YOSA IRFIANA

Powered by Blogger.
Sudah hampir separuh jar pemakaian selama kurang lebih sebulan, kira-kira kalau ini disebut review, bakalan cukup meyakinkan enggak sih? Hehehe. Well, sebetulnya aku beli Citra Greentea ini karena kebingungan nyari moisturizer ketika sudah di Swalayan. Awalnya mau nyari merek E****, karena ngerasa susah move on sama sunscreen-nya. tapi kok ya pas enggak ada. 

So, berbekal "ya sudah deh yang ini saja", akhirnya aku memilih Citra Greentea Anti Acne tanpa paksaan dari pihak manapun, walaupun sampai rumah baru ngeh juga, "lho kok tadi ambil ini kenapa sih ya" T.T

Baiklah, kita mulai saja reviewnya ya.


Intermezzo dikit deh. Biar dirasa enggak nyesel-nyesel amat beli, aku dulu pernah kok pakai produknya Citra, lengkapnya Citra Hazeline. Aku inget, waktu SMP-SMA sekitar awal 2000 an, merek hazeline snow sempet nge-hits di kalangan anak-anak muda sebayaku. Hazeline banyak dijual di toko-toko kecantikan, dengan tutup seng dan kemasan jar. Banyak sih yang mengaku cocok. Namun yang bikin bingung, ada beberapa temen yang mengatakan, kalau yang paling nampol adalah Hazeline Malaysia. Kemasannya pakai kaca, bukan plastik. 

Kalau zaman sekarang sih gampang ya, order online banyak pilihannya. Lha kalau zaman dulu? Aku pernah beberapa kali ngedapetin di Magelang, tepatnya di Toko Obat Waras. Enggak tahu deh kenapa bisa sampai sana, yang jelas Toko Obat Waras memang terkenal jual segala macam obat, dari kutil sampai jerawat. Nah, tapi, walaupun di sana jual, kita harus jelasin kalau yang mau dibeli Hazeline Malaysia, bukan yang Hazeline biasa. Mungkin karena persediaannya sedikit dan demand-nya banyak, jadi penjual kasih yang stock banyak dulu. Baru kemudian akan memberikan yang kita maksud ketika sudah pasti tahu bedanya.

Lantas bagaimana perbedaan Hazeline Snow dengan Hazeline Malaysia? Percaya enggak percaya, yang Hazeline Malaysia lebih lembut, gampang meresap, dan enggak terlalu medok di kulit wajah. Saat itu, kulitku sempet sedang cakep-cakepnya, hingga kemudian setelah sekian lama, produk tersebut hilang di pasaran Magelang. Bwaaar!!!

Back to now. Aku pernah kaget sih ketika Citra, entah kolaborasi, entah bagi profit (apa sih namanya) sama Hazeline. Karena yang aku tahu, Citra ini kan identik sama body lotion mangirnya, jadi kalau misal bikin untuk kulit wajah, pastinya akan melakukan segala riset dan sudah bagus menggaet yang  punya nama duluan. Apalagi Hazeline sudah terkenal sejak lama, rata-rata anak muda di daerah juga pada suka.

Eits, aku ngomong gini berdasarkan bukti apa? Tenang, kalian-kalian yang tinggal di kota besar bisa dengan bangganya pamer sama produk korea, AHA BHA, centela, atau apalah yang sedang nge-hits, tapi di Swalayan dekat tempatku tinggal, Citra selalu berganti tanpa nunggu berdebu. Maksudnya, Citra sudah punya pasarnya.

Contohnya ya aku ini. Membeli Citra Hazeline mungkin karena kepepet enggak ada produk lain. Dengan embel-embel bagus untuk jerawat, dan bisa menyamarkan noda hitam, siapa sih yang enggak pengen? Yaaa.. walaupun dalam hati bilang, "duh, kayaknya di wajah bakalan bedak banget deh", sambil nginget-inget.

Nah, bagaimana hasilnya, mending aku bahas ingredients-nya dulu saja ya.
 
INGREDIENTS

Water, stearic acid, niacinamide, glycerin, isopropyl myristate, ethylhexyl methoxycinnamate, titanium dioxide, cetyl alcohol, dimethicone, potassium hydroxide, butyl methoxydibenzoylmethane, camellia sinensis leaf extract, thymol, terpineol, salicylic acid, perfume, tocopheryl acetate, sodium ascorbyl phospate, phenoxyethanol, methylparaben, allantoin, propylparaben, aluminum hydroxide, disodium EDTA, pyridoxine HCI, butylene glycol, BHT, zinc oxide, cyclotetrasiloxane, cyclopentasiloxane.

Niacinamide berada di urutan ketiga dalam list ingredients. Bahan ini merupakan jenis vitamin B yang terdiri dari gabungan vitamin B3 dan nicotinic acid. Berfungsi untuk mengatur produksi minyak alami, menghidrasi, meningkatkan imunitas kulit, mengatasi masalah hiperpigmentasi, serta konon mampu mengatasi kerutan di wajah. Sounds like komplit memang. Tapi buat meyakinkan, marilah kita coba dan semoga foto-fotonya representatif ya!


KONDISI KULIT

Saat ini, kulit wajahku masih banyak jerawat dan bopeng lumayan banyak di pipi kanan. Kalau di foto gini memang enggak terlalu kelihatan, tapi beneran, ketika kalian ketemu langsung sama aku, bakalan kelihatan secara nyata geradakannya.

Selama aku pakai Citra, aku enggak mengubah skincare lain, semisal first cleanser, toner, peeling, sampai masker. Oh iya, aku lupa. Pas lebaran Idul Fitri kemarin, aku sempat break out parah gara-gara foundation yang enggak cocok, dan cukup lama aku betulin kulitku lagi. Termasuk mengganti skincare yang berlayer-layer dengan skincare yang sangat basic. Aku selalu memberlakukan hal ini sih kalau tiba-tiba jerawatan parah. Biar dikata balik dari awal karena hanya pakai milk cleanser, face wash, toner, moisturizer, tapi itu justru jauh lebih mending daripada aku terus-terusin yang berlayer-layer. Karena siapa tahu ada ingredients yang enggak cocok dipadupadankan, dan kok ya aku enggak ahli soal bahan-bahan ini, so, solusinya cuma itu, back to basic.

Kondisi wajahku berangsur membaik karena aku kasih asupan jus tomat, atau konsumsi tomat terus tiap pagi like crazy. Jangan tanya rasanya, tapi khasiatnya yang beneran ikut berpartisipasi menumpas jerawat secara cepat. Lalu soal kulit yang dehidrasi gimana? Kan aku cuma pakai toner, enggak pakai essence atau hydrating lagi? Yas, karena aku rajin minum air putih yang buanyaaak, dan makan yang sehat, jadi asupan tersebut menurutku cukup terpenuhi dari dalam.

Sekarang pertanyaannya, apakah moisturizer ini cocok dan bekerja bagus di kulitku yang sudah cukup mendingan ini? Masih ada sih beruntusan di jidat dan di pipi sewaktu mau pakai. Surely, aku berkali-kali pesimis dan sempat mau menghentikan pemakaian loh. Tapi aku cegah, karena sesuai prinsipku, kalau masih bisa dipakai kenapa harus dibuang? Kan sayang! Maka, aku makin meniatkan agar bisa menghabiskan satu jar.


TEKSTUR

Sudah seperti dugaan, teksturnya kental dan padat. Dulu waktu masih muda, pas pakai Hazeline Snow, kondisi kulitku kan berminyak banget, jadi kerasa cocok. Apalagi dulu habis pakai moisturizer langsung cus sekolah tanpa mikirin sunscreen. Hasilnya wajah seperti fresh dan sudah kayak bedakan.

But now, memasuki kepala 3, jelas kondisi kulit berubah banyak. Ada beberapa bagian yang mengering, kekurangan air/dehidrasi, dan pelan-pelan terlihat garis halus di mata. Nah lho! Mau enggak mundur gimana coba!

Oh iya aku lupa, aku juga pakai Face Washnya sekalian karena dalam petunjuknya dibilang lebih bagus diimbangi dengan pemakaian Face Wash Citra Greentea. Biar produknya bekerja optimal. For me, it's just like a joke, karena ya ampun beneran, face washnya bikin kulit muka keset dan kayak ketarik. Iya sih, minyak kelihatan enggak ada, dan bahkan terlihat lebih cerah. Tapi kan kalau jerawatan, justru kita butuh yang pembersih wajah yang gentle ya, biar kulit enggak makin iritasi. Mana ketambahan moisturizer Citra yang juga bertekstur keset pula. Apa enggak makin dead matte?

