YOSA IRFIANA

Powered by Blogger.
Terharu, officially Alya 4 tahun juga! Maafkan, baru sempet cerita, karena beberapa hari kemarin rempong banget. Dari yang nyiapin ulang tahun Alya, masih banyak saudara di rumah, drama cabut gigi yang belum kelar, dan beberapa kerjaan yang menyita waktu. Ya ada sih, waktu buat ngeblog, tapi capek deh, beneran. Kadang mikir, mending aku tidur apa ya, biar enakan. Tapi abis tidur, kayak nyesel gitu kan, wong ngeblog juga cuma 2 jam-an doang ini. T.T 

Ya begitulah, emak-emak labil, maunya semua keurus. Giliran semua keurus, capeknya bukan main. Setelah kerasa capek, baru sambat. Hidup kok gini amat yak hahaha. Baiklah, enggak pakai lama prolognya, aku ceritain langsung, gimana proses ulang tahun Alya, sambil dikit-dikit curhat lah seperti biasa. Krik.


Seperti yang sudah-sudah, ulang tahun Alya selalu kami rayain dengan sederhana. Potong kue, bikin bingkisan, dan beliin kado. Awalnya Alya minta dibeliin sepatu roda, model in line skate. Wah,enggak tahu tuh dapetin ilham darimana, palingan dari youtube. Soalnya ketika aku bilang, "Kamu kan roda dua saja belum bisa. Nanti kalau pakai sepatu roda, terus sering jatuh, enggak apa-apa ya. Kan harus balance, sama kayak naek roda dua" 

Jawabnya, "Iya mah, yang penting Alya unboxing dulu". UNBOXING gaes, UNBOXING. Masa' yang dipentingin unboxing? Apa hubungannya?

Terus aku nego dong soal kado ini, karena menurutku belum terlalu penting sih. Enggak usah jauh-jauh sepatu roda deh, tuh sepeda dongkrok di garasi. Belum lagi tenda, boneka, koleksi robocar... Sudah bolak-balik aku sortir eh nambah terus. Makanya, aku nego gimana kalau beli lemari belajar saja. Lebih berguna, bisa nyimpen macem-macem, plus bisa buat belajar.

Tapi ternyata duit kepake buat lain hal, ya ampun, maafkan ya Al. Jadi beliin kadonya nyusul. Malah kata Alya gini, "Enggak apa-apa ma. Kan Alya sayang sama papa mama" Terharu enggak tuh. Kadang anak memang punya caranya sendiri buat ngungkapin sayang ya. 

Aku dan Suami akhirnya sepakat tetap rayain ulang tahun Alya. Kebetulan juga eyang pangkalan bun juga lagi di rumah, dan FYI, ulang tahun pernikahan eyang tepat tanggal 24 maret bersamaan dengan Alya ulang tahun, mau enggak mau tetap dirayain lah. Yah.. walaupun kecil-kecilan.

Tahun sebelumnya kami niat banget masak nasi ayam katsu. Cuma ternyata capek bowk, 50 bungkus lebih belum snack. Ngos-ngos-an, aselik. Tahun ini kami enggak mau rempong lagi. Modal beli snack grosiran, lalu dibungkus pakai plastik kecil-kecil, menurut kami sudah cukup. Itu juga anak-anak sudah seneng banget.

Buat kami, bikin hantaran kayak gini semacam wajib. Bukan mau pamer, hanya karena kami pengen sesimple: ngajarin Alya berbagi. Ini juga atas persetujuan anaknya kok. Dia itu lebih seneng rame-rame tiup lilin dan potong kue ketimbang dibeliin mainan. Ya gimana ya, mungkin mikirnya, beli mainan kan bisa kapan saja, sedangkan moment potong kue dan kasih hantaran ke temen-temen cuma setahun sekali. 

Jangan salah dulu. Ulang tahun Alya enggak kami rayain di tempet mewah, atau ngundang badut ayam krispy yang identik dengan ulang tahun anak. Anak orang kaya maksudnya, hahaha. Kami kan belum semapan itu. Eh tapi misalpun ada duit, kayaknya kami rayain dengan barbeque party saja deh, lebih asik wkwk.

Cuma kan, dana pas-pas-an dan males ribet, jadilah kami rayain ulang tahun Alya di rumah, dengan mengundang anak-anak komplek. Untuk kuenya sendiri, sudah dipesenin sama adek. Ngebantu banget, mana enak lagi, suer! Yang di Magelang coba deh, tengok IG @dapurpinasti, yang bikin temennya adekku SMA. Selama pesen kue tart, belum pernah nemu yang seenak ini. Enggak eneg, enggak pelit strawberry, dan kuenya lembut. Aku tanya kan sama ownernya, kenapa creamnya bisa enggak eneg, apa pakai yogurt, karena kami ngerasa ada asem-asemnya dikit. Ternyata dia pakai non diary whipped cream. Oh wow, berarti anti endut nih hahaha.

Terus untuk perayaannya sendiri, kami sengaja enggak pakai undangan, biar enggak ngrepotin banyak orang pengennya. Di komplek tiap sore banyak kan yang pada main di taman, nah, abis Alya mandi langsung pada diundang. Alhamdulillah yang datang lumayan banyak dan Alya suenengnya puol. Kelihatan banget dari raut wajahnya. Aku sampai berkali-kali terharu karena ini anak. Hehehe.

Acaranya cuma bentar banget. Nyanyi, tiup lilin, potong kue, makan bareng, sudah. Snack dibagiin keliling komplek. Temen-temen Alya enggak kalah antusias tuh bagiin snack. Habis itu mereka makan bareng. Ngelihat mereka akur kayak gini, bikin tentrem.

Kami yang hari-hari kemarin capek luar biasa, ketika ulang tahun Alya, energi bahagianya ikutan kerasa. Lebay biar deh. Wong lihat anak bahagia itu tiada tara kok. Ini kami loh ya, yang memang suka kebersamaan keluarga. Asal bertiga, walaupun sederhana, kelakon juga. 

Kami lihat, berkali-kali Alya mau ketawa, tapi agak ditahan. Jadinya senyum gitu tapi membuncah, gimana deh jelasinnya. Pokoknya tumbenan Alya enggak yang teriak kayak biasanya. Mbuh kenapa hari itu dia mannernya dijaga hahaha. 

Saking senengnya, Alya sempet bilang gini, "Ma, Alya mau ulang tahun 2 hari". Ini nagih atau gimana, lucu juga dia bisa bilang gitu. Yang jelas, itu nunjukkin kalau dia seneng banget sampai hal tersebut enggak mau berlalu. Lumrahnya anak kecil sih, ngomongnya innocent banget. Kami jadi inget, namanya anak kecil, mereka pasti seneng dong kalau ulang tahun. Beda sama kita-kita yang sudah tua gini, maleeees kalau nambah umur. Wkwk.

By the way, kami berharap semoga di umur 4 tahunnya ini, Alya makin tumbuh sehat, kuat, dan cerdas. Tambah baik dan tambah teman. Optimis dan enggak gampang putus asa. Yea, kamu bisa!
Share
Tweet
Pin
Share
No komentar
Seandainya hidup boleh banyakin ngeluh, bakalan ada satu hal yang kusebut terus tuh, apalagi kalau bukan: "kenapa sih orang-orang pada susah diajak kerjasama?" Kerjasama dalam artian, kerja yang harus diselesaikan sama-sama. Kalau misal satu miss, satu enggak bisa back up, satu baperan, satu  lupaan, harusnya bisa saling melengkapi. Bagaimana caranya masalah terselesaikan bersama, kalau enggak ya, ambyar semua. Eits, jangan heran dulu, kerjaanku selalu ada hubungannya sama team work. Mau itu cari duit, gabung di komunitas, atau... bertetangga.

