PENGALAMAN KENA COVID-19 (PART 1)

by - February 20, 2021

Sudah hampir setahun bisa bertahan di tengah Pandemi, dari mulai serba ngapa-ngapain di rumah, lalu berubah jadi semua harus bisa beradaptasi, kami nyaris aman tanpa pernah bersinggungan dengan covid-19. Seperti yang kalian tahu, aku emang sudah remote working bahkan sejak sebelum pandemi. Jadi misalpun ada PSBB, PPKM, lock down apapun lah istilahnya, justru kami merasa happy. Sayangnya, tahun 2020, aku juga sudah mulai bekerja di salah satu studio animasi di Semarang, dan mengharuskanku beberapa kali meeting. Entah buat bedah naskah, atau preview. Enggak tiap hari sih, cuma beberapa kali dalam sebulan. 

Untuk beradaptasi sendiri, kami selalu pakai masker, walaupun cuma ke warung bentar. Selalu cari tempat yang enggak ramai, dan rajin cuci tangan. Langkah ini terbukti bisa mencegah Covid-19, sampai suatu ketika.... ada tamu dari Jogja ke rumah untuk bahas kerjaan. Otomatis, ketika di rumah, kami lengah enggak pakai masker. Welcome to the club! Dan dari sinilah terror dimulai.... 

Siapin kacang, aku mau cerita panjang lebar.


Awalnya, Suami sudah merasakan enggak enak badan sejak bulan desember. Ketika kami periksa ke Dokter, ternyata dia punya amandel yang besar. Jadi ketika dia batuk, batuknya tipe yang lama sembuh, dan tenggorokannya kerasa gatal. Sakitnya ini sempet naik turun, dan sembuh di pertengahan januari. Selama itu kami nyaris enggak ada keluar kota lagi, di rumah saja dalam waktu hampir sebulanan lah. Paling banter beli belanja dan makan yang wajar. 

Nah, pertengahan bulan ketika Suami sudah sembuh ini, baru lumayan sering pergi-pergi lagi. Sempet nganterin aku meeting ke Semarang, aktivitas seperti olahraga bareng bapak-bapak komplek, sempet jemput adekku ke Stasiun Tawang tengah malam karena abis perjalanan dari Jakarta. Sempat juga makan bareng di luar. Dan akhirnya, selasa tanggal 26 januari, tepatnya ketika mau magriban, Suami hilang indera penciuman! Malam itu juga kami udah pakem yakin kalau suami fix positif. Jangan tanya rasanya, jantungku kayak mau copot! Dengkul lemes. Enggak tahu akan gimana ke depannya. Ambyar banget lah, hampir aja mau pecah mau nangis aja. But, I try to calm, karena kalau stress kan justru tambah bahaya.

Cuma beruntungnya, aku dan Alya sama-sama enggak bergejala. Karena rules di rumah, tiap ada yang sakit, harus pisah kamar dan kamar mandi. Biar enggak nular. Kami apa-apa bertiga soalnya. Kalau salah satu tumbang, bisa buyar semua. Maka, malam itu kami langsung putuskan, "wes lah, sesuk swab antigen bertiga di Klinik Pramitha!"

***
Rabu, 27 Januari pagi, kami swab antigen. Suami sudah gampang lemes, flu, tapi suaranya masih normal. Sedangkan aku dan Alya masih fit. Di Klinik Pramitha untuk swab itu ada jam-nya. Jadi kami datang jam 10, dan hasilnya keluar jam 3-an. Rasanya gimana? Kalau aku dan Suami sih pasrah ya, karena cuma diambil sample lewat lubang hidung kanan dan kiri. Nah, Alya nih yang heboh dan nangis-nangis. Dia sampe tendang-tendang aku saking kesakitannya. Tapi memang rasanya kayak habis kelelep gitu. 


Ketika hasilnya keluar, Suami tuh baca mulai dari Alya dulu. Alya negatif. Seketika itu aku lega banget! Aku cuma mikir, kalau aku dan Alya sama-sama negatif, aku sama Alya bakal ngungsi dulu ke rumah Mama. Nanti logistik, makan, kebutuhan Suami bisa aku kirim setiap hari. 

Suami lalu baca hasilku, kemudian dia bilang negatif! Aku makin happy! Aku toss sama Alya. Tapi seketika itu juga dia meralat, "eh yang... sorry sorry... tadi aku salah baca! Tadi yang aku baca nilai rujukan" Dung jreng! Aku lemes enggak berdaya. Dia baca balik, dan bilang, "Alya Alhamdulillah negatif.... terus kamu... positif". Sudah deh, habis itu aku makin lemes, karena aku yakin, kalau aku aja positif, suami juga pasti positif.... Ini Alya lalu gimana? Apakah dia bisa bertahan? Aku takut dia juga ketularan, padahal dia punya riwayat Bronkitis. Rasanya saat itu aku enggak sanggup mikir. Aku cuma berharap ini akan cepat berlalu wes mbuh gimana caranya. Kemudian, benar adanya, Suami juga positif. Jadi kami langsung jaga jarak, semua pakai masker medis, dan enggak bersentuhan sama sekali. Mulai membagi zona masing-masing. Kami pakai kamar mandi belakang, Alya yang di depan. Alya juga harus bisa mandi dan makan sendiri. Untuk belajar, aku monitoring dengan tetap berjarak.

