkata kasar. Ini aku enggak mau buka aib sih, tapi memang kenyataannya seperti itu. Masalahnya, dia sudah besar dan kebiaaan tersebut susah banget diubah. Mana orang tua ku sudah cerai, jadi kendala kedua adalah: merasa bahwa adekku ini korban yang enggak patut disalahkan.

Kondisi papa mama yang sudah enggak kayak dulu lagi bikin dia merasa enggak dapat perhatian lebih. Padahal, kalau mau dilogikan saja nih, adekku tuh sudah besar, seharusnya akalnya juga sudah makin nalar. Bisa lah kalau mau diajak kompromi. Wong nyatanya, kedua anak mama yang lain saja bisa diajak komunikasi dengan baik kok, ini malah tetep enggak berubah. Fatal sih.

Banyak kejadiaan yang kalau dirunut bikin nyesek.

Lulus SMA pengen kuliah di universitas negeri. Negeri enggak keterima, ganti pengen bisnis. Bisnis diturutin, enggak telaten, tutup. Terakhir minta mobil. Katanya buat kerja, bisa disewain, bisa juga buat ikutan ojek online. Aku agak enggak setuju karena, coba dulu deh yang ojek motor, dirasain dulu, cocok enggak. Soalnya kan gabung sama ojek online sekarang enggak mudah, apalagi yang ojek mobil. Konon dibatasin karena sudah saking banyaknya.

Lagi-lagi papa mama mengusahakan, tapi ya memang enggak dalam waktu dekat ini. Aku sama adekku yang kedua sampai sudah hafal dan ngerasa sudah malas buat ngasih tahu baik-baik ke mereka. Enggak ada gunanya sih, paling juga bikin perdebatan. Disaranin ke psikolog malah enggak dipercaya. Ya sudah, aku bisa apa?

Nah, berbekal pengalaman enggak enak dari keluargaku sendiri itu, aku lebih memprioritaskan ngedidik Alya saja. Daripada kezel deh, beneran. Tapi bukan berarti aku putus hubungan, enggak. Aku pelan-pelan juga kasih mama masukan, misal dengan kasil artikel tentang parenting. Lha gimana ya, kalau aku yang nulis sendiri kadang mama enggak percaya kan hahaha.

Salah satu artikel parenting yang aku kasih ke mama adalah "Anak bisa bully orang tua". Mama lumayan bisa tercerahkan dan kami bahas tentang adek bungsuku ini pelan-pelan. And yes, dari artikel plus pengalamanku tersebut, aku rangkum saja bagaimana sih bullying yang dilakukan oleh anak? Apa penyebabnya? Dan bagaimana cara mengatasinya? So, here we go.


BULLYING OLEH ANAK


Contoh sikap bullying:
- Mengancam
- Kekerasan fisik maupun verbal

Sikap semena-mena anak terhadap orang tua, bisa jadi karena kebiasaan sejak kecil. Salah mengasuh seperti selalu menuruti kemauan anak, menyikapi tantrum dengan buruk, atau selalu merasa anak tidak tahu menahu, akan menjadi bumerang ke depannya. Pernah denger seorang anak remaja tega bakar rumah orang tuanya sendiri hanya karena pengen motor dan enggak diturutin?

Nah sikap ini masuk ke bullying. Apa yang dikehendakinya enggak tercapai lalu melampiaskan emosi ke sesuatu terdekatnya. Termasuk tantrum juga kan ini?

Adek bungsuku juga pernah melakukan aksi fisik mirip seperti itu, tapi ini melampiaskan dengan membanting kaca buffet. Simply, waktu itu mama ngerasa kalau adekku kelihatan enggak serius menjalani bisnis kuliner. Malahan tiap hari mama yang ke warung, mulai dari masak, nyiapin makanan, bersih-bersih. Hampir mama semua. Suatu ketika adekku malah pergi entah kemana, dan di telpon mama, eeeh malah ke rumah temen dengan alasan bikin promosi lewat media sosial.

Alhasil mama marah, telpon adek dan bilang kalau mama enggak mau seperti itu lagi. Begitu adek pulang, adek ikutan marah, nangis, sampai teriak dan pecahin kaca buffet. Entah gimana drama setelahnya, yang aku denger, akhirnya mama memaafkan adek dan tetep mau bantu usahanya.

Bagiku ini salah besar. Kenapa? Pertama, mama enggak punya sikap yang bikin adek efek jera. Kedua, mama enggak tegas, dan malah larinya nyalahin papa.

FYI, beberapa bulan setelah kejadian itu, bisnis kuliner tutup. Alasan tepatnya, alasan logisnya, alasan klasiknya, adekku memang enggak niat mengelola itu dengan baik dan benar.

Sudah berbagai macam cerita yang menyebabkan papa dan mama repot sendiri. Beneran, ini bom waktu saja sih. Kalau dibiarin, nunggu mama meledak dan bikin suasana makin enggak enak.

APA PENYEBABNYA?


Kendali anak yang menang sendiri ini jelas karena otoritas enggak dipegang sama orang tua. Aku kok percaya faktor terbesarnya adalah pola asuh ketika kecil. Ambil contoh orang tuaku deh, mereka ngerasa bersalah karena bercerai, tapi di sisi lain, sedari kecil membiasakan adekku bebas minta tanpa ada batasan apapun.

Kadang mama papa juga merasa tidak tega karena melihat adek enggak kuliah But, aslinya itu karena pilihannya sendiri. Kayaknya sering lupa deh, karena adek berkali-kali ditanyain kuliah jurusan apa, tapi kok enggak ada yang pakem. Sedangkan aku dan adekku yang kedua, dulu waktu mau kuliah, sudah dituntut harus sudah tahu jurusan apa yang dipilih, supaya nanti di tengah jalan enggak putus.

