DRAMA SAKIT GIGI PART I

by - May 15, 2019

Kalau disuruh milih antara sakit gigi atau sakit hati, saat ini mungkin aku bakalan milih sakit hati saja deh. Soalnya sependek pengalaman ngurusin hati, paling juga enggak lama, dan cenderung cepet move on lagi. Sedangkan sakit gigi? Demi Tuhan, ini tuh kayak mimpi buruk jangka panjang. Dari mulai yang geluntungan enggak bisa ngapa-ngapain, proses ngurus pencabutan gigi yang ribet, sampai deg-deg-an duitnya habis berapa.

Maka aku enggak heran, kalau temen-temen yang ngikutin IG story-ku pasti ikutan gemas. Gimana enggak? Ngurus gigi kok bisa tahunan sendiri. Nah, kesabaran itu finally membuahkan hasil, dan aku sudah cukup pede buat sharing sama kalian di blogpost kali ini. Dramanya cukup panjang dan berjilid. Semoga kalian enggak bosan ya! 


CASE


Sebelum aku cerita panjang lebar soal drama sakit gigi, aku jelasin dulu kondisi gigiku kenapa bisa sesering itu sakit gigi. Jadi begini, struktur gigiku sejak dulu memang sudah berantakan. Hal ini konon disebabkan karena waktu kecil aku ngedot sampai umur 4 tahunan. Terus, gigi depanku geripis, hitam-hitam gitu. Celakanya orang tuaku tuh enggak melek Dokter Gigi. Mungkin sibuk? Atau cuek? Atau mikir enggak penting? Atau mikir kalau struktur gigi itu takdir? Meneketehe.

Jangankan 6 bulan sekali ke Dokter Gigi, kalau dihitung total paling seumur hidup baru belasan kali. Yang jelas, kalau gigi susu yang sudah keropos enggak segera ditangani, jadinya gigi permanen yang  bakal tumbuh bakalan nabrak gigi susu keropos dan bisa bikin gigi berantakan enggak kira-kira. First thing first, perawatan gigiku dari kecil memang sudah salah duluan.

Kondisi gigi depanku besar-besar, gigi kelinci kalau orang bilang, dan bikin mblesek gigi di samping kanan kirinya. Terus ketambahan pula gigiku ada gingsulnya. Awalnya bagimana sampai bisa kayak gini? Di atas sudah aku bilang ya, perawatan gigi itu memang sudah seharusnya sejak gigi susu. Jadi karena gigi susuku yang paling geripis kan yang atas depan, kalau enggak salah inget, gigi permanen atas inilah yang lantas pertama kali tumbuh. Kaget juga karena lama-lama strukturnya makin berantakan.

Nah, ngelihat struktur gigiku yang berantakan, Mama lalu ngajak ke Dokter Gigi. Aslinya aku manut kok, enggak nolak sama sekali. Aku malah pengen banget punya struktur gigi yang rapi. Sampai Dokter Gigi, aku diperiksa dan dibersihin bagian yang keropos. Aku lupa yang bagian mana, tapi, gimanapun juga, sudah terlambat sekali menanganinya kalau mau rapih. Mau rapih ya tetep kudu behel. Cuma ya gitu, zaman aku kecil belum ngetren behel model cakep-cakep kayak sekarang ini. Mau kray meratapi salah zaman boleh enggak hahaha.

via GIPHY

Seperti yang kita tahu, SEHARUSNYA ke Dokter Gigi enggak boleh cuma sekali dua kali, ya kan. Gigi harus terus dirawat dan dicek-cek-in. Ada yang keropos enggak, ada yang rusak enggak, biar segera ditanganin.

Nah, pas SD itu ada kelanjutannya kok. Cuma ya habis itu sudah, enggak dirutinin terus tiap 6 bulannya. Mungkin anggapan Mama Papa, begitu enggak sakit gigi, kelar urusan, hahaha.