Well yeah, kerjasama itu kadang asyik, kadang juga kayak makanan manis yang terus-terusan dimakan: ENEG.


Kerja sebagai seorang -yang hampir diakui sebagai- filmmaker, bukan cuma kudu meluangkan ekstra waktu, tenaga, dan pikiran. Mana ada bikin film dibikin sendiri semua-muanya? Pastilah melibatkan orang lain juga. Seperti kameramen, editor, talent, sampai gimana caranya biar ditonton khayalak ramai. Wow kosakataku sangat managemen produksi banget. 

Sekarang, kebanyakan kerjaanku berkutat pada naskah, dengan nama jabatan scriptwriter. Oke, sebagian orang akan berpendapat, misal aku dapat project, hanya menulis naskah, lengkap dengan treatment sama sinopsisnya. Nanti ada batasan revisi, selebihnya bisa kena charge sesuai pengalaman masing-masing. Sound like easy memang.

Tapi pada kenyataannya, boro-boro aku hanya nulis naskah, bayaran gampang cair, atau ide ngalir.  Yang ada nih ya, beberapa kali aku setor ide, kasih pilihan enggak cuma satu dua, bikin presentasi, deal, dan kreatifnya tetep enggak dibayar. Yang dibayar cuma naskahnya. Enggak usah mikir bayaran wes, namaku tetep jadi scriptwriter loh, bukan pakai embel-embel kreatif, yang sebenernya justru bisa diletakkan di credit title paling atas. Alias semua hasil kerja kerasku enggak diakui plus enggak dibayar.

Mau komplain, tapi sayang, klien model ginian tuh rata! Mungkin ada yang enak, yang bisa open sama kita, yang menghargai kerja keras, cuma ya belum ketemu saja.

So, how to deal with it?

Kalau kamu masih butuh, jelas kamu harus sabar dan lakukan apa yang kamu bisa. Beneran deh, enggak ada yang namanya pikir pendek, apalagi kalau urusannya sama penghasilan utama. Wah wah, bisa berabe urusannya kalau kita emosian.

Selama kita belum dapat kerjaan yang lebih baik dan menjanjikan, jangan terlalu memaksakan ego sesaat. Kecuali, kamu sudah punya cadangan, atau sudah punya pandangan bisnis lain. Atau ini... kamu juga masih single dan belum banyak tanggungan. Nah, mungkin masih banyak pilihan. Iya sih, semua butuh keberanian, tapi kan kamu juga butuh kepastian? Sampai kapan kira-kira kamu bisa enggak hidup tanpa penghasilan?

Kerja di bidang perfilman, sudah aku dambakan sejak lama. Malahan, ini kayak tingkatan tertinggiku dalam berkarir. Pokoknya suatu saat nanti aku kudu bisa produksi film layar lebar. Embuh gimana caranya. Aku sendiri berusaha cari banyak link, memperbaiki kualitas diri, sampai rajin membaca biar pengetahuanku bertambah.

Beberapa project yang cenderung bikin sakit hati, kayak bayarannya dikit, lama, dan mintanya sekejap mata, sudah berani aku stop. Loh, memangnya enggak butuh uangnya apa? Butuh sih butuh, tapi aku lebih butuh pikiranku tenang. Memelihara sakit hati dan mewajarkan sesuatu yang diluar aturan, lama-lama beban loh.

Aku stop justru untuk memelihara hubungan pertemanan. Misal aku diam, kan enggak menyelesaikan masalah. Mau tetep kerjasama dengan ku? Gampang kok! Yang penting semua fee dibayarkan dulu, baru bisa nentuin mau enggak bergabung dalam project selanjutnya. Deal-nya gampang kan ya.

via GIPHY

Sekarang move ke kehidupan sosial yang ternyata enggak kalah ribetnya. Seperti yang kita tahu, kalau kerjaan mah, cenderung punya rasa tanggung jawab karena dibayar sekalian. Lah berorganisasi? Berkomunitas? Bertetangga? Apa enggak asek asek joss namanya.

Jadi gini nih. Setiap dua minggu sekali, pagi-pagi di komplekku diadakan senam sehat ibu-ibu. Bayangannya sih, yang ibu-ibu pada senam, bapak-bapak volly, anak-anak main. Misal lagi enggak bisa gabung karena sakit atau ada satu lain hal, paling enggak, tetap kelihatan deh, biar komplek kelihatan guyub. Sepele banget sebenernya. Dan senam inipun sudah melalui mufakat pas arisan pertama, semua setuju diadakan senam sehat, lalu semua urun duit senam tanpa terkecuali. Nanti, kas senam akan digunakan untuk membayar pelatih, sama bikin makanan untuk konsumsi setelah senam. Intinya, senam enggak senam, semua tetep bayar. Kalau aku, ya ngapain enggak senam? Sudah bayar, deket rumah, bisa sambil momong, guyub rukun, sehat pula! 

Tapi, orang kan beda-beda ya. Ada yang memang pas weekend jatahnya family time, ada yang pas kecapekan, atau ada yang memang enggak suka senam. Parahnya, minggu kemarin, senam hanya dihadiri 3 orang saja. Mantap kan?

How to deal with it?

Aku sampai sambat-sambatan sama Suami. Kenapa sih, orang di komplek susah-susah? Mintanya guyub, giliran dikasih kegiatan, zonk. Kebetulan posisiku seksi sosial dan kegiatan. Jadi kalau wayahnya senam, pagi-pagi, aku sama Suami sudah nyiapin alat-alat senam kayak sound system dan woro-woro gitu. Kadang sampai capek ngingetin karena lebih sering lempengnya. 

Misal mau baperan nih, aku pasti bakal mencak-mencak di grup besar. Kalau memang enggak pada bisa kan harusnya ngomong sejak lama, bukan dadakan. Lha ini pelatihnya sudah dateng, tapi geng gong enggak ada orang. Mana sudah aku bikinin minuman pula. Anyep bukan?

via GIPHY

Kami berdua ngobrol panjang lebar tentang orang-orang di sekitar lalu ngerasa "Kok kita gini-gini amat sih? Kita yang bego atau jangan-jangan kita nih selalu ambil pusing setiap masalah?" Masalahnya memang kami berdua tuh berasa aktif di setiap kerjaan dan kegiatan.

Mikirnya simple kok, mau dimanapun kami berada, mau apa saja yang kami kerjakan, sebisa mungkin sama kualitasnya. Yes, kami meyakini bahwa quality is a habit. Enggak yang karena bayaran dollar terus desainnya jadi lebih kempling. Enggak yang karena yang ikut event donaturnya banyak, jadi lebih semangat. Enggak yang karena dapet kerjaan lokal, terus dikesampingkan. Semua sama. Kami melatih diri sendiri supaya tetap bergerak, belajar, dan membuka diri. Terserah orang lain mau gimana. Toh kami berpikiran enggak hanya bisa membaur di satu dua tempat saja. Barangkali suatu saat nanti kita dapat kesempatan bekerja di luar negeri, kan alhamdulillah.

Maka kami harus siap. Siap itu gimana? Ya dengan memantaskan diri dan memberikan yang terbaik untuk apa yang bisa kita kerjakan. Btw, aku ngomongin gini kayak motivator ya hahaha, tapi serius deh, ini berpengaruh besar bagi kehidupan kalau kita mau mengerti.

Terus, di sisi lain, aku juga sadar, bahwa sikap manusia enggak bisa disamaratakan. Enggak semua berpikiran sama. Mau bikin event megah nagrong-nangrong, kalau orangnya memang lempeng ya kita mau apa. Mungkin memang ada yang enggak suka rame-rame? Atau males bersosialiasi?Atau enggak suka kegiatan dan lebih milih leyeh-leyeh? Jadi ya bukan salah siapa-siapa sebenernya.

