ORANG TUA YANG BAPERAN

by - September 01, 2019

Memasuki usia sekolah, tentunya anak akan makin banyak berteman. Apalagi yang sebelumnya hanya bisa main di rumah doang, dan sekali keluar, kaget karena anak yang lain begini begitu. Alya sendiri sebetulnya intensitas bermain dengan temannya sudah dapat dikatakan cukup sering. Karena kebetulan, di kompek tempat kami tinggal, rata-rata pasangan muda semua, yang otomatis punya anak yang sebaya.

Aku pernah cerita kan kalau Alya pernah di-bully sama anak-anak yang umurnya agak jauh di atasnya? Dan ya jelas, anaknya nangis, anaknya sempet enggak mau main, anaknya sempet  jadi pesimisan, takut menghadapi tantangan. Mengingat anaknya masih di bawah umur 5 tahun, mau enggak mau aku ikutan turun tangan, dalam artian, aku harus membaur dengan mereka, dan bisa menjadi penengah. Aku memberlakukan hal yang sama kok kalau dirasa ada yang kurang benar. Misal Alya yang salah, Alya harus berani minta maaf. Kalau Alya yang disalahin? Ya Alya harus berani bilang kalau Alya benar, dan jangan takut melawan. Lah baperan? Biar!

Baca selengkapnya: Peran Orang Tua Dalam Menghadapi Bullying


Aku sadar sih, sikap senioritas mau sampai kapan pun masih tetap ada. Tinggal persentasenya saja. Zaman aku kecil dulu, aku yang punya badan pendek gini, sudah pasti jadi bahan bully teman-teman yang lain. Agak beruntung karena aku punya skill seni yang lumayan seperti menggambar, menyanyi, dan yang berhubungan dengan ketrampilan. Tapi, jujur saja deh, tahun 1995-1998, anak pinter itu dinilai dari apa sih kalau bukan matematika dan IPA? Mana dulu zaman-zamannya pilih kasih segala. Sorry frontal, tapi beneran deh, mostly Guru-ku SD seakan seperti hafalan nunjuk anak pintar. Yang enggak pintar? Ya jangan harap dikasih kesempatan.

Hal ini dibuktikan ketika aku di-bully sama temen sekelas. Itu yang nge-bully anak cowok loh, aku inget banget. Kata-katanya kasar dan suka nendang. Mau ngelawan tapi apa daya, badan enggak sebanding sama nyali. Pernah sekali kepancing nendang, jadinya malah berantem. Kalah? Ya jelas. Yang lain gimana? Ya gitu, cuma sorak sorai bisanya.

Aku lalu mengadu sama salah seorang Guru. Aku bilang kalau si A nakal, si A kasar, dan sukanya nendang. Tahu enggak jawabannya apa?

"Halah..gitu doang lho, tembak cucukan"
(Halah, seperti itu saja kok ngadu)

What da hell ya kan. Aku sampai takut mau ngomong sama siapa, karena di rumah pun, mama papa juga sibuk. Jadi ya, tiap hari sekolah itu kayak neraka. Apalagi kalau enggak ada Guru dan jam kosong. Wah, bisa semena-mena tuh The Gangsters of School. Kerjaannya cuma melototin orang, rame sendiri. Giliran yang lain pada ngobrol, merekanya enggak terima.

So now, aku enggak mau Alya menjadi pribadi yang diam kalau dinakalin seperti aku dulu. Sejak kecil aku selalu tanemin rasa yang berani, bertanggungjawab, dan solutif. Kalau ada apa-apa kami suruh ngomong, supaya kami bisa ikutan membantu dan menjadi tempat curhatnya.

Sampai ternyata aku pernah lihat di depan mata sendiri, kalau Alya pernah ditendang sama temen cowoknya. Sepele kok, gara-gara rebutan mainan bulu, padahal itu yang pegang Alya duluan dan direbut sama si anak cowok itu. Karena sama-sama ada orang tuanya, aku otomatis enggak berhak ngasih tahu ke anak orang lain dong ya. Tapi hal-hal seperti ini kan sudah enggak lumrah, jadi ya, orang tua normal pasti tahu mana yang salah. Jangan salah, kalau Alya ngerebut barang dan nakalin temannya, pasti juga bakalan aku tegasin dan suruh minta maaf kok. We do justice for anyone, right?