Aku menghentikan pemakaian face washnya setelah seminggu pakai, dan ngerasa "halah, pakai yang biasanya juga enggak ada bedanya. Malah mending face washku sebelumnya karena kulit kerasa kenyal". Sorry if it hurts, yet it's true!


RESULT

Aku pakai moisturizer Citra Greentea Anti Acne sehari dua kali. Pemakaian awal jelas enggak suka karena susah banget diratain. Kalau terkena pori-pori yang besar, teksturnya ini akan masuk ke dalam pori-pori dan bikin kayak ada putih-putih ndemplong gitu di wajah. Ngerti enggak sih? T.T

Terus di bagian bopeng, saking susahnya ngebaurin, teksturnya kayak bradil, eh apa ya bahasa Indonesianya? Pokoknya kalau dioles terus, bakal seperti peeling gitu loh, yang kemudian ada butiran kecil berjatuhan. 

Awal pemakaian, aku sempat langsung lanjut pakai sunscreen tanpa menunggu kering. Begitu ditemplok sunscreen sebagai bagian akhir skincare, hancur sudah tekstur di wajah. Demek demek tuh jadinya.

Pemakaian kedua, aku jeda 5 menit, ternyata tekstur Citra Greentea lama-lama malah sudah kayak bedakan. Dan ketika ditemplokkin sunscreen, jadi hilang. Hmmm yang bener gimana ini kaaan?!!

Aku pernah baca di forum kecantikan, ada yang bilang kalau oil contolnya kurang bagus. Padahal kurang bagus dimana coba? Semuke-muke minyak ilang semueeee! 

Buat meyakinkan saja, di bawah ini aku sudah pakai Citra Greentea tanpa ada tambahan apa-apa lagi. Sudah kelihatan banget kan 'efek bedaknya'?


Terus kenapa fotonya ketawa? Pertama, karena biar kelihatan cantique. Yang kedua, karena ternyata, Citra Greentea bisa menyamarkan noda kemerahan. Gimana nih, kok jadi bimbang begini bambang?

Nah, untuk jerawat besar-besar, masih sering bermunculan. Di kulitku, Citra Greentea enggak bisa mencegah jerawat seperti klaimnya, namun bisa mengeringkan, mempercepat proses tumbuhnya jerawat, dan bisa menyamarkan noda hitam. Ini yang aku paling suka loh. Noda hitam dan kemerahan di wajahku bisa pelan-pelan pudar, padahal ya enggak expect macem-macem.


Itulah kenapa sejauh ini masih mau aku pertahankan. Mungkin kalau enggak ada efeknya sama sekali, tinggal aku hibahkan. Tapi kok ya ada tuh khasiatnya. Nah, gimana cara ngakalinnya untuk pemakaian sehari-hari?

Pagi hari aku tetap pakai sunscreen sebanyak dua ruas jari. Aku kasih jeda 5-7 menit, setelah memakai Citra Greentea Anti Acne ini. Walaupun efek mattenya jadi lumayan hilang, tapi justru itu aku jadi bagus ketika bedakan. Iya, bedak juga berfungsi untuk nge-set tekstur yang kocar-kacir mau gimana bentuknya. Hehehe.

Sekian review kali ini, semoga membantu ya. Kalau kalian yang suka efek matte kayak gini, jaminan bakal seneng. Tapi kalau kalian suka tampilang glowing natural, mending jangan deh. Aku pertahanin pakai ini saja karena bisa memudarkan bekas jerawat. Sementara untuk bikin riasan glowing aku tetap andalin make up glow seperti cushion dan setting spray. Besok kalau isi jarnya habis, may be aku enggak akan beli lagi. Sebelumnya aku punya pelembap yang lebih murce dan cocok soalnya.

Well, it's up to you mau suka yang mana. Yang penting, skincare atau make up bisa menjadi kebahagiaan kita. Ya kan? Haha.
Share
Tweet
Pin
Share
3 komentar
Akhir-akhir ini aku bakal lebih sering nulis soal kehidupanku as a yosa irfiana, ketimbang parenting, ketimbang beauty-for the sake of sharing. Simply karena merasa kudu cepet-cepet nulis saja biar enggak lupa. Ya ada sih PR postingan soal beauty sama parenting, tapi nanti saja lah, hawa-hawa curhat dan senewen sudah enggak bisa dibendung lagi. Lagian blog ini enggak melulu harus diisi dengan sesuatu yang cantik-cantik, pengalaman yang mengharu biru, atau tips yang biasanya punya viewers di atas rata-rata.

Ada kalanya, aku lebih sering nulis tentang rasa karena enggak tahu lagi mau mengadu kemana. So, here we go.

Source: https://quotlr.com/image/883
Selama 5 tahun kekeuh menjadi seorang freelance writer, aku tuh lebih sering ngerasa bosan dan pengen kembali kerja kantoran. Sekali dua kali aku mendapat tawaran agar bisa kerja teratur, punya jam dan tanggal gajian pasti. Buatku yang kini sudah punya anak TK, dan bisa ditinggal-tinggal, hal ini tentunya menggiurkan. Aku pikir, bisa lah tiap hari PP Jogja-Magelang yang memakan waktu kurang lebih 1 jam. Wong anakku juga bisa full day, pulang-pulang tinggal jemput, main sore, baru bisa ketemu aku lagi. Nothing weights on me kalau soal anak dan Suami. Justru aku malah mikir soal kesehatan dan keuangan. 

Bayangin saja sudah pasti sibuk kok, terus gimana nanti ngatur waktu buat olahraga? Ngatur gaji ternyata bak buk atau enggak? Bensin PP kira-kira cucok enggak kalau dibandingkan dengan jarak tempuh dan kondisi badan yang terus-terusan digempur perjalanan waktu? Umurku sudah kepala 3 loh cuy. Dulu sih tiap hari syuting luar kota juga malah bangga. Sekarang? Boro-boro mikirin gengsi dan kepuasan karena dianggap keren. Mending sehat, aman, damai, anakku bisa ke-handle, include bikinin makanan sehat dan ngerawat sakit bronkitisnya sampai benar-benar sembuh. Thats more than enough.

Aku sudah pernah cerita kan, kalau sekarang aku tergabung dalam 1 PT, 1 CV, dan 1 komunitas? Yang masing-masing bisa saling back up, dan kerjaannya jadi silih berganti? Nah, ini nih yang sekarang mau aku bahas. 

Kesemua payung pekerjaan tersebut, memang banyak menghire freelancer, mungkin supaya lebih enak soal gaji, mungkin lebih enak soal laporan, atau mungkin karena kesusahan cari orang yang bener-bener klop sehingga freelancer lebih banyak diperlukan. Aku enggak tahu pasti, yang jelas, gara-gara banyak freelancer inilah, komunikasi kami kadang menjadi enggak jelas akibat jarak. 

Yang pertama, jelas enggak sering ketemu. Yang kedua, susah untuk ngompakkin jadwal. Yang ketiga, aku lebih luwes kalau bisa bertemu langsung biar jelas. Soalnya yang sering terjadi adalah sekali bahas ina inu di grup whatsapp, eh yang nyamber itu-itu mulu. Enggak semua bisa kompak dan bisa berekspresi. Jadi ya lebih enakan ketemu langsung.

Masalah yang sedang anget-angetnya terjadi adalah kemaren tuh aku sempat meeting bertiga. Sebelumnya kami cuma intens berkomunikasi lewat grup dan enggak yang tiap hari juga. Dan parahnya, tiap kali meeting, selalu ada saja yang berhalangan hadir. It's okay, semua orang punya kesibukkannya. Tapi ternyata, di situ aku langsung dicerca dengan berbagai statement dan banyak hal soal penulisan naskah yang kurang detail. 

(I take a deep breath, karena sejengkel itu fyi. LOL)

Jadi begini. Di dalam project yang aku kerjakan sekarang, ada beberapa jobdesk yang hubungannya sama naskah. Diantaranya Pimpinan Produksi, Producer, Line Producer, serta Sutradara. Yang hire aku siapa? Producer. Yang sering ngasih aku masukan siapa saja? Semuanya. Yang biasanya perantara aku sama yang lainnya siapa? Producer. Yang baru pertama kali bertemu dan tiba-tiba kasih masukkan dengan nyolot siapa? Pimpinan Produksi.