Aku sendiri berusaha komunikatif terus. Gimana caranya bisa masuk ke si A sampai si Z. Nanti kalau ada apa-apa, minta tolong gimana-gimana, kan paling deket adalah tetangga. Bullshit ah mau cuek selamanya.

Pada akhirnya, mengubah sesuatu harus dari kesadaran masing-masing. Team work butuh orang-orang yang solid. Misal enggak setuju, kudu legowo. Misal pendapatnya disetujui, kudu berani tanggung jawab. Hari gini jarang deh enggak nemuin team work, gimana pun juga orang butuh bertukar pikiran, jarang yang bisa hidup sendirian saja.

It's all about your habit, apakah kamu bisa memberikan yang terbaik bagi dirimu sendiri maupun orang lain?

It's all about you, bagaimana cara kamu bertahan hidup ketika itu sudah menjadi pilihanmu?

Jawabannya, ada di kamu.
Share
Tweet
Pin
Share
1 komentar
Apa sih definisi bahagia menurut kalian? Punya duit banyak? Skripsi kelar? Punya Suami dambaan hati? Atau lunasin KPR? Well, seperti yang pernah kubilang, bahagia memang kadang enggak sesederhana itu. Ada banyak effort di baliknya.

Tapi gini deh, sejak aku menurunkan tingkat kepuasan diri, di situ aku menemukan secercah kebahagiaan yang... yah... banyak ditemui di sekitar kita. Kadar ekspektasi ternyata enggak perlu langsung muluk-muluk. Toh katanya, gapailah mimpi setinggi langit. Nyatanya, langit saja tingkatannya banyak, enggak bisa dong langsung yang langit ke tujuh. Maka dari itu, kalau dipikir-pikir, muasin diri harusnya dilihat dari kondisi. Nah, kebahagiaan yang sesungguhnya, adalah tentang bagaimana kita bisa berdamai dengan situasi, mencari hal-hal kecil yang membuat tersenyum, ataupun mengambil hikmah dari setiap kejadian tanpa terpaksa.

Wow, bijak juga ya yosa. Oh, tentu saja, pengalamanku banyak pahitnya ketimbang yang manis-manis. Cuma menurutku pribadi, hal-hal buruk cukup jadi pelajaran saja, enggak perlu dimenye-menyein lama-lama. Sekarang aku lebih suka share yang baik-baik, yang bisa menyalurkan kebahagiaan, simply karena aku ingin makin berpikir positif ke depan.

Seperti contohnya: make up.


Mungkin kalau kalian kenal aku berjuta tahun lalu, aku adalah cewek tomboy nan sinis lengkap dengan sarkasnya. Senggol bacok lah istilahnya. Ada yang dirasa enggak sepaham, woah, langsung panasan. Ada yang enggak up-to-date, ngira orang itu jauh ketinggalan. But as we know, manusia berubah seiring dengan usia, zaman, serta pengalaman.

Misal pengalamanku enggak pahit, barang kali aku akan tetap seperti dulu: menjadi manusia yang nyolotan tanpa peduli orang di sekitar.

Lantas hubungannya sama mekap apa?

Jujur saja dari dulu aku memang suka dandan. Entah itu alisan, entah itu pakai lipstick, atau sekedar buat foto-fotoan. Tapi ya sebatas itu doang, karena aku beranggapan orang yang mekap tebel itu hanya sekadar agar diperhatian. Cih, apaan buat menyenangkan diri sendiri. Wong kalau keluar enggak mekapan saja minder kok? Enggak usah menutupi kalau memang enggak pede. Ya enggak sih. Karena yang terjadi di aku sebaliknya, aku enggak pede kalau mekapan tebel. Aselik, lama-lama gatel.

Ketambahan aku bergaulnya sama cowok-cowok. Iya, temenku banyakan cowok ketimbang cewek. Enggak usah mikir macem-macem, presentase kru film cowok sama cewek, banyakan cowok di eraku. Di mataku, kebutuhan mekap harus pada tempatnya. Misal kondangan, ada acara, syuting, mantenan, atau special occasion lainnya. Seleb-seleb film dan televisi yang aku kenal nih ya, misal enggak syuting ya mereka bareface saja tuh. Enggak perlu berlebihan tiap hari mekap tebel kan?

Tapi kan makin ke sini kan enggak bisa gitu. Era media sosial gini, yang namanya beauty entusiast sama influencer makin banyak jumlahnya. Mekap semacam jadi kewajiban dan enggak bisa dibatesin sama yang namanya umur. Mau masih kecil atau sudah berumur sekalipun, seneng ya seneng. Siapa sih kita kalau mau ngurusin hidup orang?


Sudut pandangku jadi berubah gara-gara sekarang aku diakui sebagai beauty blogger. Rasanya nih, kalau enggak pakai eyebrow saja ke indomar**, ada yang kurang. Parahnya, kalau ketemu temen lama, kalau ketemu langsung mereka sering komplain "loh yos, kamu kok pucet". Mampus enggak lo! Di media sosial sering dandan, giliran kemana-mana bareface bikin kaget muke gile!

Kesimpulannya, menilai sebuah mekap enggak usah dibikin pusing, dibikin happy saja. Lagi mood pengen mekapan, ya enggak usah banyak mikir macam-macam. Begitu pula sebaliknya, lagi enggak mood mekapan, pede saja entah itu pucet atau enggak. Kunci dari itu semua adalah lagi-lagi kebahagiaan.


Ngomongin soal happy, tanggal 20 maret diklaim sebagai International Day of Happiness.  "Happiness for the entire human family is one of the main goals of the United Nations" . Jadi kita semua diserukan supaya mengisi hari dengan kebahagiaan. Karena semua orang berhak bahagia tanpa batasan apapun.

Untuk memperingatinya, Beautiesquad ngadain make up collaboration dengan tema Happiness Make Up. Sungguh ku gundah gulana.

Pertama, kondisi harian lagi enggak memungkinkan bikin look yang kesannya happy. Aku lagi banyak kerjaan, plus di rumah lagi banyak orang. Yang artinya aku bakal kesusahan photo session.
Kedua, aku lagi enggak ngerasa happy. Masih nuansa deg-deg-an, karena lagi nyiapin film pendek fiksi karya ku sendiri. 
Intinya, aku capek, lebih happy tiduran.

Pengennya ya kan?


Untungnya kemarin aku ada jeda waktu di rumah seharian. Jadi, look ini aku buat di hari terakhir deadline. Namun apesnya, seharian hujan, combo Suami lagi ada urusan. Jadilah, mekapku enggak bisa direpresentasikan secara jelas.

Ya maap ya. Aku sudah berusaha sekuat tenaga, but the pic is still not clear enough :(

Aku buat riasan dengan tema simply happy. Aku gunakan Foundation ringan yang shadenya natural, ditambah concealer tipis-tipis di sekitar bawah mata, hidung, dahi, dan dagu, Lalu aku blend hingga rata agar wajah enggak kelihatan kusam.

Untuk bagian alis, aku cuma pakai Focallure Double Take Eyebrow Pencil dan mempertegasnya dengan eyeshadow warna hitam. 

Beralih ke bagian mata. Aku lagi mau wajahku terlihat segar, jadinya aku memberanikan diri memakai warna orange dan kuning. Setelah itu baru pakai eyeliner, dan maskara sebagai sentuhan terakhir riasan mata.

Oh iya, selain itu, aku juga shading bagian pipi dan jidat, karena seperti yang kalian tahu, jidatku nonong ya amplooop. Shading lain terletak di bagian pinggir hidung biar kesannya mancung. Lalu aku juga pulaskan eyeshadow warna orange sebagai blush on di area bawah mata. Setelahnya baru aku bubuhkan highlighter di tulang pipi, hidung, dan atas bibir.