Sore harinya aku langsung didata oleh petugas puskesmas, karena kebetulan tetangga kami ada yang bekerja di sana. Oleh beliau ini, kami dihubungkan oleh Satgas setempat karena akan dipantau. Kami dijadwalkan PCR hari Sabtu, karena minggu-minggu itu sedang sibuk vaksin, jadi jadwal PCRnya menyesuaikan. 

Enggak beberapa lama, kami dihubungi Satgas setempat dan ditanyain bagaimana keadaan di rumah, gejala, serta kebutuhan sehari-hari. Sore itu juga kami langsung announced ke grup komplek dan semua teman-teman soal kami positif Covid-19. Bukan meminta belas kasihan, tapi justru kami ini jaga hubungan. Kami sayang orang-orang terdekat kami. Kami merasa harus jujur dan sadar diri. Alhamdulillah semua langsung mengerti dan support luar biasa. Memang ada beberapa yang nglegani kami dengan bilang, "jangan-jangan cuma masuk angin biasa", tapi di dalam lubuk hati, kami sudah yakin bahwa ini benar-benar COVID-19! Enggak pakai nawar.

Di hari itu juga, kami langsung tracing dengan sadar, siapa saja yang abis ketemu kami. Siapa yang membawa virus ini, dan siapa yang terkena. Beberapa kami suruh swab mandiri, supaya plong. Ternyata baru disadari bahwa kami kena dari teman kami yang sempet ke rumah. Sudahlah... kami pasrah.

***
Jumat, 29 Januari. 

Selama 2 hari, kami memang penuh support, tapi ini seperti terror. Aku masih serumah sama Alya dan enggak tahu gimana caranya biar kita tetap bisa bertahan. Selama itu pulalah, ada beberapa Nakes yang menghubungi kami, dan ada seseorang yang bilang kalau Alya harus diungsikan dulu. Well if you know what I feel, Alya itu sumber semangatku. Walaupun dia sering mood swing, jengkelin, bikin rumah berantakan, tapi kalau aku jauh dari Alya, aku enggak punya daya. Nakes tersebut sampe nanya, "memangnya enggak ada yang bisa dititipkan?" Dengan terpaksa aku cerita kondisi orang tuaku yang bercerai, dan mama itu hidup sendiri. Aku juga enggak mau mama kecapekan. Mama ikut kena. Alya ternyata OTG. So many thoughts on my head! Bisa gila aku kalau gini caranya!

Namun dengan sangat sadar diri, berat hati, dan wes enggak tahu mau gimana lagi, Alya dijemput Mama. Jangan tanya gimana Alya bisa dipaksa jauh dari orang tuanya. Tentu saja drama. Nangis sepanjang hari. Negosiasi alot. Sampe kami harus keluarkan jurus mengancam. Aku sempat bilang, "kalau mama enggak sembuh, mama bisa dibawa ambulance dan nginap di rumah sakit!" Alya langsung nurut, dia sempat bilang juga, "cuma sehari kan ma?" Tapi aku jawab, "enggak tahu, ini saatnya kamu belajar buat sabar". Sepertinya gampang ya, tapi prakteknya, sakit banget boss! Nggregel.

Waktu mama jemput Alya, Alya sudah tenang. Dia cuma tersenyum dan nyemangatin kami. Setelah dia pergi ke rumah mama, aku baru bisa mikir jernih: "sekarang giliranku yang harus sabar biar bisa cepat sembuh." Iya, aku enggak mau menghitung hari, aku janji bakal nikmatin prosesnya sampai sakitnya. Aku cuma pengen bareng-bareng Alya lagi.

Tapi faktanya, malam itu aku demam luar biasa. Aku sampai harus makan di tengah malam, supaya bisa minum paracetamol. Aku enggak mau sakit ini bikin aku down!

Di hari itu, kami langsung beli alat pengukur saturasi oksigen, beberapa obat-obatan sesuai gejala, dan vitamin. Teruuus... mulai dari saudara, tetangga, teman, semua kirimin sembako, dan bahan makanan. Semua pada ngasih saran dan aku catat semua supaya aku sesuaikan dan konsultasikan ke Satgas. Kan ada ya, yang tiba-tiba minum A, padahal enggak boleh banyak-banyak. Kan jumlah vitamin C juga harus dibatasin ya, biar ginjalnya enggak rusak...