I don't know him before ya ini. Aku datang, posisi Alya sama Suamiku nunggu di mobil, dan langsung meeting. Setelah kenalan, langsung dong ya tanpa basa-basi nanyain aku soal naskah yang aku garap. Storyline kenapa tidak dibikin terus tiap hari? Kenapa cuma nunggu-nunggu revisi? Mana value dari story? Harus produksi naskah terus supaya bisa milih yang bagus dan yang enggak. Kan sama saja seenak jidat yang enggak dipakai enggak dibayar?

Itupun pakai ngomongnya keras, banter, melotot pula. Mampus, antara 3 nih. Satu get out, dua diam, tiga ikutan marah. Kalau aku, ya jelas yang ketiga. Walaupun masih bisa aku redam, tapi aku ngerasa ya enggak bisa gini caranya. Aku enggak banyak tahu apa-apa, well i know aku orang baru. Otomatis informasi yang aku perolehpun belum sebanyak orang-orang di situ yang tiap hari ngantor dan sudah lama kerjanya.

Aku langsung kepikiran sama beberapa orang: Direktur Perusahaan lamaku, seorang Sutradara senior ibu kota yang pernah satu tim, dan satu lagi, kebanyakan film-maker yang kerja di jakarta. Ini aku enggak bermaksud rasis dan menyudutkan cara pandang ke ibu kota yang orangnya kasar-kasar. Aku percaya masih ada orang yang komunikasinya enak tanpa arrogant. Tapi buatku yang dari dulu dianggap orang jawa yang minim pengalaman dan cenderung diam karena enggak dipersilahkan speak up, sikap seperti ini memang umum terjadi. 

Masih mending kalau ada yang lu gue, ada loh yang sampai ya you ya you. Entah apa maksudnya, dan buatku ini enggak manusiawi sih, sorry. Kadang aku berpikiran, orang-orang tipe kayaknya gini punya masalah apa sih dihidupnya? Pengen disegani? Pengen diakui? Pengen pada ngeper biar semua nunduk dan mengangungkan dia adalah pemimpin?

Nope. Aku enggak akan pernah menyegani pemimpin yang ngotot, dan selalu nge-battle apa yang timnya lakukan. Buatku sikap tegas bukan soal gaya bicara lantang, mencak-mencak, dan ambisius sampai orang lain enggak punya kuasa ngomong. 

Suamiku pernah ngomong ke aku, "ngotot biar kelihatan passion" ya ada benarnya juga. Beberapa orang terlihat demikian biar orang-orang di sekitarnya dengar dan ikutan tahu. Padahal mah, sudah enggak zaman loh terlihat otoriter. Buatku itu lagu lama, akan tergerus sama orang-orang yang kharismatik.

Maka dari itu aku bangga bener ngelihat temen-temen dan film-maker daerah yang tumbuh dengan ide-ide liarnya. Sehingga mampu bersaing, sampai bahkan mendapat penghargaan skala internasional. Mereka yang aku kenal ini biasanya humble, enggak pelit ilmu, dan kalau ngasih kritik disampaikan baik-baik. I'm totally proud.

Ke depannya, aku bakal ikutan tegas kalau ada yang tipe-tipe nyolot seperti itu. Karena monmaap ye, yang kayak gitu biasanya cuma lantang di bagian konsep sampai harus revasa revisi. Giliran dimintain MoU, fee, sama batasan revisi pasti mlempem. Palingan mentok bilang bakal cari penulis yang lain karena penulis di luar masih banyak. Padahal mah semua penulis akan menuntut hal yang sama. Apalagi penulis yang sudah moncer di Ibukota. Sudah pasti kualitas dan harganya juga makin bersaing. Plus revisi yang pastinya juga dibatasi.

Dan mungkin karena posisiku di sini sebagai freelance writer, jadi aku sama sekali enggak takut sama efek yang timbul ketika aku fight back. Dulu waktu masih jadi pegawai kantor mah, iya iya saja ketika boss sudah bersabda. Mau membela diri juga sering dianggap salah kan, jadi mending diam. Mau enggak sepaham, takut dipecat. Not gonna blame, kalau kalian enggak sepemikiran silahkan. Ini sudut pandangku, mungkin akan berbeda dengan kalian yang tegar dan menganggap seperti ini adalah hal yang biasa.

Tapi aku tetap kekeuh berpendapat bahwa menyepelekan pekerjaan orang sama saja enggak manusiawi. Kalau dibalik kira-kira mau enggak di-press seperti itu? Kalau ada yang bilang, pemimpin memang biasanya seperti itu, coba deh, dilihat lagi, temen-temenku yang sopan-sopan begitu kok bisa juga jadi pemimpin? Kan bukan pemimpinnya, melainkan sifat orangnya. Lebih mending mana, punya pemimpin yang ketus nan nge-push? Atau yang merangkul dan mengkritik dengan sopan?

Sampai saat ini aku masih bertahan, buat apa? Ya buat membuktikan. Aku enggak mau kalah sama orang yang ngototan. Kerjaan tetap kerjaan, sudah kadung nyemplung mending basah kuyup sekalian. 

Seenggaknya kalau aku dapat approval dari klien, atau messagenya sampai ke penonton, konflik internal kayak gini bakal bias dan enggak berlarut-larut. Aku juga lagi males banyak-banyak menerima isi kepala banyak orang, dua kelapa saja kita bisa berbeda pendapat kok, apalagi banyak. Yang jadi kena getahnya siapa? Ya aku sendiri, dengan posisi penulis naskah.

In the end, you only have your self. Catatan buatku sendiri adalah, jangan sampai hal ini terkesan memaksa dan membebani. Semua aku kerjakan semampuku dan seoptimal mungkin. Aku enggak cuma mengejar uang, tapi juga ilmu dan common sense.

Buat apa mengejar duit yang buanyak kalau akhirnya gila? I mean, happiness inspires productivity loh. Kalau pondasi awalnya saja sudah dibangun dengan rasa enggak nyaman, niscahya kerja juga bakal angot-angotan. Toh tanggungjawabku bukan cuma soal dapur ngebul, hari ini masak apa, duit tinggal berapa, tapi juga kesehatan anakku. Mendingan aku dapat duit secukupnya tapi sehat, tapi nyaman.

Karena beneran deh, pekerjaan kadang bukan cuma soal uang semata, tapi hati yang tertata. Betul kan?

Kemarin, sehabis meeting. Aku yang tadinya umup ketika di dalam, begitu masuk mobil dan bertemu dengan anakku yang anteng selama 1,5 jam, hilanglah sudah pikiran yang tadinya mau kerja kantoran. Freelancer is still my best choice ever.
Share
Tweet
Pin
Share
No komentar
Mengikuti berbagai macam akun financial planner, memang sudah seharusnya dilakukan. Apalagi yang suka sama perencanaan matang. Lagian hari gini loh, keuangan seharusnya menjadi kebutuhan utama, mulai untuk kehidupan sehari-hari, sampai cita-cita. Rasanya kok enggak lazim ya, kalau kita enggak pengen ina inu dan cenderung mengikuti petuah seperti orang jawa bilang: "trimo ing pandum".  

Serius deh, kalau boleh jujur, siapa sih yang enggak mupeng sama gulu-gulu yang hanya ada di kota besar? Siapa sih yang enggak pengen liburan nginep resort di karimun jawa? Siapa sih yang betah diam saja tanpa adanya quota internet? Well, iya, maksudnya aku juga. Tapi intinya, zaman sekarang  tuh enggak bisa disamaratakan seperti zaman dulu, ketika makan singkong goreng di pinggir sawah menjadi hal yang lumrah. Orang zaman sekarang sekalinya makan singkong goreng di pinggir sawah, ya biasanya di resto dengan nuansa sawah. Itupun pakai embel-embel update status dan bakalan sibuk balesin reply dari temen-temen, ketimbang menikmati singkong goreng itu sendiri.

Definitely, merencanakan keuangan banyak untungnya. Untuk kamu yang gajian pasti tiap bulan, untuk kamu yang tinggal di kota besar yang penuh tantangan, atau untuk kamu yang belum punya banyak tanggungan. 

