KOMPETITIF PENTING ENGGAK SIH?

by - March 14, 2019

Pada dasarnya macam-macam ilmu parenting enggak cuma bisa berpedoman satu dua buku, satu dua psikolog, atau satu dua pengalaman. Ada banyak banget ngeeet wawasan yang perlu kita kenali, biar ketika ngadepin anak, kita sudah punya bekalnya. Kan momong anak tuh juga harus disesuaikan dengan kondisi, enggak bisa sak'klek pakai satu aturan.

Namun terus terang nih ya, dalam prakteknya aku sering keluar jalur kok. Yang tadinya dipersiapkan matang, begitu sikap anak yang mendadak berubah, langsung hilang kendali. Apalagi kalau badan sudah rontok, kerjaan belum selesai, rumah berantakan. Wow, ku pasti out of control.

Di umurnya yang hampir 4 tahun ini, Alya tampak banyak menunjukkan banyak kemajuan terutama soal bersosialisasi. Kalau dulu dia gampang ngak ngek ketemu orang baru, sekarang sudah agak mendingan. Ya asalkan dibriefing dulu sih seringnya. Tapi kalau keluarga atau temen deket, kadang enggak disounding juga sudah ngebaur dengan sendirinya.

Satu hal yang jadi catatan aku dan Suami selama ini adalah, saking Alya ini sering berbagi, menganggap semua orang itu yang berbeda biarlah berbeda, Alya tumbuh jadi anak yang merasa semua sama. Ditambah, kami lebih sering memberlakukan delay gratification, yang artinya, enggak semua yang dia inginkan, selalu terpenuhi, dengan cepat, atau malah enggak terpenuhi sama sekali.

Seperti yang kami yakini, kami kasih contoh, kami ajarkan, bahwa sering membandingkan itu enggak baik. Wong yang tua saja enggak mau kan, apalagi yang masih kecil. Nah, di sini nih yang jadi salah kaprah. Saking ngerasa bahwa manusia punya kelebihan dan kekurangan, Alya jadi ngerasa kalau enggak semua hal kita harus bisa. Mak deg kan gaes!

Misal dia senang menyanyi, dan temennya enggak bisa, dia maklum. Begitu pula sebaliknya, ketika ada temen yang bisa menghafal secara cepat, kalau dia bisanya selow, ya enggak apa-apa. Terus kasus lainnya, kayak pas sekolah disuruh cepet-cepetan menjawab pertanyaan, dan yang cepet menjawab, pulang duluan. Di situ Alya cenderung mengalah loh, bahkan kadang terima saja keluar terakhir. 

Hal ini dipertegas dengan pernyataan Alya, "Ya kan sama-sama pulang". See? Dia belum nangkep poin yang dimaksud dalam games yang diberikan Gurunya. Dia masih mengganggap menang atau kalah, bukan masalah utama.

Singkatnya, kami melabeli Alya dengan sebutan: anak yang tidak cukup kompetitif. Siapin kacang, curhatku lumayan panjang.


Untuk lebih jelasnya, satu contoh lagi deh. Jadi beberapa kesempatan lalu kami mengajak Alya buat ikutan lomba mewarnai. Aku yakin sih, mewarnai itu masih dalam kesenengan Alya. Bukan yang menghafal, atau berlenggak-lenggok di panggung, pokoknya misal Alya ikut, aman lah, sesuai dengan minatnya. Dalam bayanganku, kalau Alya bisa ngikutin lomba dengan baik saja, itu sudah bagus. Seenggaknya bisa menumbuhkan rasa percaya diri dan menambah wawasannya. "Oh, temen-temen bagus-bagus ya gambarnya", atau "Oh, ternyata aku bisa nih". Nah bayangannya kan gitu ya, biar Alya juga makin ngerti kalau sikap kompetitif kadang memang dibutuhkan.

Alih-alih dia semangat, yang ada, sebelum dia bertanding, dia sudah nyetuluk duluan gini, "nanti kalau Alya kalah bagaimana?". 