Kedua kali datang ke Dokter Gigi, seingetku untuk dibersihin karang giginya. Oh damn, i miss that part. Karena habis dibersihin karangnya, gigiku yang menguning memudar dan terlihat lebih bersih. But, sayangnya setelah itu, enggak pernah ke Dokter Gigi lagi sampai aku kuliah.

Oh iya, karena kondisi gigiku yang jadi enggak rapih gini, aku sebenernya mengalami kendala besar, yaitu pasti selalu ada makanan terselip ketika makan. Sikat gigi sudah 2 kali, plus kumur-kumur tiap habis makan, tapi mungkin enggak sebersih yang aku kira. Jadi gigiku termasuk sering menguning dan makin berumur-makin terlihat karang giginya.

Memasuki SMP, sekitar tahun 2001, Mama bahkan sempet melontarkan mau behel gigiku. Aku sumringah dong, dan buru-buru minta Nenek buat nemenin ke Dokter Gigi. Kenapa enggak Papa? Kenapa enggak Mama? Jangan tanya, sudah kubilang, mereka sibuk, cuek, dan meneketehe. Wkwk.

Nenek kemudian mendatangi Dokter Gigi yang bertugas di dekat kantornya. Rasanya waktu itu sudah enggak sabar, sudah bayangin kalau gigiku dibehel pasti bakalan lebih cantik dan enak buat ngunyah. Ternyata sampai sana, Dokternya bilang kalau enggak bisa menangani kasus gigiku, entah kenapa. Belum nyerah, Nenek lalu nyari Dokter lagi. Dokter yang ini buka praktek di rumah. Apes. Lagi-lagi Dokter bilang enggak bisa. Salah apa sih gigiku ini sampai banyak Dokter yang enggak bisa nanganin?

Dan tampaknya sampai situ pula lah, Nenek menyerah dengan sendirinya. Maklum sih, tahun segitu di Magelang susah nyari Dokter Gigi. Boro-boro nyari Dokter Gigi yang bagus, wong yang biasa saja enggak nemuin jawaban pasti kok. Sekarang mah enak, tinggal browsing, pasang status via whatsapp dan langsung direply banyak orang, atau telepon RS online 24 jam. Lha dulu? Jangan harap informasi segampang kayak sekarang ini.

Oke, akhirnya semua itu tinggal wacana. Enggak ada kelanjutan nyari Dokter Gigi lagi sampai aku kuliah. Tapi, masalah gigiku kembali datang tanpa ancang-ancang. Kali ini lebih menyakitkan.

via GIPHY

SAKIT GIGI PERTAMA


Ceritanya waktu itu semester 5 an lah. Tiba-tiba nih, tiba-tiba banget. Kuping kananku sakitnya minta ampun. Dari kuping tembus ke kepala. Rasanya tuh gimana ya, kayak pusing tapi enggak bisa denger gitu lho. Aku sampai gulung-gulung sendirian di kamar, dan aku bawa tiduran. Aku sempet sms Papa sama Mama ngabarin kalau aku sakit telinga. Anehnya, kadang-kadang sakitnya hilang, tapi begitu kambuh, aku langsung enggak bisa ngapa-ngapain.

Keesokkan harinya, aku disuruh Papa untuk datang ke RS tapi jemput budhe dulu. Kebetulan di Jogja masih ada beberapa saudara, jadi kalau ada apa-apa, banyak yang nolong. Sama budhe kemudian dibawa ke UGD Bethesda. Naaah!!! Disitulah aku baru tahu bahwa penyebab sakit telingaku ini adalah karena gigi bungsu tumbuh. JENG JENG!!!

Aku kemudian diresepin paracetamol, antibiotik, dan beberapa obat lain. Kesemua obat itu dengan rajin aku minum, dan selama itu pula, sakit gigiku enggak kambuh. Otomatis dalam hati mikir, kalau gigiku sudah sembuh.

Dasar aku nya memang enggak care juga sih sama gigi. Kalau enggak sakit, enggak bakal deh jabanin Dokter Gigi. Jadi ya, aku pede-pede saja makan es batu dikrauk-krauk, banyak minum kopi, teh, lidi pedes (eh serius ini bisa bikin gigi bolong loh), sampai makan rendang yang bar bar. Aku enggak nyangka kalau habit yang buruk, bikin gigi permanen susah buat dipertahanin.