Itu belum seberapa. Belum lama ini Alya pernah ngeluh ke aku kalau pas sekolah ditendang sama temen cowoknya. Katanya sih gara-gara Alya ngebela temen ceweknya dengan bilang Imoo Watch Phonenya temennya tahan air, sedangkan si cowok bilang enggak. Nah, itu yang bikin berantem. Mungkin Alya cuma bisa ngotot ya, dan enggak kepikiran buat berantem. Tapi si temennya ini nendang pipi Alya, dan Alya nangis. Kata Alya, Bu Guru sampai marah dan nyuruh si anak cowok meminta maaf, walaupun tetap enggak dilaksanakan.

Aku dan Suami yang denger cerita Alya sempet mau emosi sih. Gimana enggak, ini nendang ke pipi loh, berarti kan kasar banget. Pantes lah kalau Alya nangis. Jadi sampai rumah, kami sebetulnya juga sadar, bahwa peran orang tua sangat penting. Maka, kami juga meminta Alya supaya solutif dan bisa mengambil tindakannya sendiri. Seperti melihat kasus, lalu mikir sendiri gimana caranya aku bisa menyelesaikan ini, apakah aku harus fight back, atau aku harus lapor ke Bu Guru? Karena kan, kalau jatuhnya jadi berantem juga enggak bagus di mata orang tua dan Guru. Mana di sekolah Alya ditanamkan rasa welas asih dan sabar. Jujur kami pun rancu, jadi ya cuma bisa menyarankan seperti itu.

Agak susahnya karena Alya belum begitu mudeng soal gimana caranya dia harus menentukan sikap. Kebanyakan dia selalu bertanya dulu pada yang lebih tua, tiap hendak melakukan apa. Ada bagusnya sih, tapi jeleknya kalau dia posisi kepepet seperti dinakalin temannya dan enggak ada orang tua. Aku dan Suami sepakat bahwa sekarang kami harus membiarkan Alya mencari solusi dengan sendirinya. Mungkin ke depannya akan kami ikutkan kursus bela diri supaya dia bisa menjaga dirinya sendiri.

Aku enggak bisa menyamaratakan semua kasus bullying. Ada kan yang memang suka nendang, tapi ternyata di rumah dia enggak mendapat kasih sayang? Ada kan yang hyperactive untuk mendapatkan perhatian? Ada kan yang memang suka nge-bully dan ingin mendapatkan kekuasaan? Nah kasus yang terakhir ini nih, masa' kita mau diam?

Kalau dibilang aku baperan dan sensitif, ya enggak apa-apa, aku memang begini. Mending aku bersuara, ketimbang jadi beban di kepala. Gimanapun juga, aku sebenarnya enggak pernah bisa menerima bullying dalam bentuk apapun. Apalagi kalau kekerasan dibiarkan, ih serem deh bayanginnya. Aku yakin kok, semakin ke depan, akan lebih baik lagi, kalau kita sebagai orang tua sadar, bahwa anak-anak kita harus dididik secara tegas dan solutif. Gimanapun kita bertanggungjawab penuh sama anak, karena mempunyai anak adalah hasil egoisme manusia.

Jadi aku sangat berharap semoga Alya bisa menjadi pribadi yang pintar bersikap, sama siapapun orangnya. Karena, aku cuma bisa berharap pada anak sendiri, bukan pada orang lain.

You May Also Like

1 komentar

  1. Eh tolong, aku juga baperan parah kalo kaya gitu sih. Karena anakku cowok, jadi aku selalu bilang gak boleh nyakitin siapapun. Kalau ditendang sama cewek, lari aja, jauhin sementara. Tapi kalo dipukul cowok, kalo badannya leboh gede, pukul balik!!

    ReplyDelete