Tapi buatku yang freelancer begini, yang papa mama ku cerai dan harus tinggal sendiri-sendiri, yang adekku terakhir belum juga kuliah karena belum ada dana, yang keuangan kadang sepi kadang gubrak banyak amat, mempraktekkan saran dan mengikuti langkah-langkah financial planner, lebih sering bikin kepala pusing! Mumet njobo njero.

Source: https://www.pinterest.com.mx/pin/45106433747218646/
Tulisan ini sebenarnya diawali dari sebuah akun financial planner terkemuka. Di salah satu feed-nya, ada yang menggelitik pemikiran aku. Caption tentang finacial yang berbuah pertanyaan: apakah pengeluaran naik pasti disebabkan oleh kenaikan biaya hidup? Ini pastinya aku jawab "lebih banyak iya" dengan berbekal pengalaman. Cuma yang jadi persoalan di sini, di kolom komentar, ada unpopuler opinion untuk para followersnya. Aku lupa pastinya sih, dan njlimet nyari di akunnya, tapi kurang lebih bilang kalau Gaji yang kita terima, sedekahin saja 1/3 nya. Niscahya, sama Allah akan dikalikan 10x lipatnya.

Sounds like bawa-bawa agama sih ya, dan dijawab oleh adminnya, "Lantas kenapa ada orang yang enggak bayar per puluhan bisa kaya-kaya ya??"

Ini kalau diibaratkan sedang debat, pasti aku cuma bisa diam saja. Cukup rame sih di kolom komentar. Banyak juga yang mengkait-kaitkan dengan istidraj. Tapi di sini, aku enggak mau ngobrolin dari sudut pandang agama secara dalam ya, karena ilmuku saja masih cethek. Namun kalau melihat sudut pandangku yang pada dasarnya melihat akun finansial -masih-sebagai-wacana-doang, otomatis aku mikir dong.

Yang pertama, "lho kok adminnya bisa mengaitkan dengan orang lain, kan rezeki tiap orang memang berbeda"

Pada dasarnya, aku meyakini rezeki atas dasar usaha dan doa. Kalau aku pribadi, keduanya harus berimbang, dan rezeki itu enggak semata soal uang. Teman itu rezeki, tetangga baru itu rezeki, kebaikan itu rezeki, bantuan itu rezeki, kalau sudah ngomong begini, memang kadang susah buat dinalar sehat. I mean, aku sering beneran enggak nyangka lho, di saat aku lapar butuh makanan, tiba-tiba tetangga datang, kok ya bawa makanan kesukaan. Belum lagi soal hadiah-hadiah tak terduga lainnya yang ya iya sih usaha, tapi ada faktor luck-nya juga. Dan ini kalau dipas-pasin, kok ya pas butuhnya.

Enggak cuma sekali dua kali sih kalau mau dihitung hal-hal di luar nalar seperti ini. Kami struggling banget soal pendidikan dan rencana beli rumah ke depannya. Tapi, kok ya ada saja kebutuhan tak terduga yang membuat kami harus menyisihkan sebagian uang untuk yang bukan kebutuhan kami. Dengan catatan, selama kita juga baik, maka akan mendapatkan hasil yang baik. Proses sebab akibat lah intinya. 

Mau contohnya, oke. Beberapa waktu lalu, Papa beli rumah, rumahnya baru dibangun nih, dan masih kurang banyak. Terus yang terpenting kan harus ada listrik sama air. Papa sendiri juga kekurangan dana untuk membangun itu semua.

Lha kok ndilalahnya, aku dapat transferan yang tidak terduga. Iya, itu murni fee-ku. Tapi perjanjian awalnya, akan ditransfer ketika sudah tayang. Nah ini tu belum tayang sudah ditransfer. Kan kaget dong. Kemudian langsung aku serahkan ke Papa, dan digunakan untuk bayar pemasangan listrik. Cerita belum selesai sampai situ. Tepat sehari setelahnya, adekku yang nomor dua menghubungiku dan mau transfer sejumlah uang untuk keperluan yang lain. Katanya, itu uang kesehatan dari kantornya karena sekarang kesehatan alhamdulillah ikut ditanggung kantor. Aku enggak nanya lebih detailnya, tapi jawabannya begitu.

Jadi, ketika papa membutuhkan, anak-anaknya juga pas ada. Ada yang bilang, rezeki itu dititipkan. Cuma, nalarku belum bisa sampai situ sih. Aku hanya kepikiran, pas butuh, pas ada. Dan semua ya karena Sang Pencipta.

Bukannya aku maksa nyuruh sama-sama satu pemikiran. Karena yang namanya kepercayaan, itu akan semakin ada kalau kita makin percaya. Ada kan yang percaya sama Sang Pencipta, sama Gusti Allah, sama Tuhan Yesus, sama semesta, nah itu tuh yang mungkin jadi acuan kalau mau hidup damai. Aku ya, kalau ibadah sholat, puasa, aku anggap sebagai healing dan sarana untuk meditasi. Rasanya adem kalau sudah gitu, dan hasilnya? Kalau hati sudah ayem, ngapain saja juga bakal tentrem.

Yang kedua, orang yang komentar ini mungkin juga kurang tepat bahasanya. Iya sih, bahasa tulisan sensitif, tapi pemahaman istidraj enggak semua orang ngerti lho. Apakah kita harus bersedekah banyak-banyak sementara kita juga masih banyak tanggungan? Apakah dengan merelakan 1/3 uang kita harus pamrih dapat imbalan?

FYI, setiap aku berbagi, aku enggak pernah punya rasa ingin dapat timbal baliknya, terlebih soal uang. Aku serem banget kalau pegang uang banyak-banyak. Takut maruk terus beli apa-apa hingga bikin yang lain dengki. Bukan apa-apa, sekarang di sekitarku masih banyak yang membutuhkan. Dulu ya, waktu Alya masih bayi, Demi Allah aku sakit hati lho ngelihat temen-temen makan enak dan bisa kongkow lama-lama. Saat itu aku enggak bisa keluar rumah, keuangan sedang genting, dan kondisiku belum fit. Susah kalau mau menyenangkan diri sendiri. Nah, ngelihat ada yang bisa keluar malam dan ngopi-ngopi, bikin aku meringis. Nangis. 

Makanya, aku enggak mau juga terlalu berlebihan dalam mempunyai sesuatu. Secukupnya semampunya. Misal belum bisa, ya ikhtiar, berdoa lebih banyak. Barangkali selama ini usahanya kurang, atau doanya belum benar. Ngomong kayak gini memang sensitif sih, enggak semua bisa ngerti. Kalau ada yang bilang, "life is not always about number", aku percaya tuh! Beneran, enggak semua bisa diukur secara materi. Wong orang tuaku saja bisa menyekolahkanku tanpa rencana dan tanpa dana pendidikan. Wong dulu pas nikah saja dipas-pasin uangnya juga bisa. Wong uang saku pas kuliah saja paling minim tapi bisa lulus awal juga. 

Pokoknya yang kayak aku gini, misal belum bisa menyisihkan uang tiap bulannya, berbuat baiklah dulu. Ber-positive thinking. Enggak bisa patungan uang, kita bisa sumbangsih tenaga dan pikiran. Yakinlah, pasti akan ada banyak jalan kalau kita tulus memberi. Belum bisa nabung bulan ini, mungkin bulan berikutnya. Aku sih percaya, selama ada usaha dan doa, pasti ada solusinya. Rencana Tuhan kan katanya lebih indah. 

Hari ini aku belajar legowo lagi, karena memang belum sesiap itu menabung banyak-banyak. Masih banyak yang harus aku bagi. Bukan untuk mengharap timbal balik, tapi untuk ketentraman hati. Rasa aman tuh enggak bisa diperjualbelikan. Mau kita punya satpam 24 jam, kalau rasa insecure masih tetep ada, ya enggak bakal mempan. Gimana cara supaya kita merasa damai di hati? Ya dari rasa percaya yang kita tanamkan.

Semoga tulisan ini bukan untuk jadi bahan perdebatan ya. Aku nulis ini dari sudut pandangku, seorang ibu rumah tangga yang bekerja sebagai penulis naskah lepas. Banyak hal yang kadang tidak bisa kita samaratakan, semua kan sesuai pengalaman dan kondisi. Ingatlah, enggak semua orang bercita-cita bekerja di kota besar, dengan gaji bulanan dan senang sama gemerlap megapolitan. Enggak semua orang tertarik sama konten kreatif, enggak semua orang bisa suka sama bagaimana cara membuat film, dan enggak semua orang punya jalan mulus untuk menjadi apa yang diinginkannya. Di luar sana, kita masih butuh petani, butuh tukang bangunan, butuh pedagang di pasar tradisional, butuh UMKM yang bergerak di bidang makanan dan hasil kerajinan. Enggak semua orang sama dengan kita. 