Terakhir, pakai lipstick warna.. apa ya ini? Aku mix sendiri soalnya. Yang penting kelihatan seger kan, hehe. Sayangnya, hasil fotonya beneran enggak maksimal. Aku enggak bisa nyetting lampu, mana lampuku bukan ringlight, juga aku pakai kamera handphone. Sedih sih, tapi enggak apa-apa deh, ketimbang enggak ikutan kan.

Buat kalian yang kepo produk apa saja, sudah aku list di bawah ini.


FACE
Avoskin Perfect Hydrating Treatment Essence
Baby Skin Pore Eraser Maybelline
Purbasari Foundation Daily Series (shade natural)
Focallure Big Cover Concealer (Warm Ivory)
Fanbo Acne Solution Loose Powder (shade translucent)

EYEBROW
Focallure Double Take Eyebrow Pencil (shade black)

CHEEKS
Focallure Trio Blusher & Highlighter Palette Original
Popfeel Eyeshadow Pallete

EYES
Popfeel Eyeshadow Pallete
Maybelline Magnum Volume Express
Wardah EyeXpert Optimum Hi-Black

LIP
Vaseline Repairing Jelly
Fanbo ultra satin lipstick (shade Fashionista mix with feminine)



Okay, it's not bad for me. Aku pikir mekap memang bisa bikin happy, terutama kalau riasannya cocok begini. Masalah foto yang buram, next aku persiapkan matang lagi. Besok-besok kalau mau bikin mekap collab, kudu cari waktu yang tepat deh. Sayang, sudah bagus-bagus, eh fotonya jelek.

Nah daripada nggrundel terus, aku kasih kalian rekomendasi look happiness collab dari Kornelia Lucia ya.


Atau dari temen-temen yang lain. Wow kali ini banyak banget yang ikut, mana bagus-bagus lagi.




Kalau kalian pengen juga ikutan collab, bisa banget join Beautiesquad kok. Tiap bulannya ada tema rutin, kita bisa belajar ngelatih skill mekap, plus juga dapetin temen. Sudah dulu ya, monmaap sekali lagi karena blogpost ini jadi kebanyakan curhat ketimbang tutorialnya. Wkwk. Aku kabur dulu deh. See ya!
Share
Tweet
Pin
Share
2 komentar
Pada dasarnya macam-macam ilmu parenting enggak cuma bisa berpedoman satu dua buku, satu dua psikolog, atau satu dua pengalaman. Ada banyak banget ngeeet wawasan yang perlu kita kenali, biar ketika ngadepin anak, kita sudah punya bekalnya. Kan momong anak tuh juga harus disesuaikan dengan kondisi, enggak bisa sak'klek pakai satu aturan.

Namun terus terang nih ya, dalam prakteknya aku sering keluar jalur kok. Yang tadinya dipersiapkan matang, begitu sikap anak yang mendadak berubah, langsung hilang kendali. Apalagi kalau badan sudah rontok, kerjaan belum selesai, rumah berantakan. Wow, ku pasti out of control.

Di umurnya yang hampir 4 tahun ini, Alya tampak banyak menunjukkan banyak kemajuan terutama soal bersosialisasi. Kalau dulu dia gampang ngak ngek ketemu orang baru, sekarang sudah agak mendingan. Ya asalkan dibriefing dulu sih seringnya. Tapi kalau keluarga atau temen deket, kadang enggak disounding juga sudah ngebaur dengan sendirinya.

Satu hal yang jadi catatan aku dan Suami selama ini adalah, saking Alya ini sering berbagi, menganggap semua orang itu yang berbeda biarlah berbeda, Alya tumbuh jadi anak yang merasa semua sama. Ditambah, kami lebih sering memberlakukan delay gratification, yang artinya, enggak semua yang dia inginkan, selalu terpenuhi, dengan cepat, atau malah enggak terpenuhi sama sekali.

Seperti yang kami yakini, kami kasih contoh, kami ajarkan, bahwa sering membandingkan itu enggak baik. Wong yang tua saja enggak mau kan, apalagi yang masih kecil. Nah, di sini nih yang jadi salah kaprah. Saking ngerasa bahwa manusia punya kelebihan dan kekurangan, Alya jadi ngerasa kalau enggak semua hal kita harus bisa. Mak deg kan gaes!

Misal dia senang menyanyi, dan temennya enggak bisa, dia maklum. Begitu pula sebaliknya, ketika ada temen yang bisa menghafal secara cepat, kalau dia bisanya selow, ya enggak apa-apa. Terus kasus lainnya, kayak pas sekolah disuruh cepet-cepetan menjawab pertanyaan, dan yang cepet menjawab, pulang duluan. Di situ Alya cenderung mengalah loh, bahkan kadang terima saja keluar terakhir. 

Hal ini dipertegas dengan pernyataan Alya, "Ya kan sama-sama pulang". See? Dia belum nangkep poin yang dimaksud dalam games yang diberikan Gurunya. Dia masih mengganggap menang atau kalah, bukan masalah utama.

Singkatnya, kami melabeli Alya dengan sebutan: anak yang tidak cukup kompetitif. Siapin kacang, curhatku lumayan panjang.


Untuk lebih jelasnya, satu contoh lagi deh. Jadi beberapa kesempatan lalu kami mengajak Alya buat ikutan lomba mewarnai. Aku yakin sih, mewarnai itu masih dalam kesenengan Alya. Bukan yang menghafal, atau berlenggak-lenggok di panggung, pokoknya misal Alya ikut, aman lah, sesuai dengan minatnya. Dalam bayanganku, kalau Alya bisa ngikutin lomba dengan baik saja, itu sudah bagus. Seenggaknya bisa menumbuhkan rasa percaya diri dan menambah wawasannya. "Oh, temen-temen bagus-bagus ya gambarnya", atau "Oh, ternyata aku bisa nih". Nah bayangannya kan gitu ya, biar Alya juga makin ngerti kalau sikap kompetitif kadang memang dibutuhkan.

Alih-alih dia semangat, yang ada, sebelum dia bertanding, dia sudah nyetuluk duluan gini, "nanti kalau Alya kalah bagaimana?". 

Aku dan Suami kompak menghela nafas. Seirama pula! Lha kok belum-belum sudah ngeper. Wong kalau dilihat-lihat nih, hasil gambaran Alya lumayan bagus loh. Bahkan beberapa temenku, temen-temennya, sampai Gurunya, banyak yang seneng karena Alya bisa seimajinatif itu. Masalahnya adalah, kenapa hal yang dia bisa saja masih ngerasa kurang percaya diri? Iya, percaya diri adalah kunci. 

Menurutku nih, berbekal dari pengalaman dan ngertiin sikap Alya, dia itu harus dipupuk dan ditumbuhkan rasa semangatnya. Aku inget, sampai pernah ada yang ngomong kalau Alya gampang kecil hati. Maksudnya, ada apa dikit minder, ada yang dia enggak sreg, mutung. Mungkin karena sifatnya yang sensitif dan moody yang jadi faktor utamanya.

Beberapa kali aku juga ngelihat Alya kadang enggak siap dengan sesuatu yang bersifat mendadak. Enggak heran sih, kan sifatnya slow to warm up. Salah satu cara efektif buat menetralkannya adalah dengan sounding. Sebelumnya enggak sounding, kondisinya banyakan buyar ketimbang yang baik-baik saja. Ada sih sesekali dua kali dia ngeblend sama kondisi, tapi selebihnya, ngak ngek tiada tara.

Baca juga: Sounding Biar Enggak Pening

Makanya, aku menarik garis kesimpulan kalau sikap Alya yang enggak kompetitif ini banyak dipengaruhi oleh faktor-faktor hasil didikan kami juga. Antara dia ini tipe anak yang sudah terbiasa dibriefing dulu, tipe anak yang mengenal perbedaan adalah hal yang wajar, dan tipe anak yang kalau enggak suka ya enggak usah dipaksa. Well, PR besar lagi ya kan!