Nah, ini? Sudah enggak tahu pilih kuliah dimana, jurusan apa, kondisi finansial kurang mendukung, nanti bosan di tengah jalan bagaimana? Wong bisnis kuliner saja yang menghabiskan puluhan juta melayang gitu saja kok.

BAGAIMANA CARA MENGATASINYA?


Sekali lagi, aku enggak cuek. Aku sudah sering kali bilangin mama soal bullying dari hal-hal kecil. Kayak menyuruh mama ambilin makanan, enggak mau cuci baju dan setrika sendiri. Ini sampai aku debat banyak sih. Dan respon mama kadang malah enggak terima, kalau aku kasih saran. Lama-lama aku sakit juga.

Maka, cara mengatasinya, bukan terletak pada orang lain, melainkan pada sikap orang tua itu sendiri. Apa saja?

1. Saling Menyadari

Kalau beberapa artikel bilang yang harus diperbaiki adalah pola asuh, itu benar adanya. Hanya saja, yang pertama harus dilakukan, justru sadar diri. Kerasa enggak kalau kita selama ini dibully oleh anak? Jangan-jangan kita enggak sadar lagi.

Menyadari kesalahan lalu memperbaiki memang bukan perkara gampang. Nyatanya, orang tua acapkali ketetean dan merasa kasihan.

Mama dan papa ku juga begitu. Kalau adek bungsu sudah kepentok terus berlagak butuh perhatian orang tua, jelaas, mama papa akan luluh. Padahal kan pertanyaannya, perhatian seperti apa yang dibutuhkan? Seharusnya dikomunikasikan dengan tepat. Sudah pada dewasa harusnya bisa mikir secara logis dan realistis.

2. Tegas

Mama papaku itu galaknya bukan main, tapi aku anggap enggak tegas, terutama sama adek bungsu. Kami sih sering digalakin papa mama, dipelototin, sampai dimarah-marahin. Tapi enggak tahu ya, kegalakan mereka kadang malah bikin kami lama-lama jengkel. Kadang bikin kami enggak bebas, kadang enggak bisa bikin kami speak up. Sama adek bungsu juga gitu, sama galaknya, bedanya, semua diturutin dan tidak dibatasin.

Baca juga: Tegas Beda Dengan Galak

Padahal, jika papa mama bisa mengelola emosi dengan baik, pasti jatuhnya akan tegas. Mereka ya, kalau bikin aturan kadang enggak pakai kesepakatan, main libas saja, sampai aku dan adek keduaku ngerasa bagai dipenjara. Serius.

Kalau mama papa tegas dan aturan dibuat sesuai kesepakatan bersama, pasti aku bakalan ayem. Yang parah si bungsu, papa mama enggak bisa tegas dengan alasan, karena adek enggak bisa dikerasin. Ha mantap, dikira hatiku terbuat dari baja apa gimana? Aku dulu rapuh, tapi aku belajar. Well, mama papa memang pandang bulu, enggak tahu karena apa.

3. Saling Mengenali

Ini nyambung ke point 1 tadi. Selama ini kita kenal enggak sih sama sifat anak? Kadang orang tua kan ngerasa paling mengerti anaknya, padahal sebenarnya mereka enggak ngerti apa-apa. Orang tua maksa kasih jalan A, anaknya pengen lewat jalan B. Anaknya lebih suka mangga, dikupasin apel. Anaknya diam-diam salah, tapi dibenerin terus. Ya alamat jadi anak yang enggak klop sama pemikiran orang tua.

Aku setuju, misal adek bungsuku ini enggak bisa dikerasin, seharusnya punya pola asuh yang berbeda. Azas keadilan toh melihat situasi. Cuma gimana caranya supaya jatuhnya enggak semena-mena. Dilembekin terus bakalan gitu kan jadinya.

Selama ini papa mama selalu merasa paling mengerti adek. Wah prahara deh. Sudah pisah, lalu saling menyalahkan dan merasa paling benar. Padahal sejatinya, adekku justru yang memanfaatkan kondisi ini dan bikin dia mikir enggak pernah salah. Semua kesalahan ada pada papa mama. Dead wrong yakan?

4. Cari Bantuan

Kalau enggak menemukan siapa pun yang bisa menengahi, sebaiknya cari bala bantuan. Contoh terdekatnya ya saudara, teman, atau kalau mau yang professional datanglah ke psikolog. Datang ke psikolog kadang tabu dan aneh bagi orang-orang awam. Padahal psikolog seenggaknya bisa mendengarkan keluh kesah, dan memberi saran karena tidak memihak siapapun. Sekarang di beberapa puskesmas ada kok, di rumah sakit juga banyak praktek. Tinggal kesiapan saja. 

***
Aku masih belum nemu cara yang tepat gimana caranya supaya bisa memutus rantai masalah besar di keluarga ini. Mau datangin ke Psikolog jelas papa mama akan ngerasa enggak penting. Sekarang sudah agak lumayan, papa mama sudah mau berbagi dan mau mendengarkan. Segitu dulu sudah cukup. Nanti treatment selanjutnya dipikirin masak-masak, jangan sampai karena aku salah ucap, salah sikap, semua runyam dan berbalik nyalahin aku. Fiuh.

Okay deh, segitu dulu tips berbalut curhat terselubungnya. Moga-moga berkenan, dan bila ada saran, dengan senang hati aku pertimbangkan. :)

You May Also Like

1 komentar

  1. saya belum punya pengalaman jadi orang tua. membaca curhatan ini jadi tahu satu hal. jadi orang tua itu susah.

    ReplyDelete