Akhir kata, percayai apa yang membuat kamu lebih baik. Kita enggak bisa memaksakan standart orang lain ke kita, dan juga sebaliknya, jangan pernah memaksa apa standart hidup kita ke orang lain. Hakekat kehidupan sesungguhnya adalah soal bertahan. Tinggal bagaimana cara kita bertanggungjawab terhadap pilihan.
Share
Tweet
Pin
Share
No komentar
Gila, rasanya sudah bertahun-tahun enggak nulis blog. Sudah agak berdebu jadinya T.T. Padahal kalau dipikir-pikir, ngeblog tuh bisa lah diselip-selipin nulis sebelum tidur. Cuma ya gimana, otak kadang sudah buntu, badan capek, mending golar-goler sambil scrolling IG. Maklum, sekarang ketambahan masak terus buat Alya, yang lagi enggak boleh jajan di luar. Belum lagi kerjaan script yang kejar tayang, plus di komplek lagi ada acara 17-an. Wes jan, susah bagi waktunya. Sekalinya ada waktu sebelum tidur, dihabiskan dengan leren dan cari hiburan. Enggak salah kan? Tapi baru kerasa kadang buang waktu juga haha.

Well, i think i'm not really busy, this is just an matter of priority.


Aku enggak bohong, jadi freelancer itu menyenangkan. Asal kita bisa me-manage waktu dengan baik, bakalan kerasa nikmatnya. Yaaa bayangin saja, aku bisa ngerjain script sambil ngelihatin anak yang lagi main di sebelah. Ini kalau kantoran belum pasti boleh dan bisa ya kan?

Hal ini diperkuat juga dengan statement orang-orang di sekitarku yang pasti selalu bilang, "enak ya jadi freelance", dan mostly pada pengen dengan segala keluh kesahnya menjadi pegawai kantoran. Btw, ini subyektif ya, dan terjadi di lingkungan sekitarku, kalau kalian baca ini dan enggak setuju, ya it's okay. Everyone has their own choice.

Tapi, yang harus digarisbawahi adalah: tahu kah kalian kalau di balik itu aku jungkir balik ngatur waktu? Include harus masak dan jagain Alya? Termasuk kalau Alya tiba-tiba nangis di komplek padahal posisi aku masih berkutat dengan naskah? Tahu tidak seberapa peningnya ngatur semua itu jadi satu dalam 24 jam. Bahkan kalau boleh ngeluh nih, kadang justru aku pengen loh kerja kantoran lagi. Yang kalau sudah berangkat kerja, ya sudah, kerja saja. Enggak perlu repot ngatur menu makan apa, anak rewel gimana. Toh dititipin day care beres. Makan tinggal beli. Baju tinggal laundry.

Gimana? Lebih enak mana? Semua ada plus minusnya kan ya?

Maka dari itulah, kalau pengen jadi freelancer, bukan semata-mata karena ego sesaat doang. Misalnya ego karena si bos kok sak'klek banget, gaji enggak dinaikin, padahal kerja juga baru 2 tahun, angot-angotan. Lembur misuh, kerjaan banyak juga enggak suka. Sudah gitu absen sidik jari telat pula. Gitu minta gaji naik mulu. Sekali enggak diiyain ngambek, update status, pengen resign, tapi enggak jadi-jadi karena susah juga cari kerjaan. Muke lu taruh mana?

Nikmatin saja kenapa, kalau belum siap ya jangan buru-buru. Apalagi cuma mikirin gengsi. Freelancer enggak makan gengsi loh. 

Back to topic soal manage waktu. 
Saking aku kelihatan selow-nya, hampir semua orang ngerasa kalau aku bisa dimintain tolong kapanpun juga. Enggak usah jauh-jauh deh. Aku kalau ngerjain naskah, berikut revisinya, pasti mintanya secepat kilat. Pokoknya gimana caranya, naskah harus jadi, karena kejar tayang. Mana ada sih yang peduli soal aku bisa apa enggak? Aku lagi ngapain? Sedang sehat apa meriang? Kabar anak gimana? ENGGAK ADA TUH. Kalau kita kerja kantoran, bakal jelas kan, bentuknya kita lagi sedih, capek, senewen, sakit juga bisa izin. Sedangkan aku? Kalaupun ada, paling mentoook juga bakal dibilang "cepet sembuh ya yos, biar cepet kelarin kerjaan".

Move to contoh lain yang bukan kerjaan. Di komplek. 
Iya sih, i'm fine kalau ada yang minta tolong bantuin macem-macem. Kayak 17-an, kayak ngurus acara halal bihalal, atau apalah. Berbekal mindset: "kalau kita memudahkan sesuatu, niscahya akan dimudahkan pula urusan kita", jadi aku juga dengan gampangnya mengiyakan, karena aku pikir memang enggak ada salahnya kan. Lagian aku di rumah, kalau cuma begini begitu, bisa lah dilakukan sekejap mata. Tapi lama-lama aku tahu sih, hal-hal seperti ini bikin rancu orang-orang yang enggak ngerti istilah kerja di rumah. Sekali yes, besok-besok pantang nolak. Mau mundur, tapi enggak ada penggantinya. Kalau sudah gini, acara apapun bakalan jadi panitia seumur hidup. Kuncinya cuma satu, kudu ikhlas, karena yang namanya volunteering di kampung yang banyak orang banyak ide, pastinya bakal lebih susah. Sudah sukarela, kadang masih saja ada cacatnya.

Nah, dari kedua cerita di atas, aku menyimpulkan bahwa, hampir semua orang enggak ngerti kesibukanku. Secara kasat mata nih ya, toh aku ada di rumah, bisa masak, bisa momong. Yang artinya, bisalah.. kalau cuma diselip-selipin kerjaan. Ini kalau enggak aku tegasin dan aku pamerin kerjaanku apa saja, terus terang saja, bakalan mrembet kemana-mana.

Kalau kalian lihat statusku di IG atau whatsapp, biasanya aku nge-share sesuatu yang aku suka, juga kesibukanku walaupun di rumah. Almost 24 hours aku pergunakan sebaik-baiknya. Bahkan kalau mau tahu, aku berkali-kali ditolak donor darah dengan alasan tensiku rendah terus. Sudah disuruh makan daging-dagingan juga segitu. Apalagi ditambah sama begadangan? Makin enggak bisa deh donor darah.

Aku bilang gini pada mbatin "wah yosa sombong amat, kayak enggak ikhlas karena pakai diomongin segala". Okay then, aku nulis dan rajin update status justru biar kalian tahu setiap hari aku ngapain saja. Bangun tidur langsung masak, nyuci, ngepel, mandiin Alya, anter sekolah. Habis itu ngerjain naskah, jemput Alya. Main sampai sore. Malam revisi. Itu belum dihitung setrika yang kadang aku lakukan 5 hari sekali. Karena malesnya boooowk. Plus kalau sudah give up, tinggal panggil tukang setrika. Lucunya, habis itu nyesel "apa enggak mending uangnya aku belikan kopi arabica ya" hahaha.

Paham kok, tidak semua orang mau ngerti kerjaan orang lain. Yang penting beres saja, sudah paling ngebantu. Aku sempet sih kepikiran, apa mau cari kerjaan kantoran saja, biar jelas timing-nya. Nanti biar pada enggak minta tolong seenaknya. Tapi kan lagi-lagi mikirin anak. Aku enggak mau nantinya hanya punya waktu sedikit buat anak. Wong sudah ekstra begini saja, anakku bronkitisnya belum sembuh-sembuh kok.

Yaaah, pada dasarnya aku cuma mau ngingetin sih, bahwa apa yang aku lakukan semua ini karena aku bisa me-manage waktu dengan baik. Gimana caranya, ya ambil skala prioritas. Kalau masih bisa bantu, pasti aku usahakan semampuku. Kalau enggak ya mending stop. Tapi kan biasanya pada enggak ngerti ya, yang soal tolak menolak gini padahal aku di rumah. Sebenernya aku juga belum pernah nolak kok. Hanya saja, aku kadang ngambil jobdesk yang sekira bisa aku handle sendiri. Walaupun aku terbiasa kerja dengan team, tapi untuk hal-hal yang bersifat cepat, mendingan aku pegang saja deh dari pada banyak orang makin lama.