Hari-hari kemarin dan ke depan, aku agak sedikit mengubah pola didik, terutama sikap pesimisnya Alya. Aku berusaha biar sifat percaya dirinya muncul secara pelan-pelan, dengan enggak membandingkan berlebihan.

Misalnya. Wah temen Alya sudah ada yang bisa pakai roda dua. Nah, tadinya kan Alya enggak tertarik sama sekali, karena ya memang dia kesusahan ketika mencoba. Jadi dia sempet give up gitu kan. Sekali lagi, dia bilang "Ya kan enggak apa-apa, kan semua emang berbeda". Kami mengubah sudut pandangnya menjadi, "Kalau yang lain bisa kenapa kamu enggak?" Intinya, parenting itu  kan kadang menang-menangan omongan ya haha, selama masih golden age, otoritas ada di tangan kita. 

Terus ngelatihnya, dari hal-hal kecil. Ketika dia main sepedaan di komplek, atau ketika dia mau sekolah. Kayak drama sih, pakai pegang tangan dan tatap matanya segala. Aku kasih suntikan semangat, seperti, "Alya sudah mau 4 tahun, artinya Alya sudah makin besar. Mama percaya kamu bisa. Semangat ya nak"

Kepercayaan yang aku berikan ke Alya ini anggap saja sebagai tombak buat mendorong mentalnya. Bukan kebetulan, pelan-pelan dia sadar sendiri kok, walaupun masih saja bertanya: "nanti kalau Alya kalah bagaimana?" Terus aku jawab wae, "Yang penting kamu menang di hati mama papa".

Aku juga kembali kasih reward ketika dia sudah bisa mencapai sesuatu yang menurut kita keren.

Oh iya, aku lupa, aku sudah lama enggak memberlakukan reward and punishment, karena beberapa moment belakangan ini semua fase Alya gampang-gampang saja. Reward and punishment ini masih pro kontra enggak sih, soalnya aku bikin aturan itu kan ya atas kesepakatan bersama Alya. Dan aku nganggep ini cukup efektif dalam ngedidik Alya. Dia dikasih reward senengnya bukan main loh, barangkali aturan ini bisa mendukung mental kompetitifnya kan Alhamdulillah.

Untuk yang penerapan delay gratification, yang mana Alya enggak dapat yang dia mau juga enggak apa-apa, itu juga salah satu pengaruh besar. Sekarang, ada kalanya aku memberikan apa yang dia  minta, asalkan dia ada usaha. Bukan ngasih perintah, baru dikasih upah. Mumet juga sih konsepnya,  bolak-balik kayak sama saja hahaha. Tapi sedikit saja salah bisa bikin berabe tuh. 

Buat lebih jelasnya, ini aku sertakan sumbernya dari Instagram @latihati.


Beberapa kali aku coba, konsep usaha ini cukup jitu buat dipraktekkin ke Alya. Alya jadi lebih punya rasa semangat buat dapetin sesuatu. Nah, dari sini nih, diarahin buat kompetitif yang baik. 

Sikap kompetitif yang baik yang gimana? Kan kompetitif itu persaingan?

Yang perlu digarisbawahi adalah, gimana caranya bikin persaingan yang sehat. Kalaupun dia menang, beri dia pujian sewajarnya. Kalau kalah, seenggaknya sudah berusaha. Simple kayaknya ya, tapi jaminan puyeng.

Aku nganggepnya kompetitif justru penting supaya kita punya pencapaian hidup. Dulu mungkin aku enggak terlalu kompetitif juga sih, tapi ketika lingkungan mendukung, otomatis aku kecambuk juga. Kalau sekali ngelihat temen sukses, wah, rasanya pengen ikutan sukses juga. Gimana caranya biar aku juga bisa seperti mereka, gimana perjuangannya, gimana cara mempertahankannya? Iri hati kadang ada gunanya ya kan ya. 

Nah, ini juga jadi catetan sendiri buat kami. Nanti pas TK, Alya bakal aku pindah ke sekolah yang lebih hardcore. Wkwk. Maksudnya, sekolah yang lebih banyak kegiatan, punya varian pembelajaran baik indoor ataupun outdoor, juga punya murid-murid yang lebih kompetitif. Salah enggak sih ngomong gini haha.

Saat ini Alya sudah mulai mau ikutan lomba-lomba kecil, mau bersaing, dan mau menerima kalah atau tidak. Aku tahunya, kemarin ketika dia sepedaan. Tiba-tiba dia teriak "yeay Alya menang" ketika sudah sampai di depan rumah. Aku lihat beberapa anak lain tertinggal di belakang. 

Selain itu, pernah juga aku ngelihat Alya rame-rame teriak "Yeay kita semua menang" ketika dia dan temen-temennya berhasil lari bareng sampai garis finish mereka. 

Sepele sih, tapi cukup bikin aku lega. Berarti Alya sudah lumayan tahu konsep kompetitif secara enggak langsung. Semoga ke depannya dia selalu bisa menyelaraskan kondisi dan bisa membaur dengan mudah, kalau enggak, tambah mumet orang tuanya. Hahaha.

Ya sudah, sekian sharingnya, semoga cerita panjang di atas cukup ngebantu buat kalian yang juga ngerasa punya anak enggak cukup kompetitif. Siapa tahu kita selama ini salah sangka, salah mengarahkan, atau lupa, bahwa sikap anak karena pengaruh kita dan lingkungan juga. Yok kita semangat yok!
Share
Tweet
Pin
Share
2 komentar
Terkadang, kita justru membutuhkan jarak supaya lebih dekat. Karena ketika kita dekat, ada kalanya kita tidak dianggap apa-apa.


Mendadak bikin quotes di atas, cuma gara-gara ngerasa, dunia ini makin runyam karena banyaknya populasi manusia. Di Indonesia saja, jumlah populasi manusia produktif dengan range usia 16-64 tahun mencapai 183,36 juta jiwa. Itu pun masih sebesar 68,7 % dari total populasi di Indonesia, dengan luas wilayah 1,905 juta km². Belum lagi di dunia. Seberapa banyak sih manusia yang kian hari makin beragam nalarnya? Aku kok malah mumet dewe to yo.

Ngatasin banyak manusia dengan macem-macem sifat dan karakternya, tentunya bukan perkara mudah. Aku ikut gabung di komunitas beauty blogger wae loh, kadang speechless. Aku syuting dengan banyak figuran nih ya, kadang lemes. Aku ketemu keluarga besar suami ku yang kalau kumpul kek pasar nih, kadang males. I SPEAK FOR WHAT IT IS, walaupun faktanya aku kelihatan baik-baik saja.

Sifatku memang ekstrovert, gampang buat membaur, gampang buat ngajak ngobrol duluan, gampang cari bahan omongan. Tapi, di sisi lain, aku juga enggak suka banyak berbasa-basi. Secukupnya, enggak perlu berlebihan. 

Ditambah dengan ritme kerjaku sekarang ini, di mana lebih banyak di rumah, ketemunya cuma orang itu-itu saja, jarang public speaking, jarang lagi presentasi, jadi lah aku canggung kalau ketemu orang banyak. Aselik, canggung banget ngadepin massa. Padahal dulu enggak loh! Mungkin cuma akibat kebiasaan yang akhirnya ikutan mengubah sudut pandang. 

Aku melihat, kalau kebanyakan orang pastinya berakibat banyak masalah. Banyak orang means banyak pemikiran, yang nantinya susah dalam mencapai mufakat. Iya bisa sih mufakat di depan, tapi di belakang? Hayoloh, ada kan yang diem-diem nggrundel. Jangankan ngurusin orang-orang yang enggak kita kenal, ngurusin saudara sendiri saja ampun-ampunan. 