Aku dan Suami kompak menghela nafas. Seirama pula! Lha kok belum-belum sudah ngeper. Wong kalau dilihat-lihat nih, hasil gambaran Alya lumayan bagus loh. Bahkan beberapa temenku, temen-temennya, sampai Gurunya, banyak yang seneng karena Alya bisa seimajinatif itu. Masalahnya adalah, kenapa hal yang dia bisa saja masih ngerasa kurang percaya diri? Iya, percaya diri adalah kunci. 

Menurutku nih, berbekal dari pengalaman dan ngertiin sikap Alya, dia itu harus dipupuk dan ditumbuhkan rasa semangatnya. Aku inget, sampai pernah ada yang ngomong kalau Alya gampang kecil hati. Maksudnya, ada apa dikit minder, ada yang dia enggak sreg, mutung. Mungkin karena sifatnya yang sensitif dan moody yang jadi faktor utamanya.

Beberapa kali aku juga ngelihat Alya kadang enggak siap dengan sesuatu yang bersifat mendadak. Enggak heran sih, kan sifatnya slow to warm up. Salah satu cara efektif buat menetralkannya adalah dengan sounding. Sebelumnya enggak sounding, kondisinya banyakan buyar ketimbang yang baik-baik saja. Ada sih sesekali dua kali dia ngeblend sama kondisi, tapi selebihnya, ngak ngek tiada tara.


Makanya, aku menarik garis kesimpulan kalau sikap Alya yang enggak kompetitif ini banyak dipengaruhi oleh faktor-faktor hasil didikan kami juga. Antara dia ini tipe anak yang sudah terbiasa dibriefing dulu, tipe anak yang mengenal perbedaan adalah hal yang wajar, dan tipe anak yang kalau enggak suka ya enggak usah dipaksa. Well, PR besar lagi ya kan!

Hari-hari kemarin dan ke depan, aku agak sedikit mengubah pola didik, terutama sikap pesimisnya Alya. Aku berusaha biar sifat percaya dirinya muncul secara pelan-pelan, dengan enggak membandingkan berlebihan.

Misalnya. Wah temen Alya sudah ada yang bisa pakai roda dua. Nah, tadinya kan Alya enggak tertarik sama sekali, karena ya memang dia kesusahan ketika mencoba. Jadi dia sempet give up gitu kan. Sekali lagi, dia bilang "Ya kan enggak apa-apa, kan semua emang berbeda". Kami mengubah sudut pandangnya menjadi, "Kalau yang lain bisa kenapa kamu enggak?" Intinya, parenting itu  kan kadang menang-menangan omongan ya haha, selama masih golden age, otoritas ada di tangan kita. 

Terus ngelatihnya, dari hal-hal kecil. Ketika dia main sepedaan di komplek, atau ketika dia mau sekolah. Kayak drama sih, pakai pegang tangan dan tatap matanya segala. Aku kasih suntikan semangat, seperti, "Alya sudah mau 4 tahun, artinya Alya sudah makin besar. Mama percaya kamu bisa. Semangat ya nak"

Kepercayaan yang aku berikan ke Alya ini anggap saja sebagai tombak buat mendorong mentalnya. Bukan kebetulan, pelan-pelan dia sadar sendiri kok, walaupun masih saja bertanya: "nanti kalau Alya kalah bagaimana?" Terus aku jawab wae, "Yang penting kamu menang di hati mama papa".

Aku juga kembali kasih reward ketika dia sudah bisa mencapai sesuatu yang menurut kita keren.

Oh iya, aku lupa, aku sudah lama enggak memberlakukan reward and punishment, karena beberapa moment belakangan ini semua fase Alya gampang-gampang saja. Reward and punishment ini masih pro kontra enggak sih, soalnya aku bikin aturan itu kan ya atas kesepakatan bersama Alya. Dan aku nganggep ini cukup efektif dalam ngedidik Alya. Dia dikasih reward senengnya bukan main loh, barangkali aturan ini bisa mendukung mental kompetitifnya kan Alhamdulillah.

