DARING BIKIN PENING

by - September 24, 2020

Sebelum membaca postingan ini, aku harap enggak ada yang baper. Ini murni curhatan doang, dan perlu diingat, enggak semua orang tua punya aturan yang sama. Enggak semua orang tua mampu, niat, plus telaten ngajarin atau mendampingi anaknya. Seperti yang kalian tahu, iya, aku tergabung dalam kelompok Ibu-Ibu enggak sabaran dan maunya gampang. Masalahnya, aku kadang enggak sadar, Alya juga sama ngeyelnya, sama banyak alasannya, sama moody-nya. Jadinya, hubunganku dengan Alya yang tadinya biasa saja, kini jadi renggang dengan segala macam drama. Semua gara-gara apaaa??? Yak! Kita salahkan CORONA!


Jauh sebelum corona, aku sudah punya banyak bayangan. Alya akan aku ikutkan les renang, les musik, les gambar, dan tiap hari sekolah sampai sore. Jadwalnya tampak penuh ya? Iya memang. Tapi ini berdasarkan kesepakatan karena ternyata, Alya lebih suka aktivitas yang melibatkan fisik dan banyak teman. Kalau sekolah full day, Alya bener-bener enjoy ketimbang harus pulang siang dan di rumah cuma main sendirian. Lagian, aku dan Suami juga sama-sama kerja, jadi ini win win solution lah. Alya pulang sore sudah pasti di sekolah bobok siang, sudah makan, sudah mandi sore. Sampai kompleks tinggal main dan ngaji. Nanti malam we time bertiga, dan kami jadi happy maen bersama.

Soal les renang? Alya pada dasarnya punya riwayat bronkitis. Banyak yang ngasih saran diajak renang rutin supaya paru-parunya bagus. Nah, kenapa enggak diseriusin aja sekalian. Sedangkan les gambar, ini lagi-lagi permintaan Alya. Awalnya kami ngerasa seneng karena Alya tuh kayak pinter nggambar gitu. Gambarnya punya karakter. Apa-apa digambar. Les gambarnya sudah berjalan sekitar 2 bulanan. Alya memang menunjukkan progres yang cukup signifikan. Cara mewarnainya rapi, ada gradasi. Enggak takut milih warna, dan punya pola. Les gambar harus aku hentikan sejak pandemi. Tapiii giliran aku telatenin sendiri di rumah, mlempem banyak alasan. Ck ck ck!

Sekarang Alya sudah TK B. Pelajarannya makin banyak, ya walaupun enggak sebanyak anak-anak SD. Deliver tugasnya masih pakai WA. Buat dokumentasinya, dikirim dalam bentuk foto, video, atau voice note. Pagi sekitar jam 9 Ibu Guru memberi tugas harian, lalu biasanya murid-murid mengerjakan sesuai kondisi di rumah, karena setiap rumah tangga kan punya aturan berbeda. Ada yang bisa langsung dikerjakan, tapi ada juga yang ngirimnya malam, atau dirapel satu hari sekalian ketika orang tuanya ada waktu untuk mendampingi belajar. Nah, untuk pengumpulan tugas fisik seperti kertas-kertas menggambar, menulis, dll, itu dikumpulkan ke sekolah setiap 2 minggu sekali. 

Satu dua minggu Alya termasuk aman mengerjakan tugas. Minim rewel. Pagi-pagi setelah pengumuman tugas, aku nemenin Alya belajar. Paling mentok jam 12, tugas pasti sudah terselesaikan SEMUA! Aku bangga! Tapi... ternyata hal itu enggak berjalan lama. Ada kalanya Alya semangat, ada seringnya dia sambat. "Kapan sekolahnya Mama? Aku bosaaan lama-lama!" Well, pastinya tiap anak berbeda. Ada yang tipe sampai lupa sekolah dan lebih suka di rumah. Ada yang menganggap sekolah itu sarana bermain yang menyenangkan. Beruntungnya, Alya tipe yang kedua. Bagus sih, tapi mengingat kondisi seperti ini, ya SELAMAT! 

Tugas-tugas Alya sebetulnya enggak terlalu rumit. Ibu Guru memahami jika tiap anak itu unik. Tidak semua anak bisa dengan mudah mengerjakan sesuatu, tiap anak punya karakter, dan ketertarikan yang berbeda. Senangnya lagi, di sekolah Alya ini enggak diajarkan memaksa. Kalau anak memang belum bisa, ya enggak apa-apa. Kita harus pakai cara halus supaya anak belajar dengan gembira. Aku awalnya menganggap Alya ini memang fokusnya ke hal-hal yang kreatif, seperti menggambar, membuat kreasi, olah raga. Tapi urusan mengeja dan ngaji, beuh, sampai berantem kita!