Beberapa orang berpendapat kalau bahasa chat, kadang pesannya enggak sampai ke komunikan. Bisa saja salah pengucapan, bisa juga salah arti. Tapi beneran deh, ada beberapa kasus, yang mending kita berbahasa non verbal saja ketimbang verbal dan bikin enggak enakan.

Contoh nyata nih ya. Tahu sendiri kan, aku pindah ke Magelang dalam rangka mendekatkan diri sama keluarga besar. Niatnya agar mereka punya tempat untuk berbagi keluh kesah, dan ada topangan tangan ketika mereka membutuhkan. Pikirku, bisa bertemu setiap hari, ngobrol santai, dan intens sharing, bakalan membuka ruang agar batasan sirna dengan sendirinya.

Tapi ternyata enggak semudah itu. Yang ada, dengan melihat langsung keseharian mama-adek bungsu serta papa-yang sekarang tinggal sendiri, justru malah bikin aku mundur teratur. Gimana enggak, ketika aku ngajak ngomong baik-baik, kadang mereka menghindar, melengos, dan arah pembicaraan makin enggak jelas sampai ke mana-mana. 

Lain sama adekku yang kedua. Dia ini kadang bisa jadi penengah, walaupun posisinya enggak satu kota. Hanya dengan telepon papa-mama, dan chat via whatsapp saja, bisa terasa dekat. Papa mama juga gitu, ngerasa lebih tentrem HANYA DENGAN CHAT DAN TELEPON. Nah, aneh kan.

Hal ini diakui adekku sendiri. Dia bilang, waktu dia masih serumah sama orang tua, hubungannya enggak sedekat ini. Seakan ada beberapa masalah yang ditutupi. Plus mungkin ngobrol langsung itu kan sering bikin kikuk ya, jadi akan lebih sulit ketimbang berbahasa tulisan. Kalau tulisan mungkin lebih bisa dipikir duluan. Lah kalau ngobrol langsung, ada salah ucap tersirat, mimik wajah terlihat, intonasi yang naik turun, semua bisa kelihatan dan enggak bisa mengelak lagi. Enggak heran sih kalau ucapan verbal justru lebih sering bikin konflik duluan.

Contoh lain deh. Dulu waktu zaman BBM, beberapa temen, saudara, pada minta kan ya, pin kita. Nah, misal kita bikin status, mereka kadang nyamber. Di situlah kita jadi tahu, mereka lagi apa sih, dimana sih, punya masalah apa sih. Lagian media sosial kan biasa digunakan sebagai tempat untuk mengungkapkan uneg-uneg. Di situ lah orang yang tadinya jauh, tiba-tiba bisa terasa dekat. 

Ada kok, temen dan saudara jauh yang... boro-boro dulu bisa ngobrol enak, eh begitu ada BBM, ada whatsapp, langsung bisa cair dan  enak ngobrol. Sekali lagi, aneh kan!

Makanya aku mikir, jangan-jangan nih, teknologi media kayak handphone ini bikin kita ngerasa nyaman, sehingga mengabaikan yang dekat. Kurang percaya diri lewat tulisan, ada noh emoticon buat memperhalus gaya bahasa, atau pakai wkwkwk biar suasana yang cair. Enggak mau telepon lama-lama, kita bisa juga pakai alasan lagi sibuk atau semacamnya, toh orang yang di sana enggak ngerti kondisi kita yang sesungguhnya. Semua serba mudah ketika kita ada media. Iya, kita butuh media sebagai perantara untuk meminimalisir kesalahan kata.

Intinya apa? Jarak yang kita ciptakan ini justru bikin kita makin dekat karena ada masing-masing batasan. Tidak semua hal bisa kita keluarkan dan itulah yang bikin kita nyaman. Lain misal kita ketemu langsung, kadang hawanya pengen intrograsi dan gontok-gontokan. Kalau lewat handphone kan mana bisa?

Teknologi juga bisa membuat orang tertutup jadi lebih terbuka. Mungkin dia lebih nyaman nulis di blog, bikin status di media sosial, berbagai di IG story, enggak ada hal yang enggak mungkin. 

Korelasi dari tulisanku yang ngalor ngidul di atas, sebenernya mau menekankan, bahwa jarak bukan ukuran seberapa besar kalian dekat sama seseorang. Mau sayang, mau cinta, mau perhatian, jarak bukan penghalang. Justru kadang kita butuh jarak supaya bisa dekat.

Tanpa kita sadari, mungkin kita butuh jauh supaya tahu bagaimana rasa yang sesungguhnya. 
Share
Tweet
Pin
Share
No komentar
Fiuh, bisa ngeblog juga nih. Capeknya bukan main. Mana Suami dan Alya kompak sakit flu yang enggak kunjung sembuh selama 2 mingguan. Padahal sudah ke Dokter, sudah pijet segala macam, masih awet batuk pileknya. Di samping cuaca lagi lembap-lembapnya, mungkin juga karena kemarenan kami intens pergi-pergi terus, jadi ya sakitnya macam akumulasi gitu.

Rutinitas kami memang kayak biasanya kok. Sudah terbiasa apa-apa ngerjain sendiri. Nyuci, masak, momong, kerja di rumah, seperti yang biasa kalian baca di blog ini lah. Tapi yang bikin gayeng nih, dalam rangka datang ke nikahan saudara di Semarang, mertuaku datang! Komplit sama adek ipar kecuali satu yang di Jakarta. Tahu apa artinya?

Yak, selama itu pula kami sibuk dua belas kali lipat dari biasanya.


Nikahan saudara tuh tanggal 2 maret, tapi mertua datang kesini seminggu sebelumnya, hingga acara usai, plus hari-hari setelahnya, sekalian jalan-jalan di jawa. Ya maklum sih, kalau sekali pergi, sekalian gitu. Yang datengin adeknya lah, yang ke akikahan saudara lah, sampai nunggu ulang tahun cucu yang baru satu-satunya ini. Iya, Alya kan tanggal 24 maret ini ulang tahun, mungkin mau sekalian ngerayain. Soalnya ulang tahun Alya bertepatan dengan ulang tahun pernikahan mertua. Jadi ya gitu deh. Perkara sampai kapan di sini, nomor kesekian. Bahkan ada wacana mau lebaran di jawa.

Jujur saja, masalah terbesar dan terberat bagi kami yang berstatus freelancer, adalah waktu.
Orang tua kami yang terbiasa bekerja 8 to 5, jadi agak aneh ketika menemukan kami bekerja di rumah. Dipikirnya mungkin kami itu slow, kapan saja ready to go, dan gawean bisa diselesaikan nanti-nanti. Wong ya di rumah ini. Mumpung ada orang tua dan kumpul-kumpul, kan kapan lagi?

Nah ini nih yang kayaknya susah banget dilurusin. Ritme freelancer kan beda sama pegawai kantoran yak. Memang, soal tempat dan waktu itu fleksibel. Tapi kalau makin kita nunda kerjaan ya makin nanti-nanti duitnya cair. Sedangkan freelancer kan sebetulnya enggak punya jadwal cuti pasti. Namanya juga serabutan, makanya kalau ada proyek ya sebisa mungkin kudu cepet digarap.

Kendala kedua adalah uang.
Kami lagi jengkel-jengkelnya nih sama termin pembayaran. Intinya kami pengen gitu tiap bulan ada pemasukan tetap, pasti, dan jumlahnya stabil. Bagaimana caranya supaya gajian rutin? Ya kami punya bendera buat menclok dan berharap lebih. Seperti misalnya, aku direkrut as a freelance writer oleh sebuah production house. Dari awal, aku sudah rundingan bagaimana cara aku bekerja dan bagaimana cara aku dibayar. Aku kasih tawaran bahwa tiap bulan aku sanggup mengerjakan berapa banyak naskah. Dan aku minta pembayaran rutin tiap awal bulan. Anggap saja kayak pegawai, hanya saja aku ngerjainnya remote dari rumah.