So, karena aku sudah membuktikan bisa me-manage waktu tersebut, aku bisa bilang kalau misalnya ada orang sehat yang sibuk dan enggak bisa bantu-bantu, percayalah, itu hanya masalah hati, yang menyangkut ke prioritas. Mungkin bisa bantu, tapi bukan prioritasnya. Mungkin mendingan dia di rumah quality time sama anak, sama istri, atau waktunya untuk cari duit lagi. Don't worry it's okay, volunteering kan enggak bisa maksa. Yang bisa back up ya siapa lagi kalau bukan seperti aku gini hahaha.

Sebagai penutup, karena ini pure sambatan fyi. Trust me, aku ikhlas. Apapun yang aku lakukan, semoga berguna dan berkenan. Aku enggak meminta balas apapun dari kalian. Cuma yang harus di-bold adalah, jika ada yang enggak berkenan dengan segala bantuan alakadarnya ini, mending cukup sampai di sini dan besok enggak lagi-lagi. No, i'm not kidding, this is the real deal.
Share
Tweet
Pin
Share
No komentar
Masih boleh dong, ngomongin fasenya Alya yang makin-hari-makin-bikin-siap-enggak-siap kudu pasang badan. Memang sih, setelah sekitar sebulanan sekolah TK, perkembangannya pesat. Yang tadinya pas PAUD hanya bisa lari-larian ketika disuruh sholat, kini dia bisa tertib masuk masjid, dan tambah hafalan surat-suratnya. Iya, Alya kalau mood-nya bagus dan cocok sama pelatihnya, bakalan cepet menerima pelajaran.

Satu hal yang dari dulu jadi notice setiap Guru, Alya ini tipikal anak komunikatif yang memang menonjol di kecerdasan linguistik. Dia pengen apa selalu ngomong. Misal dinakalin, misal minta sesuatu, misal mengungkapkan emosinya, misal menjawab pertanyaan, dia termasuk anak yang cepat tanggap. Usahaku berbuah hasil kan hehehe.

Yang mau aku bahas di sini adalah, saking Alya komunikatif, Alya ngerasa bahwa "Everything is gonna be okay, kan aku sudah ngomong". Dia belum bisa berpikir sejauh, gimana sih perasaan teman-temannya ketika dia berani ngomong? Apakah temannya sakit hati? Apakah temannya tidak setuju? Nah, itu tuh PR besarnya.

Terlebih soal berbagi. Dia hampir enggak pernah nolak dan selalu membagikan makanannya tanpa diminta. Tapi justru, di sinilah permasalahannya. Saking mikir berbagi itu baik dan semua hal bisa dibagi, dalam artian, yang Alya pikir itu semua orang juga harus membagikan kepunyaannya, Alya jadi anak yang pemaksa, begitu tahu ada temannya yang enggak mau membagikan apa yang dipunyainya. Btw, capek enggak sih bahasanya lol.

So yes, aku pengen membagi cerita ini ke kalian, karena fase memaksa Alya sudah cukup menganggu temannya.

Cerita pertama, waktu masih PAUD.
Setiap anak kan bawa makanan/snack sendiri dari rumah, nah nanti akan dimakan pas jam istirahat sebelum pulang sekolah. Alya biasanya aku bawain nasi sama sayuran, susu, atau selang seling roti/snack. Pokoknya terserah dia deh, aku tanyain dulu maunya bawa bekal apa. Terus langsung aku bikinin pagi-pagi.

Well, mungkin Alya menganut paham rumput tetangga lebih hijau, jadi dia lebih tertarik sama bekal temannya. Dan herannya, temannya kok mau memberikan bekalnya secara cuma-cuma? Sering tuh aku lihat bekal di tasnya utuh, waktu aku tanya "kok bekalnya enggak dimakan?", Alya jawab, "tadi Alya berbagi ma". Masalahnya, berbagi kok makanan dia enggak dibagiin ke temannya, kan aneh.

Aku tegesin dan make sure kalau dia benar-benar dikasih temannya, sampai aku tanyain mamanya, karena siapa tahu ya kan, Alya yang malah minta duluan. Ternyata, kata salah satu orang tua murid, memang ada anak yang suka membagikan makanan ke Alya tanpa diminta. Tapi, pernah juga Alya maksa minta sampai salah satu anak nangis, karena Alya mau barter sama makanannya.

Nah, terjawab sudah kan. Bahwa enggak semua anak berpikiran sama. Ada yang memang rela berbagi, tapi ya enggak salah juga kalau kekeuh itu punyanya. Yang salah kalau sudah memaksa seperti ini. Konsep berbagi yang aku ajarkan berubah rancu.

via GIPHY

Cerita kedua, masih anget, baru-baru ini.
Alya kan sudah bisa roda 2, walaupun sepedanya masih sepeda kecil. Sebenernya, sepedanya Alya standart untuk anak sebayanya. Tapi joknya dinaikin pol mentok sesuai tinggi badannya. Terus dia bilang enggak enak, dia lebih suka punya temen-temennya yang cowok. Karena sepeda cewek, ukurannya belum ada yang fit buat Alya. Ya ada sih aku lihat yang lebih besar, tapi Alya belum sampai, masih jinjit.

Aku pernah nih ngelihat Alya memaksa pinjam sepeda temannya, padahal posisi temannya masih pakai itu sepeda. Kata Alya, "aku pinjem dong, kamu kan kalau pinjem mainanku enggak apa-apa?". Ya iya sih, anak-anak komplek kalau di rumah, mau main apa juga biasa langsung ambil, Alya enggak pernah marah, cuma kan di sini dia maksa temannya yang enggak mau minjemin.

Terus yang jadi persoalan, kadang temannya cowok itu disuruh tukeran, padahal sepeda Alya cewek abis. Mana mau temannya pakai sepeda Alya. Sampai pernah loh, Alya nangis gara-gara kejadian paksa memaksa ini.

Aku berkali-kali jelasin kalau memaksa itu enggak baik, enggak benar, dan aku balikin ke Alya, misal dipaksa bagaimana. Tapi di situ juga Alya ngeles kalau dia enggak pernah nolak apa yang diminta temannya. Kalau sudah begini, apa mending enggak usah diajarin konsep berbagi sekalian yak? Kraaaay.

via GIPHY

Oh iya aku tegaskan di sini, Alya memaksa enggak ada hubungannya dengan manja karena apa-apa diturutin. Pembaca blogku pasti tahu dong, aturan 'delay gratification' buat Alya, bahkan kadang Alya enggak aku turutin kemauannya sama sekali. Sifat maksa Alya, murni karena konsep berbagi yang salah kaprah, dan aku enggak nemu tips artikel yang sesuai untuk aku pelajari. Banyakin cuma ngajarin berbagi itu baik, tips biar anak mudah berbagi, atau mengatasi anak yang tidak mau berbagi.

Baiklah, sesuai paragraf pertama blogpost ini, bahwa jadi orang tua harus siap tidak siap harus siap, maka aku amati dan ulangi lagi pelajaran berbagi untuk Alya. Caranya bagaimana? Enggak sulit kok, cuma butuh ekstra ketelatenan dan monitoring kegiatannya. Misal kita enggak bisa nempel aktivitasnya seperti pas di sekolah, selalu tanyakan pada anak, tadi dia melakukan apa saja dan selalu kroscek ke Guru/temannya. Jadi istilahnya, aku mempercayai Alya untuk bercerita, tapi aku juga harus punya sudut pandang lain. Karena kadang anak bisa lupa, bisa saja bohong, bisa saja kesusahan menceritakan. 

Tiap malam aku tanyain terus, dan beberapa kali aku ulang, dengan maksud Alya enggak plin plan cerita. Memang kedengarannya kok segitunya sih, tapi treatment ini cocok di Alya karena anaknya komunikatif dan memang suka cerita.

Saat ini aku tekanin, kalau misal Alya butuh sesuatu, itu ngomongnya harus ke aku. Jangan pernah memaksa apa kehendaknya ke temen-temennya. Mending dia enggak usah berbaik hati berbagi deh, ketimbang jatuhnya maksa. Nanti jatuhnya pamrih dan enggak ikhlas. Yaaah, walaupun anaknya belum paham, setidaknya aku ulangin terus supaya alam bawah sadarnya mengikuti. Konsep berbagi sejatinya adalah kesadaran satu sama lain kan.