MULAI PERAWATAN


Setelah aku kerja dan punya duit sendiri, well, akhirnya pelan-pelan aku sadar diri kalau perawatan gigi itu perlu. Apalagi di umur 23 an tahun, gigi ku sudah banyak yang bolong. Makin enggak enak dong buat ngunyah makanan. So, aku sudah mulai rutin kenal Dokter Gigi, dari yang buat nambal gigi, sampai bersihin karang gigi. FYI, tambalan gigi yang kuat itu pakai metal. Hanya saja, warnanya hitam, jadinya jelek. Kalau yang putih cenderung gampang rusak dan enggak seawet yang metal. Masalah biaya? Cincai, aku sudah punya duit sendiri.

Tapi ya gitu, misal enggak sakit, kadang aku nunda-nunda ke Dokter Gigi. Baru, kalau sudah nyut-nyutan sampai pusing, langsung gerak dan dikasih obat. Begitu sembuh? Ya enggak diterusin sampai sakit lagi. Gitu terus ritmenya enggak berubah-berubah. Sakit gigi? Sudah lupa tuh.

via GIPHY

PENGEROPOSAN TULANG


Menjelang nikah, sudah lupa urusan gigi. Padahal gigi bungsu kiri bolong dan enggak kunjung ditambal lagi, sehingga menyebabkan keropos plus menjalar ke gigi depannya. Enggak sakit sih, cuma teteup, buat ngunyah rasanya aneh. Selalu saja ada makanan masuk ke gigi yang bolong.

Waktu berjalan hingga aku punya anak dan menyusui. Tiba-tiba, tanpa aku sadari ada gigi bagian bawahku kanan, letaknya agak depan, keropos langsung kayak habis makan sesuatu yang keras. Kaget dong. Wong tadinya baik-baik saja kok. Terus bungsu kiri tambah geripis. Ini level keroposnya sudah parah, warnanya sudah membusuk.

Aku sempet konsultasi sama Obgyn yang nanganin kelahiran Alya. Kata Obgynnya, gigi keropos ini kemungkinan karena pengapuran tulang. Kok bisa pengapuran tulang? Iya, orang hamil dan menyusui, kalsiumnya makin berkurang, dan bisa menyebabkan gigi keropos. Jujur saja, yang aku pikirkan saat itu, misal aku ke Dokter Gigi, aku kudu siap duit, dan siap ninggal Alya dalam waktu yang lama.

Jadi, lagi-lagi aku cuma bertahan dengan gigi yang keropos dalam jangka waktu yang lama. Hingga kira-kira kelar menyusui, baru terasa lagi. Yang ini sakitnya juga bukan main. Hampir sama kayak yang pas kuliah dulu, bedanya, sekarang sudah punya anak. Dulu mah geluntungan bebas kapan wae, dan selama apa. Kalau punya anak? Rempongnya lebih aduhai.

Mau tahu cerita selanjutnya? Next aku ceritain, kalau ternyata gigi bungsuku posisinya tidur, dan bikin depannya bolong karena posisinya nabrak. Tapi. aku akan menulisnya di blogpost terpisah part 2 ya, biar enggak kepanjangan. Semoga kalian sabar menanti. :)

You May Also Like

1 komentar

  1. Ibu saya termasuk yg sangat perhatian dengan gigi. Dulu yg namanya ke dokter gigi, dibor, ditambal, saya sdh biasaaaa...😂

    Tapi pas sdh dewasa, saya justru yg enggan pergi ke dokter gigi. Semacaam trauma mungkin ya😁 akhirnya sekarang gigi saya banyaak yg keropos.. Kalau sakit gigi lebih memilih obat warung daripada harus berhadapan dengan dokter gigi.

    Njenengan magelangnya mana mbak? Saya juga orang magelang☺

    ReplyDelete