Suami lain lagi. Dia aku kasih batasan dan aturan. Pokoknya tiap bulan HARUS ada pemasukan dengan jumlah sekian. Kurang dari itu, kejar di bulan berikutnya. Tampak kejam sih, tapi kalau enggak gini, gimana kita hidup? Wong jadi freelancer sudah jadi pilihan kami kok. Tanggung jawabnya besar, mana sudah punya anak pula.

Kenapa kami jengkel? Karena beberapa klien seenak udel kalau ngasih termin. Kadang kalau nagih pun berasa ngemis, enggak ditagih invoice enggak cair. Modyar! Mau berantem tapi kok enggak level. Jadi kami mah masih diem, sambil berdoa supaya jalan ke proyek lain terbuka lebar.

Nah, bagaimana kalau ritme kami ini mendadak harus berubah, seperti misal mertua datang?

Runyam pasti. Aku yang terbiasa berbagi kerjaan tiap pagi, siang, sore, malam, harus bersedia meluangkan waktu ekstra dan terkadang: MENDING ENGGAK KERJA SAJA DEH! Serius.

Aku sama Suami jatuhnya sering gunting batu kertas. Mana yang paling penting dikerjakan, nah, itu duluan. Tapi seringnya aku yang ngalah, kraaay.

Kalau aku dipaksakan nulis, kondisi di rumah lagi enggak mendukung alias rame banget. Yang TV nyala keras-keras, yang Alya teriak-teriak, atau yang pasti dimintain tolong sekadar yang cuma nanya "terasi dimana ya mbak?" T.T

Namun, ada yang harus digarisbawahi ketika keadaan sudah enggak memungkinkan bekerja lagi. Apa tuh? Ya jelas spare uang lebih banyak. Karena ketika kita enggak ngapa-ngapain, otomatis kerjaan ikut mandeg. Kerjaan mandeg? Jangan harap uang tetap mengalir, kecuali kita sudah pinter bisnis pasive income. Ini reinno barrack bukan, berani-beraninya ngomongin pasive income. Sontoloyo.

Oke, back to reality ya. Yang pegawai saja, misalpun cuti kan dibatasin. Apalagi yang freelancer awam yang masih berjuang mati-matian gini. Gimana pun juga harus pintar-pintar manage waktu. Kalau biasanya bangun masih kudu golar-goler, kini harus ekstra. Bangun ya langsung cak cek, masak, nyuci, ngepel, baru ngurus Alya. Nanti sebelum tidur, juga harus ekstra beres-beres karena orang di rumah makin banyak.

Sekarang, moment mertua datang, aku anggap saja sebagai hal yang enggak perlu diambil pusing. Anggap saja lagi disuruh istirahat karena kebanyakan begadang dan kerjaan yang datang silih berganti. Capek kan kerja mikir terus. Yaaah walaupun kerjaannya berubah jadi nemenin jalan-jalan, masak, nyuci, setrika, ngobrol ngalor ngidul. Hecticnya lebih gila, tapi seenggaknya bisa nyenengin orang tua. Hahaha.

Well, mungkin jadi seorang freelancer enggak akan bisa dinalar oleh mereka, sampai kapan pun. Hanya saja aku yakin, lewat pemahaman pelan-pelan, insyaallah semua bisa berjalan lancar.

Perkara duit, ya memang sih, percaya sama Gusti. Tapi habis ini, aku pasti gempur-gempur juga sambil begadang tiap malam. Ada proyek kecil-kecil pun sikat. Buat nutup yang kemaren-kemaren bolong. Ya begitulah. Enggak ada kerjaan yang enak kan di dunia ini?
Share
Tweet
Pin
Share
No komentar
Mau cerita tentang Alya lagi ah. Penting dicatat sebagai jurnal sekaligus biar bisa sharing antar orang tua. Maklumlah, kadang daku galau kalau sudah ada fase baru. 

Oh iya, postingan ini agak nyolot enggak apa-apa ya. Karena jujur wae lah, aku kadang semuak itu kalau sudah di-judge macem-macem. Ketimbang emosinya jadi negatif, kan lebih baik dituangkan menjadi bentuk tulisan di blog. Ya kan hehehe.


Setelah fase pilah pilih baju yang enggak kunjung usai, kini ketambahan lagi nih fase seneng mekapan, hingga akhirnya aku bikin kesimpulan gini: "iya anakku seneng dandan". Suka enggak suka, inilah sifat Alya yang sungguh kontras sama sikapnya yang pethakilan. Gawat enggak ya sebenernya?

Mungkin bagi sebagian orang, hal ini kayak lucu gitu. Lihat anak kecil tiba-tiba lenongan sendiri, terus sisiran, lengkap sama gaya princess-nya. Tapi bagi sebagian yang lain kan belum tentu? Wong yang di depan bilang lucu saja, di belakang tetep wae mbatin kok. "Masa anak kecil dibiarin dandan sih? Enggak bagus loh!" Ya ya ya, netizen apa sih yang enggak dikomentarin ya kan.

Aku sendiri gimana? Agak deg-deg-an juga mengingat umur Alya 4 tahun saja belum genep. Anak umur segini kan lagi polos-polosnya. Lah ini? Jangankan cuma pakai cologne, lotion, peralatan kecantikan sehari-hari lengkap kayak ubo rampe orang lamaran loh. Apalagi dimekapin, woh ya mapan!

Alya terang-terangan bilang kalau dia suka mekap, dan kalau nonton youtube, seringnya minta yang tutorial anak kecil dandan. Kan macem-macem tuh, kayak dandan princess nya Disney, dandan karakter little pony, endebre endebre. Wah ngalahin emaknya nonton Tasya Farasya deh! Terus kadang dia ngeloyor pergi ke kamar, ambil mekapku, terus polas poles sendiri. Sampai pernah, pas aku lagi ada tamu, tiba-tiba bentuk'annya sudah mirip lenong keliling. Seketika itu juga pada kaget dong, mana dia lihai lagi pakai lipsticknya. Selain itu, dia juga ngerti mana yang namanya maskara, eyeshadow, eyeliner, aduhaaai, kalau boleh minta sih, mending obrak-abrik kameraku saja deh. Mainin tuh shutter, diafrahma, sampai kamera analog juga enggak apa-apa. Dari pada mekapan huhuhu.

Tapi setelah aku telusuri, ternyata beberapa anak cewek sekarang juga polahnya mirip-mirip Alya kok. Enggak jarang ada cerita kalau anaknya minta ulang tahun tema putri salju, ada yang anaknya minta set buffet mekap, ada yang anaknya diem-diem ambil mekap emaknya. Ada loh, dan itu enggak cuma satu dua.

Bagiku sendiri, Alya masih cukup wajar. Enggak yang tiap hari minta dibedakin, dilipstikin. Dandan tuh ikut-ikutan saja, misal aku lagi sesi foto buat produk, atau pokoknya kudu dandan, nah di situ dia minta samaan tuh. Minta dandan juga, minta difoto juga, padahal mah sehari-hari juga enggak. Difoto saja enggak mau! Marah! Sampai pernah banting handphone gara-gara aku kelepasan motret candid. Nah loh, bingung kan.

Orang yang enggak tahu, biasanya langsung nge-judge kalau sifat Alya ini: ke-ma-yu, dan parahnya pasti langsung dikaitkan dengan: PASTI NURUN DARI MBOKNYA. Ea, ngajak berantem apa gimana ini?

via GIPHY

Ya monmaap, aku kemayu dari mana coba? Tanya deh, sama temen-temen sekolah. Tanya deh sama orang tuaku. Klarifikasiin deh ke suami aku. Aku justru enggak pede-an habis. Bisa foto pegang produk tampak cantik itu harus jepret ratusan kali. Mau datang ke kondangan pakai pakaian kebaya saja pasti sambat sumuk. Mau mekapan sampai sore, pasti sudah enggak betah. Kemayu dari mana? Jalan saja aku nunduk kok! Memang pembelaan, tapi lagian orang tuh kalau nge-judge seenak jidat.

