TENTANG KERJA REMOTE

by - July 11, 2019

Rasanya, istilah kerja remote sudah lazim digunakan saat ini. Bukan bermaksud membandingkan dengan kerja kantoran sih, kan semua ada plus minusnya. Tapi, buat orang-orang yang kesusahan dengan ritme 8-5, atau dengan kerjaan rumah yang harus sama-sama dikerjakan, maupun yang males dandan, belum OOTD belum MOTD, setidaknya 'pekerjaan yang bisa dikerjakan dimana saja', tentu saja adalah hal yang sangat menyenangkan dan bisa menjadi pilihan. 

Termasuk aku, seorang ibu satu anak yang sempet kesusahan cari kerja. Sekalinya dapat kerjaan "Wah maaf bu, kami lebih membutuhkan yang single". Uhuk, baiklah, aku enggak apa-apa, walau dalam hati pedih juga.


Kerjaan aku saat ini adalah penulis naskah lepas, baik itu untuk produksi film pendek, TV Commercial, video profile, sampai program tv animasi. Iyes, walaupun kesemuanya bisa aku kerjakan sendirian (alias di rumah saja tanpa ada gangguan, cuma ngandelin otak doang), tapi teteup, bagaimanapun juga ada tim besar di atasnya. Yang mana ini akan sangat menyulitkan di bagian re-vi-si. Baca terus deh, nanti ada kok ceritanya.

Sebagai bayangan saja, kepenulisan naskah ada dalam tahap pra produksi. Ini meliputi riset, ide, konsep, include brainstorming tiada henti, baru kemudian dituangkan ke dalam bentuk naskah. Naskah sendiri terdiri dari breakdown karakter, latar belakang, basic story, sinopsis, lalu storyline. Kesemuanya akan digodog matang-matang sebelum eksekusi alias tahap produksi. Paling krusial sih intinya. Walaupun pernah beberapa kali menemukan fakta: naskah sudah jadi, siap produksi, sampai lapangan minta diganti. Gila kan? Ya memang, tapi konon ini adalah hal yang biasa.

via GIPHY

Sekarang, aku mau ngomongin kerjaan animasi yang aku kerjakan secara remote. Yaaa, mumpung lagi anget-angetnya dapat project ini. Hehehe enggak apa-apa ya, sesekali banggain kerjaan boleh kan?

Kalau aku nulis naskah buat film, biasanya berhubungan langsung dengan Producer, Line Producer, Klien, sampai Sutradara. Aku sudah cukup hafal, mengingat profesiku sebelumnya jadi Producer. Seluk beluk bikin film ya gitu-gitu, enggak yang terlalu ribet karena mungkin sudah nemu alurnya. Paling kalau gontok-gontokan, biasa cuma masalah ide, masalah ritme kerja, atau komunikasi. Misal dirasa sudah mentok dan enggak cocok, tinggal blacklist. Gampang! Eh Seram ding ya. Hehehe, begitulah kejamnya dunia freelancer.

Nah, program animasi lebih ribet lagi! Ribetnya ditambah dengan turun tangannya Pimpinan Produksi (Pimpro), Concept Art, sampai Animatornya. Ini sesuai pengalaman pribadi loh ya. Karena dalam kasusku, aku tergabung dalam produksi animasi ketika sudah sampai seperempat jalan. Yang artinya, konsep sudah ada, animasi juga sudah jadi satu dua episode contoh/pilot program, dan beberapa storyline sudah dibikin. But unfortunately, some of them was rejected by client. Stress juga sih ini.

Membuat naskah tuh harus nanya dulu sama Concept Artnya: "mas, aset sepeda ada enggak? aku mau bikin adegan turun gunung pakai sepeda nih!" Itu contoh simple loh ya. Nah, terus si Concept Artnya akan berkomunikasi sama kita, tentang apa saja yang dibutuhkan dalam membuat animasi adegan tersebut. Misal deadline mepet dan enggak nyukup waktunya untuk bikin aset baru, maka adegannya mending diganti. Ingat, di sini semua adegan yang akan aku bikin, harus dikomunikasikan kepada Si Concept Art ini agar mempercepat proses pengerjaan.

Terus jobdesk aku gimana? Di tengah-tengah tekanan deadline, aku juga harus mengurusi semuanya, mulai dari pendalaman cerita. Di sini harus dikulik dulu nih gimana caranya sudah aku dapet 'feelnya'. Gimana caranya aku ikut larut dalam cerita. Dan gimana caranya sentuhanku masuk dan klop sama semua tim inti yang sudah aku sebut tadi di atas. Honestly, project ini paling membabibuta di antara project-project lainnya. Mau mundur? Kok ya sudah teken kontrak. Jadi mari kita panjatkan puja puji syukur sekalian sambat. Ealah biyung!

Cuma enaknya gini, animasi yang aku kerjakan sekarang ini statusnya sudah Perseroan Terbatas atau istilah kerennya (halah) Corporate. Ini enak banget buatku yang berstatus freelancer. Aku punya perjanjian jelas dan sistem gaji yang transparant. Dibayar menjadi berapa termin, atau ditransfer setiap tanggal berapa per bulannya. Gajinya persis pergawai dan enggak perlu ngantor pula. Kalau sudah gini kan sambatnya jadi berubah "Maka nikmat Tuhan mana yang kamu dustakan".