So far, Alya makin mudeng dan aku sudah jarang dengar dia maksa ambil punya temannya. Sekarang tiap mau sepedaan, dia selalu pakai punyanya sendiri, dan kalaupun tukeran, itu sama temannya yang sama-sama mau.

Sementara itu soal makanan, di sekolah Alya kan semua anak dibagiin snack catering dari sekolah, jadi semua sama rata. Alya masih aku bawain snack bikinan sendiri sih, tapi karena keadaan yang mengharuskan. Selama bronkitisnya belum sembuh betul, Alya enggak boleh makan makanan yang aneh-aneh. Snack yang dari sekolahan, dia bawa pulang dan dia makan bekal yang aku buatin. Alhamdulillah anaknya ngerti, Gurunya pun turut ngasih tahu dan ngasih pengertian ke teman-teman yang lain. Aman deh, enggak khawatir lagi.

Semoga ke depannya Alya makin paham dan makin bersikap baik ya. Karena gimanapun, aku percaya sih, golden age itu penentuan sikap anak ke depan. Makanya, aku benar-benar memperhatikan, sekali ada yang kurang berkenan, langsung aku benerin, supaya enggak merembet keburu gedhe susah dikasih tahu.

Oh iya, kalau kalian punya masukan, silahkan tinggalkan di kolom komentar ya. Dengan senang hati akan aku catat dan jadikan bahan pertimbangan. Thank u :)



Share
Tweet
Pin
Share
No komentar
Selama sebulanan ini aku makin ngerasa bahwa makin tua, makin banyak PR yang kudu segera dikerjakan. Mulai dari nabung biaya sekolah Alya, nyicil rumah, dan yang terakhir aku musti mengusahakan beli mobil yang pas untuk aktivitas bersama. Sorry, mobil yang mumpuni itu cukup penting mengingat kondisi Alya belum bisa jalan jauh-jauh pakai motor. Angin dingin, bisa menyebabkan batuknya kumat. Yang kedua, aku pun sering meeting ke luar kota. Rasanya kok memang harus belajar nyetir sendiri biar enggak diburu waktu pulang. Kan biasanya cuma pakai bis yang jam 5 sudah paling terakhir. Mau pakai motor? Ogah! Umur sudah kepala 3, mikir sudah bikin capek, kok masih ditambah kudu naek motor sendiri. Memangnya aku wonder woman?

Okay, memutuskan kerja di rumah adalah salah satu keputusan terbaik untuk saat ini, terlebih buat Alya. Asal kalian tahu saja, nyatanya, kami masih harus memberikan perhatian ekstra. Aku sempet mikir, ketika tatapan Dokter yang menangani Alya seperti menjustifikasi bahwa Alya sering dapat makanan pemicu alergi, salah satunya karena kami, Dokter seperti ngasih sign supaya jangan sampai lengah lagi. Mungkin ada benarnya, but trust me, dalam hati lemah juga mengingat itu semacam rasa tidak percaya pada pola asuh kami. Padahal sekali lagi, kami sudah di rumah, antar jemput, siap siaga, dan sudah memprioritaskan Alya di atas segalanya. 


But lemme tell you a story, yang mana kesimpulannya bikin kami bersyukur bahwa enggak semua orang punya moment dan kesempatan yang sama seperti kami. Mau dikata ngrasani silahkan, tapi yang jelas, aku sudah gatel sejak lama pengen berbagi.

Jadi, aku punya tetangga depan rumah, Suami Istri yang dua-duanya bekerja di luar. Suami pelayaran, sedangkan Istri bekerja di salah satu Bank di Jogja. Keduanya sibuk. Suaminya mungkin cuma bisa pulang dua bulan sekali, itupun kadang lebih. Terus Istrinya, berangkat kerja pagi jam 6, pulang magrib sudah paling bagus. Maklum, luar kota, belum sering terkena macetnya.

Nah, mereka ini punya 2 anak laki-laki yang masih kecil-kecil. Yang pertama umur 3 tahun, sementara yang kedua umur 8 bulan. Sejak anak pertama masih bayi, mbahnya sudah didatangkan langsung dari Jawa Timur biar ikut momong. Slow down, pembantunya ada kok, bahkan sampai 2 pula. Lagian itu terserah sih ya, urusan mereka, toh kemampuan tiap orang berbeda. Tapi intinya, momong dan ngurus rumah tangga, sudah ada pembagiannya semua. Si Mbahnya ini sebenarnya sudah hendak melepas kedua cucunya, karena dirasa sudah besar, dan dia kan ada rumah di Jawa Timur. Lama juga loh ninggal rumah enggak keurus.

Tapi... baru juga pulang Jawa Timur, Mbah ke sini lagi karena si cucu mau sekolah PAUD. Oh iya cucu pertama ini speech delay cukup parah. Tapi enggak tahu nih, kok enggak kunjung diterapi, mungkin enggak punya cukup waktu i don't know.

Kemudian karena sekolah PAUD inilah, kan butuh antar jemput tuh, Mbah Uti dan Mbah Kakung dua-duanya ke sini demi cucunya. Si Suami Istri mikir kalau anak ini enggak bisa sama orang baru. Jadi rencananya, selama kurang lebih seminggu diantar Mbah dulu, baru kemudian diantar ojek harian. Belum juga masuk sekolah, terjadilah kecelakaan kecil. Cucunya Mbah main di kasur lompat-lompatan, dan akhirnya mengenai perut Mbah Kakung yang sedang tidur di bawah. Tahu apa? Seketika itu juga, Mbah Kakung tidak bisa bernafas kayak kritis.

Kebetulan aku dan Suami lagi di rumah. Posisi lagi pada tidur siang karena semalaman begadang arena Alya masih sakit bronkitis. Mbah Uti gedor-gedor gerbang manggil kami untuk menolong Mbah Kakung. Kami enggak langsung denger dong. Tenyata bersamaan dengan itu, Si Istri yang kerja di Bank ini juga telepon HPku, cuma aku enggak begitu ngeh HP taruh di mana.

Beberapa saat kemudian, aku ngeh, dan sadar ada yang gedor gerbang. Aku langsung bangun minta tolong Suami. Secepat kilat kami bergerak dan langsung membawa Mbah Kakung ke UGD Rumah Sakit. Nah, mungkin saking paniknya, Si Istri kan telepon orang-orang di komplek tuh, jadinya, hampir semua orang nelpon Suamiku untuk mengetahui kondisi Mbah Kakung. Yes, lucky me tinggal di komplek yang solid dan warganya baik-baik banget.

Habis itu ya sudah, Suamiku yang ngurus semua administrasi, keperluan, dan antri ruangan untuk opname, karena ternyata harus cepat ditindak lanjuti. Seperti USG perut, dan bertemu dengan Dokter Spesialis. Yang mana prosedural ini enggak mungkin dilakukan oleh Mbah Uti yang masih shocked dan kebingungan sepanjang waktu. Dibenakku sama Suami, walaupun Alya masih sakit, tapi kami insyaallah selalu siaga dan cepat tanggap. Enggak nunggu babibu, enggak nunggu acc boss agar bisa pulang cepat. Karena yang waktu itu kami lihat, Si Istri ini enggak bisa langsung pulang dan cuti, lantaran susah dapat izin.

Well i understand gimana susahnya kerja kantoran. Tapi kan kami enggak punya hak untuk turut campur urusan keluarga. Setiap rumah tangga punya masalahnya dan solusinya masing-masing. Sebagai tetangga, kami hanya bisa memberi uluran tangan, dan masukan yang membangun.

Singkat cerita, kondisi Mbah Kakung belum membaik sampai seminggu lamanya opname. Dokter  bilang selain luka dalam, Mbah Kakung juga punya riwayat gula. Dokter sempet menyarankan agar jangan pulang dulu sebelum kondisi benar-benar membaik, tapi Mbah bersikeras pulang karena ngerasa sudah baikan. Kontrolpun berjalan seminggu sekali. Lagi-lagi Suami bantuin karena you know, siapa lagi sih saudara terdekat kalau bukan tetangga?

Karena Suami melihat kondisi Mbah Kakung tidak ada bedanya, lalu dia menyarankan agar dibawa ke salah satu Rumah Sakit di Jogja sebagai second option. Jujur, RS di Magelang tuh kelasnya masih jauh di bawah Jogja. Kalau cuma sakit biasa mah enggak apa-apa, tapi kalau sudah penyakit dalam, komplikasi pula? Ya wes, enggak usah mikir dua kali, bawa saja ke yang lebih proper. Gitu lah intinya.