Ya betul, aku seneng dandan keren, pakai baju nyaman, sepatu matching, iya dong, jelas. Cuma kalau mekapan? Sehari-hari aku enggak dandan sama sekali loh ini, walaupun cuma alisan atau lipstickan. Aku mekapan cuma pas ada event-event tertentu, misal meeting, ada acara keluarga, kumpul sama temen, pas mood mekapan, itu semua masih tertentu kok. Nah, kalau kalian lihat di blog ini, ada postingan aku dandan, pasti itu karena lagi ikutan collab, atau waktu ada review kecantikan. Lainnya, beneran deh, jaraaang banget.

Aku aslinya lebih seneng pakai skincare. Wah kalau ini nomor satu. Merawat kulit mulai dari wajah, sampai luluran. Bahkan tiap hari berlayer-layer skincare, karena ya memang seneng! Semua orang terdekat tahu banget nih. Apalagi Alya. Lihat Mama nya habis mandi terus lama di kamar, itu artinya Mama sedang oles skincare. Mong ngomong, oles skincare sama dengan dandan enggak sih hahaha.

Lalu sebenernya, dari mana hubungan Alya seneng dandan itu kemayu dan nurun dari aku? Padahal aku sendiri enggak ngerasa seseneng itu dandan, seseneng itu lenggak-lenggok. Mungkin kalau TAHU DANDAN DARI AKU, iya banget. Dari mana lagi soalnya. Tapi kalau nurun SUKA dandan? Lah kamu tahu enggak, sehari-hari aku gimana? Rambut saja awut-awutan.

Sudahlah, kalau misal Alya suka dandan, ya biarin saja. Yang penting aku beri dia pengertian serta arahan yang baik. Aku sering bilang kalau dandan tiap saat, kasihan kulitnya. Iya kalau bisa ngerawat, kalau enggak. Atau yang jerawatan kayak aku gini, susah loh pilah pilih produk yang tepat. 

Pelan-pelan Alya paham kok. Dia cuma seneng dandan sebatas ya karena suka saja. Mungkin dianggapnya mainan? Kalau misal lagi sekolah, lagi sama temen-temen, dia biasa saja. Permainannya lebih sering ke fisik, kayak sepedaan, lari-larian, bikin prakarya. Nah kan, baru inget, Alya nyentuh mekap kalau sudah enggak ada pilihan mainan lain. Haha.

Terus poinnya apa?

Mikir positifnya saja. Aku cuma ingin, Alya bisa jadi diri sendiri. Seneng dandan ya sudah, lakukanlah, selama itu baik, wajar, dan enggak merugikan orang lain. Masih kecil juga kan, masih banyak yang perlu dieksplor. Misalpun kalau sudah besar dan makin suka dandan, silahkan lanjutkan. Sebagai orang tua, kami  bisa mengarahkan, mendukung, dan memfasilitasi yang baik. Toh nyatanya profesi MUA dan special effect dimanapun tetap dibutuhkan. 

Aku juga enggak mau memaksa Alya supaya jadi apa yang aku inginkan. Misal dulu aku tomboy dan enggak doyan dandan, itu bukan urusan Alya untuk jadi orang sepertiku. Buat dia senyaman mungkin memilih jalannya. Tiap anak tuh beda-beda loh.

Hanya saja, yang perlu digarisbawahi, aku tetap akan ngasih border line ke Alya, bahwa percaya diri adalah tergantung pada pembawaan kita, apapun tampilan kita, dengan atau tanpa mekap.

Gitu saja deh ya, enggak usah diambil pusing. Karena jalan hidup, adalah dari apa yang kita pilih. Bukan kah begitu bund?
Share
Tweet
Pin
Share
2 komentar
Newer Posts
Older Posts

HELLO!


I'm Yosa Irfiana. A scriptwriter lived in Magelang. Blog is where i play and share. Click here to know about me.

FIND ME HERE

  • Instagram
  • Twitter
  • Facebook
  • Google Plus

Blog Archive

  • ►  2023 (1)
    • ►  January 2023 (1)
  • ►  2022 (14)
    • ►  December 2022 (1)
    • ►  October 2022 (1)
    • ►  August 2022 (2)
    • ►  July 2022 (1)
    • ►  June 2022 (1)
    • ►  April 2022 (2)
    • ►  March 2022 (2)
    • ►  February 2022 (3)
    • ►  January 2022 (1)
  • ►  2021 (60)
    • ►  December 2021 (1)
    • ►  November 2021 (3)
    • ►  October 2021 (3)
    • ►  August 2021 (3)
    • ►  July 2021 (2)
    • ►  June 2021 (3)
    • ►  May 2021 (15)
    • ►  April 2021 (21)
    • ►  March 2021 (2)
    • ►  February 2021 (2)
    • ►  January 2021 (5)
  • ►  2020 (44)
    • ►  December 2020 (5)
    • ►  November 2020 (2)
    • ►  October 2020 (4)
    • ►  September 2020 (5)
    • ►  August 2020 (3)
    • ►  July 2020 (7)
    • ►  June 2020 (6)
    • ►  May 2020 (1)
    • ►  April 2020 (4)
    • ►  March 2020 (2)
    • ►  February 2020 (3)
    • ►  January 2020 (2)
  • ▼  2019 (89)
    • ►  December 2019 (5)
    • ►  November 2019 (7)
    • ►  October 2019 (6)
    • ►  September 2019 (10)
    • ►  August 2019 (6)
    • ►  July 2019 (6)
    • ►  June 2019 (9)
    • ►  May 2019 (9)
    • ►  April 2019 (8)
    • ▼  March 2019 (7)
      • ULANG TAHUN YANG SEDERHANA
      • IT'S ALL ABOUT YOU
      • HAPPINESS MAKE UP COLLABORATION
      • KOMPETITIF PENTING ENGGAK SIH?
      • JARAK
      • REHAT
      • LETTING YOUR KIDS BE WHO THEY ARE
    • ►  February 2019 (7)
    • ►  January 2019 (9)
  • ►  2018 (135)
    • ►  December 2018 (21)
    • ►  November 2018 (17)
    • ►  October 2018 (9)
    • ►  September 2018 (9)
    • ►  August 2018 (10)
    • ►  July 2018 (9)
    • ►  June 2018 (12)
    • ►  May 2018 (9)
    • ►  April 2018 (9)
    • ►  March 2018 (9)
    • ►  February 2018 (10)
    • ►  January 2018 (11)
  • ►  2017 (116)
    • ►  December 2017 (8)
    • ►  November 2017 (7)
    • ►  October 2017 (8)
    • ►  September 2017 (9)
    • ►  August 2017 (8)
    • ►  July 2017 (11)
    • ►  June 2017 (8)
    • ►  May 2017 (11)
    • ►  April 2017 (8)
    • ►  March 2017 (12)
    • ►  February 2017 (15)
    • ►  January 2017 (11)
  • ►  2010 (9)
    • ►  November 2010 (9)

CATEGORIES

  • HOME
  • BABBLING
  • BEAUTY
  • FREELANCERS THE SERIES
  • HOBBIES
  • LIFE
  • PARENTING
  • BPN 30 DAY BLOG CHALLENGE
  • BPN 30 DAY RAMADAN BLOG CHALLENGE 2021

BEAUTIESQUAD

BEAUTIESQUAD

BLOGGER PEREMPUAN

BLOGGER PEREMPUAN

EMAK2BLOGGER

EMAK2BLOGGER

Total Pageviews

Online

FOLLOW ME @INSTAGRAM

Created with by ThemeXpose