But aku honesty touched! I can't say anything buat semua kebaikan yang datang bertubi-tubi... Entah gimana cara balasnya, aku cuma punya doa terbaik buat kalian semua.

***
Sabtu, 30 Januari.

Kami berdua berangkat ke Puskesmas dan di sana sudah ada antrian PCR. Oh iya, untuk datang ke sini, ada undangan lewat whatsapp yang dikirim oleh Satgas. Lalu kami tinggal mendaftar dengan KTP. Semua Nakesnya pakai APD lengkap. Mereka menjelaskan dengan santai dasar-dasar virus ini. Mereka menenangkan. Sama sekali enggak ada judge atau mojokin pasien. Aku sudah ngerasa tenang. PCR di sini, diambil sample dari hidung dan tenggorokan. Beberapa yang diswab, kayaknya sampe mau muntah. Mungkin agak horror juga ya, karena disogok sampe dalem gitu. Duh bayanginnya enggak banget.

Nah tiba giliran suami, dia sampe batuk-batuk dan mau muntah. Kayaknya ada rasa penolakan dulu sih. Jadi ya tetep gak enak rasanya. Baru ketika aku swab, biasa saja ternyata. Mungkin karena aku pasrah dan tenang kali ya. Waktu itu juga aku enggak terlalu ada gejala. Masih bisa ngerasa, dan enggak hilang bau.

Abis PCR, kami sempat dipertemukan dengan Dokter Umum. Kami konsultasikan semua gejala, obat dan vitamin yang harus dikonsumsi. Kata Dokter, Becom-Zet itu sudah cukup sehari sekali, karena sudah ada Vitamin C 750 gram dan zinc. Lalu flucadex juga sudah cukup. Misal mau konsumsi Lian Hua, dijeda saja biar efeknya enggak bikin deg-degan. Yang penting berjemur, pakai masker, cuci tangan, bersih-bersih, dan jangan tidur di tempat lembap. Kami makin ngerasa aman, dan sudah paham bahwa gejala kami ringan. Selanjutnya kami cuma butuh isoman, sampai benar-benar enggak ada gejala.


Tapi baru juga bangga, ternyata malamnya aku sakit juga. Blas gak bisa cium bau, dan ngerasain apa-apa. Cuma badanku masih okey, masih bisa ngapa-ngapain aja. Di situ aku udah mulai minum Flucadex buat demam, batuk, pilek. Ya biar enggak kena gejala parah juga sih maksudnya.

Untuk saturasi oksigen, kami normal semua. Walaupun Suamiku batuk, tapi enggak sesek. Gejalanya mirip sama flu, cuma bedanya ini enggak bisa cium bau dan rasa. 


***
Minggu, 1 Februari.

Suaraku sudah mulai bindeng kalau kata orang jawa. Rasanya kayak abis kelelep. Enggak enak banget! Berjemur terus tiap pagi. Makin rutin minum vitamin, obat, dan Lian Hua. Lian Hua ini ternyata obat demam, batuk, pilek juga, jadi double bikin aku ngersa nge-fly! Tadinya habis makan, aku minum flucadex, terus Lian Hua 2 kapsul langsung. Ya ternyata malah enggak bisa bangun. Rasanya ngantuk terus. Sehari bisa tidur siang 2 kali. Tiap jam 10 an sudah ngantuk, nanti jam 3 an ngantuk lagi. Kalau malam? Waaah, jam 8 sudah tepar.



Di hari itu, aku sudah makin pasrah dan memilih buat menikmati hari saja. Aku harus fokus sama penyembuhan diri. Yang aku rasakan, Covid-19 ini memang terror, kebanyakan pasien pasti lebih sensitif sama apapun! Apapun! Ada tetangga ngacir ketika lewat depan rumah saja rasa woooh mantap! Kayak orang tuh kenapa sih? Padahal sini sudah pakai masker double dan bahkan semprot cairan disinfectant ke seluruh rumah almost everyday! Pakaian kami juga selalu baru. Kami juga enggak pernah menyentuh siapapun. Kalau ada kiriman, pasti tak suruh taruh di pagar. But then I know, cara orang menyikapi memang beda-beda. Aku cuma lagi sensitif saja... Sakit sih, tapi mau gimana?

Untuk tahap penyembuhannya, aku akan ceritain di part selanjutnya ya! Gimana logistik, gimana Alya, dan gimana kebutuhan sehari-hari kami terpenuhi. Tunggu yaaa...


You May Also Like

1 komentar

  1. Hallo sis..gmana kelanjutan penyembuhan Covid nya? Sy juga terpapar Covid ringan...kasih obatnya..fluvir,but D 5000,but C azetromicin, Dan luanhua sy makan 3x4 kapsul ..ngantuk terus bawaannya

    ReplyDelete