Sampai tiba saatnya aku lihat beberapa anak lainnya yang satu kelas sama Alya, ternyata banyak yang sudah jauh membaca dan mengajinya. Sebagai orang tua yang selalu ngejar standart milestone anak, aku berusaha mendorong dan membantu Alya agar jangan sampai ketinggalan. Kalau banyak temen-temennya bisa, kenapa Alya enggak? Karena menurutku, Alya ini termasuk anak normal dan kalau ditelatenin, ya bisa aja tuh. Nah, barang kali justru aturanku terlalu santai, sehingga bikin Alya semacam 'nggampangke'. Dan aku enggak mau itu jadi hal yang sepele. Aku maunya, kita bikin aturan bersama, dan kita bisa sesuai standartnya.

Mulai beberapa minggu kemaren, aku mulai telatenin lagi ngaji dan membaca. Bener-bener menguras tenaga, pikiran, waktu, kesabaran, kelaparan TINGKAT DEWA. "Alyaaaa besok kalau kamu baca ini, tolong ya naaak, diingat-ingat, Mama galak karena Mama memang sumbu pendek Nak. Mama enggak mau kamu ketinggalan di bawah rata-rata. Makanya Mama mau kamu sama-sama usaha T.T"

Alya menunjukkan hasil yang signifikan. Kalau ditelatenin dan aku sabar, dia akan mengikuti proses ini pelan-pelan. Aku enggak bisa maksa, tapi aku berusaha membujuknya dengan halus dulu. Kalau perlu, aku bikin diri sendiri nyaman dulu, dandan dulu, dan mood-ku stabil dulu, baru aku bisa membimbing Alya dengan tenang. Nah, kalau tugas Alya kelar, aku pun bisa kerja dengan lancar. Soalnya sesuai pengalaman, semakin ditunda, semakin ambyar. Kerjaku juga berantakan. Okay, put your hands up in the air! Mencoba chill dan dibawa santaaaaiiii...

Menurutku, misal kita mau anak yang rajin dan pintar, support systemnya pun kudu mendukung. Sedikit cerita. Aku dulu tuh ya, memang sering les karena Papa Mama sibuk. Apalagi anaknya 3. Lucunya, Mama Papa tuh tipikal orang tua yang memaksa anaknya pinter, dan sering banding-bandingin ke anak yang lebih cerdas. Kadang aku ngerasa enggak adil karena supportnya aja minim. Enggak pernah tuh yang namanya didampingin. 

Berdasarkan pengalaman tersebut, aku menyimpulkan bahwa, les memang adalah salah satu bentuk usaha. Tapi jangan lupa, peranan kita sebagai orang tua, sebisa mungkin dioptimalkan. Kadang anak memang lebih nyaman belajar sama orang lain, karena barang kali dia bosan. Gimanapun, kita tetap harus kasih dia dorongan untuk lebih baik, tunjukkan kita sayang dan perhatian, serta bangkitkan percaya dirinya dengan tidak membandingkan secara berlebihan.

Sulit memang. Tapi aku yakin kita sebagai orang tua yang baik, selalu belajar dari pengalaman, terlebih pengalaman yang enggak mengenakkan. Kita maunya anak bisa dengan nyaman belajar. Kita maunya bisa melewati ini bebarengan. Maka dari itu kita harus menemukan cara efektif yang cocok untuk karakter mereka. Daring memang bikin pening. Enggak usah banyak ngeluh aja deh. Suatu saat kita akan menemukan efek baik yang ditimbulkan, kalau kita melihatnya dengan baik dan benar. Semangat ya!





You May Also Like

1 komentar

  1. Toooss dulu kita sesama sumbu pendek mba :D. Aku udh ampir nyerah ini sbnrnya... Kalo si Kaka yg bikin emaknya emosi itu Krn lambaaaaaaaat banget ngerjain tugas2. Jadinya aku hrs bener2 dampingi . Untuk udh resign, kalo ga ntah gimanalah tugas2 sekolahnya.

    Kalo adeknya yg TKA, beda cerita. Ngeyelan , trus masalah juga Ama gurunya :D. Yakaliii sekolah paud nya ttp dibuka sebelum psbb . Sekolah lain aja msh ditutup. Krn ada psbb lagi, baru dia nutup paudnya. Tapi tugas yg diksh mostly yg mengharuskan kita kluar.seperti menanam pohon, cari 5 daun yg diminta. Kalo aku punya pekarangan, mungkin ga masalah. Tp kalo yg tinggalnya di apartmen, ato rumah tanpa kebun samasekali, itukan sama aja nyuruh cari diluar. Kdg2 aku curiga ini guru nya jgn2 yg menganggab covid cuma konspirasi. Kesel sama gurunya. -_-, .

    Akhirnya, aku malah jd males juga nemenin si adek ngerjain tugas2 nya mba. Aku ksh pelajaran lain aja. Ya kali anak segini disuruh nanam pohon lah. Ditentuin pula pohonnya -_-

    Mending aku fokus Ama tugas si Kaka yg walopun suka bikin naik emosi emaknya, tp msh masuk akal hahahahah

    ReplyDelete