Untuk yang penerapan delay gratification, yang mana Alya enggak dapat yang dia mau juga enggak apa-apa, itu juga salah satu pengaruh besar. Sekarang, ada kalanya aku memberikan apa yang dia  minta, asalkan dia ada usaha. Bukan ngasih perintah, baru dikasih upah. Mumet juga sih konsepnya,  bolak-balik kayak sama saja hahaha. Tapi sedikit saja salah bisa bikin berabe tuh. 

Buat lebih jelasnya, ini aku sertakan sumbernya dari Instagram @latihati.


Beberapa kali aku coba, konsep usaha ini cukup jitu buat dipraktekkin ke Alya. Alya jadi lebih punya rasa semangat buat dapetin sesuatu. Nah, dari sini nih, diarahin buat kompetitif yang baik. 

Sikap kompetitif yang baik yang gimana? Kan kompetitif itu persaingan?

Yang perlu digarisbawahi adalah, gimana caranya bikin persaingan yang sehat. Kalaupun dia menang, beri dia pujian sewajarnya. Kalau kalah, seenggaknya sudah berusaha. Simple kayaknya ya, tapi jaminan puyeng.

Aku nganggepnya kompetitif justru penting supaya kita punya pencapaian hidup. Dulu mungkin aku enggak terlalu kompetitif juga sih, tapi ketika lingkungan mendukung, otomatis aku kecambuk juga. Kalau sekali ngelihat temen sukses, wah, rasanya pengen ikutan sukses juga. Gimana caranya biar aku juga bisa seperti mereka, gimana perjuangannya, gimana cara mempertahankannya? Iri hati kadang ada gunanya ya kan ya. 

Nah, ini juga jadi catetan sendiri buat kami. Nanti pas TK, Alya bakal aku pindah ke sekolah yang lebih hardcore. Wkwk. Maksudnya, sekolah yang lebih banyak kegiatan, punya varian pembelajaran baik indoor ataupun outdoor, juga punya murid-murid yang lebih kompetitif. Salah enggak sih ngomong gini haha.

Saat ini Alya sudah mulai mau ikutan lomba-lomba kecil, mau bersaing, dan mau menerima kalah atau tidak. Aku tahunya, kemarin ketika dia sepedaan. Tiba-tiba dia teriak "yeay Alya menang" ketika sudah sampai di depan rumah. Aku lihat beberapa anak lain tertinggal di belakang. 

Selain itu, pernah juga aku ngelihat Alya rame-rame teriak "Yeay kita semua menang" ketika dia dan temen-temennya berhasil lari bareng sampai garis finish mereka. 

Sepele sih, tapi cukup bikin aku lega. Berarti Alya sudah lumayan tahu konsep kompetitif secara enggak langsung. Semoga ke depannya dia selalu bisa menyelaraskan kondisi dan bisa membaur dengan mudah, kalau enggak, tambah mumet orang tuanya. Hahaha.

Ya sudah, sekian sharingnya, semoga cerita panjang di atas cukup ngebantu buat kalian yang juga ngerasa punya anak enggak cukup kompetitif. Siapa tahu kita selama ini salah sangka, salah mengarahkan, atau lupa, bahwa sikap anak karena pengaruh kita dan lingkungan juga. Yok kita semangat yok!

You May Also Like

2 komentar

  1. dilema yaaa.. di satu sisi aku melihat alya juga baik, pengalah, lembut hati, tp mungkin di sisi lain org bisa melihatnya terlalu nyantai, ga mau fight dan minderan. Tapi kalo skr alya udh bisa ngerti menang kalah, udh bisa menikmati kalo menang ternyata asyik juga yaaaa :D, moga2 kedepannya dia lbh tertantang utk bisa mencoba hal2 baru lain ya :).

    anakku juga beda sifat mba. kakany lbh pengalah,sama kayak alya. tp kalo si adek, lbh berani. lbh bisa menyatakan kalo dia ga mau dikalahin :D. tp tetep aja, aku hrs jaga2 jgn sampe sifat beraninya kebablasan ,yg mengarah ke negatif nantinya. :D.

    puyeeeng dah jadi ortu :D. hrs pinter2 melihat karakter anak dan bisa mengarahkannya scra bener

    ReplyDelete
  2. Nice sharing mbak.. Ilmu baru untukku yg belum jadi ibu.

    ReplyDelete