Jadi, aku pikir project ini adalah new challenge buat ku sendiri. Seneng kok, plus bangga juga karena akhirnya bisa gabung sama project animasi lagi. Alya saja ditontonin ikutan seneng, dan dia sampai bilang loh, kalau dia suka karakternya. Bahkan minta dipreview-in terus tiap sudah ada episode yang jadi. Terharu enggak sih hehehe.

Tantangannya, jelas waktuku makin sempit tiap harinya. Mana ini kan Alya kan baru masuk sekolahnya tanggal 15 nanti, padahal keburu kejar tayang, so ya gitu deh. Seperti biasa, aku harus bisa ngatur waktu plus bikin catetan to list tiap harinya. Ngos-ngosan juga ini but it's okay lah, yang penting gajiannya jelas lau mau apa haha.

Oh iya satu lagi, aku juga masih harus ngatur project-project lain yang enggak kalah ribetnya: tanggungan webseries 3 episode dan satu proposal pengajuan film pendek. Harus strong sih gila! Karena kesemuanya punya deadline yang sama-sama mepetnya.

Sekarang kalau ditanyain kerja remote itu enak apa enggak, aku cuma jawab ya enak enggak enak. Iya betul, aku masih bisa sambil monitoring anak. Tapi kan anakku tipikal anak yang tidak bisa main sendiri, alias salah satu dari emak bapaknya harus turun tangan. Jadi kalau dua-duanya sama-sama ada kerjaan, anak mau enggak mau harus dititipin. 

Kerja remote sepertiku ini, akan lebih enak jika alurnya dibuat sama dengan orang kantoran, walaupun tempatnya 'cuma di rumah doang'. Misal: pagi mandi, sarapan, anter anak sekolah, ya sudah, habis itu langsung kerja. Nanti sore setelah kerjaan kelar, baru jemput anak. Malam, kalau ada revisi, kerjakan secepatnya. Kalau pinter ngatur waktu, dihitung-hitung durasi kerjanya sama kok. 8 jam, bahkan kalau kita cepet, bisa kurang, dan waktunya bisa buat yang lain, seperti ngeblog gini.

Saat ini, aku lagi menikmati masa kerja remote. Kalaupun harus meeting, paling seminggu sekali doang ke luar kota, itupun cuma makan waktu maksimal 5 jam! Karena ya gimana ya, memang lebih enak langsung ngerjain sih. Ketemuannya itu lho, harus ngepasin jadwal team inti, mana anggotanya kepencar di mana-mana pula. Yo wes, sekali ketemu aku langsung mencatat apa yang perlu dituangkan ke dalam naskah. Minimal aku sudah dapat konsep baru dan di rumah tinggal menuangkannya ke dalam tulisan.

Selama beberapa minggu ini dapat dikatakan masih aman. Komunikasinya sudah enak, sudah lumayan kenal satu sama lain, terus juga sudah klop sama konsep cerita. Tinggal nanti nih kalau episodenya mulai diperpanjang, otomatis butuh asisten penulis naskah buat back up. Karena kayaknya enggak mungkin deh aku kerjain sendiri. Selain nanti takut tiba-tiba buntu, waktunya juga enggak memungkinkan karena di sisi lain masih banyak yang harus aku kerjakan.

via GIPHY

Well, intinya, bagiku kerja remote itu enak kok. Asal wifi kenceng sih yang utama hahaha. Yang enggak enak cuma satu: tanggepan orang-orang yang enggak tahu dan selalu menganggap bahwa orang yang kerja di rumah itu selalu selo setiap saat. Alias kalau ada apa-apa bisa dikisruhi kapan saja. Nah itu tuh yang enggak enak banget, dan PR besar! Makanya, walaupun kerja remote, aku bertekad bahwa suatu saat nanti, aku harus punya semacam studio yang berfungsi sebagai tempatku bekerja. Anggap saja itu kantor, walaupun di rumah saja.

Jadi, aku akan tetap dianggap bekerja, karena mungkin bagi orang lain, bekerja adalah masalah tempat saja. Ya sudah segitu dulu ya curhatnya. Aku kepikiran juga ini, karena sudah lama enggak ngisi blogpost di label Freelancer The Series.

Kalau kalian mau ada yang ditanyakan seputar freelancer, bisa tulis di kolom komentar ya. Siapa tahu jadi ide buat blogpost selanjutnya. Thank u for stopping by. 

You May Also Like

1 komentar

  1. Seru juga ya mbak kehidupan penulis naskah, ternyata alurnya seperti itu. Mau nanya deh, kalau cerita sinetron Indonesia kan sering adegan berulang, cerita yang absurd (mati terus hidup lagi), dan episode yang dipanjang-panjangin padahal inti cerita sudah selesai. Itu biasanya karena tuntutan rating, producer atau apa? terus apakah kalau sinetron stripping itu berarti naskahnya ditulis berdasarkan episode yang sudah berjalan atau memang sudah siap dari awal sebelum produksi? boleh sharing jadi postingan kalau sekiranya kepanjangan mbak. :D

    ReplyDelete