Namun sayangnya, Suami dan aku juga banyak kerjaan. Apalagi kerjaan Suami apabila sehari ditunda, bakalan numpuk ke esokan harinya. Kebayang dong, sudah terlantar beberapa hari, which means fee-nya juga makin lama turunnya. Di sisi lain, Alya pun lagi butuh perhatian ekstra, dan aku sama-sama lagi banyak deadline plus agustus ini sudah mulai kejar tayang. So, dengan berat hati kami mengungkapkan dan minta maaf kalau enggak bisa bantu seintens biasanya. Mungkin terdengar "kok nolong hitungan banget". Tapi mohon dimengerti kalau kami pun punya prioritas sendiri dan kerjaan kami juga enggak tentu begini. T.T

Alhasil, kemarin malam pas aku nulis ini, Mbah Kakung dibawa ke Jogja dengan nyarter mobil, niatnya sih dirawat di Jogja juga biar dekat sama tempat kerja anaknya. Sempet sih kami rasan-rasan, kok Si Istri enggak resign saja, mengingat kondisi orang tua dan anaknya butuh perhatian ekstra. Btw tolong digarisbawahi, kami bisa mikir kayak gini karena ngerasain betul gimana kesusahannya Mbah ketika anak-anaknya tidak ada, dan mempercayakannya pada kami. Kamipun ikutan galau betul. I'm seriously, tiap malam kami sampai mikirin ini.

Suamipun juga ngerasain gimana jauhnya dari orang tua, terlebih ketika orang tua sakit. Tapi kan akhirnya kami sadar bahwa point-nya bukan di situ, melainkan solusi bagi keluarga mereka. Dipikir-pikir berapa sih gajinya hingga bisa mengorbankan banyak hal termasuk kesehatan dan kebahagiaan? Tiap hari habis bensin berapa? Bayar pembantu berapa? Anaknya butuh penanganan khusus dan belum selesai loh.

Bwaaaarr, akhirnya julid juga kan! Monmaap nih, ikutan mikir juga soalnya. T.T

Tapi biar enggak berujung ngrasani doang, aku sama Suami akhirnya sadar bahwa setiap orang punya jalan hidupnya sendiri. Ada yang memang fokus mengejar karier, ada yang memang milih di rumah biar deket sama keluarga, ada juga yang pengen bisa berjalan keduanya, biarpun duit jatuhnya pas-pas-an. Yang terakhir pilihanku btw. 

Kenapa memproritaskan keluarga di atas segalanya? Karena kami memang enggak bisa jauh-jauhan satu sama lain. It's okay kalau cuma ambil job semingguan doang, toh kadang kami juga bosen di rumah terus. Tapi kalau sudah berminggu-minggu lamanya, jelas kami tolak. Mending cari yang mudah-mudah saja. Aku sendiri sempat ingin memutuskan kerja kantoran lagi, mengingat tawaran ngantor, kini beberapa kali datang. Cuma balik lagi ke kondisi Alya yang butuh perhatian ekstra karena sakitnya. Kalau dihitung-hitung jatuhnya mending aku kerja di rumah juga enggak apa-apa. Kan semuanya kami bisa handle berdua.

Menurut kami, moment melihat tumbuh kembang dan mendampingi Alya seperti ini priceless. Enggak akan tergantikan. Situasi kayak gini tuh enggak mungkin terjadi kalau aku dulu enggak resign dan berdua masih kerja di lapangan. Pergi pagi pulang malam, lagian kenapa sih dulu ambil broadcasting and film? Hahaha, enggak kok enggak nyesel, cuma baru meratapi nasib karena jadi scriptwriter yang kerja di rumah itu ternyata ya susah juga :p

Well, kesimpulannya adalah, lakukan yang terbaik dan cari solusi tanpa memberatkan pihak manapun. Dalam kasus tetanggaku di atas, sayangnya, belum bisa menemukan solusi terbaik untuk semua. Dibilang merepotkan jelas iya, tapi dibilang kasihan ya kasihan atas nama kemanusiaan. Kami berat hati bilang gini, karena sesungguhnya, dengan memberikannya ringan tangan, kadang malah bikin orangnya ongkang-ongkang.

Akhir kata, jangan korbankan siapapun demi egomu. Kebahagiaan bersama dan kesehatan itu priceless, dan tidak dapat diukur dengan uang bermilyar-milyar sekalipun.
Share
Tweet
Pin
Share
No komentar
Newer Posts
Older Posts

HELLO!


I'm Yosa Irfiana. A scriptwriter lived in Magelang. Blog is where i play and share. Click here to know about me.

FIND ME HERE

  • Instagram
  • Twitter
  • Facebook
  • Google Plus

Blog Archive

  • ►  2023 (1)
    • ►  January 2023 (1)
  • ►  2022 (14)
    • ►  December 2022 (1)
    • ►  October 2022 (1)
    • ►  August 2022 (2)
    • ►  July 2022 (1)
    • ►  June 2022 (1)
    • ►  April 2022 (2)
    • ►  March 2022 (2)
    • ►  February 2022 (3)
    • ►  January 2022 (1)
  • ►  2021 (60)
    • ►  December 2021 (1)
    • ►  November 2021 (3)
    • ►  October 2021 (3)
    • ►  August 2021 (3)
    • ►  July 2021 (2)
    • ►  June 2021 (3)
    • ►  May 2021 (15)
    • ►  April 2021 (21)
    • ►  March 2021 (2)
    • ►  February 2021 (2)
    • ►  January 2021 (5)
  • ►  2020 (44)
    • ►  December 2020 (5)
    • ►  November 2020 (2)
    • ►  October 2020 (4)
    • ►  September 2020 (5)
    • ►  August 2020 (3)
    • ►  July 2020 (7)
    • ►  June 2020 (6)
    • ►  May 2020 (1)
    • ►  April 2020 (4)
    • ►  March 2020 (2)
    • ►  February 2020 (3)
    • ►  January 2020 (2)
  • ▼  2019 (89)
    • ►  December 2019 (5)
    • ►  November 2019 (7)
    • ►  October 2019 (6)
    • ►  September 2019 (10)
    • ▼  August 2019 (6)
      • REVIEW CITRA GREENTEA ANTI ACNE - MOISTURIZER
      • KENYAMANAN BEKERJA
      • DO GOOD
      • PRIORITY
      • FASE MEMAKSA
      • PRICELESS
    • ►  July 2019 (6)
    • ►  June 2019 (9)
    • ►  May 2019 (9)
    • ►  April 2019 (8)
    • ►  March 2019 (7)
    • ►  February 2019 (7)
    • ►  January 2019 (9)
  • ►  2018 (135)
    • ►  December 2018 (21)
    • ►  November 2018 (17)
    • ►  October 2018 (9)
    • ►  September 2018 (9)
    • ►  August 2018 (10)
    • ►  July 2018 (9)
    • ►  June 2018 (12)
    • ►  May 2018 (9)
    • ►  April 2018 (9)
    • ►  March 2018 (9)
    • ►  February 2018 (10)
    • ►  January 2018 (11)
  • ►  2017 (116)
    • ►  December 2017 (8)
    • ►  November 2017 (7)
    • ►  October 2017 (8)
    • ►  September 2017 (9)
    • ►  August 2017 (8)
    • ►  July 2017 (11)
    • ►  June 2017 (8)
    • ►  May 2017 (11)
    • ►  April 2017 (8)
    • ►  March 2017 (12)
    • ►  February 2017 (15)
    • ►  January 2017 (11)
  • ►  2010 (9)
    • ►  November 2010 (9)

CATEGORIES

  • HOME
  • BABBLING
  • BEAUTY
  • FREELANCERS THE SERIES
  • HOBBIES
  • LIFE
  • PARENTING
  • BPN 30 DAY BLOG CHALLENGE
  • BPN 30 DAY RAMADAN BLOG CHALLENGE 2021

BEAUTIESQUAD

BEAUTIESQUAD

BLOGGER PEREMPUAN

BLOGGER PEREMPUAN

EMAK2BLOGGER

EMAK2BLOGGER

Total Pageviews

Online

FOLLOW ME @INSTAGRAM

Created with by ThemeXpose