Timeline sosial media ngga bakalan sepi dan selalu rame dengan topik bahasan yang silih berganti. Semua orang kayak ngga mau ketinggalan share berita terkini berikut kalimat pemantik supaya terjadi interaksi. Maka ngga jarang kalo kolom komentar bakalan jadi pro kontra. Oh, bukan kamu saja kok. Mari berbicara tentang aku, kamu, kita semua.
Kasus kali ini yang bikin miris dan menggerus hati adalah rentetan kasus bunuh diri. Rame banget pokoknya, dari yang berempati untuk keluarga korban, ikutan berdoa supaya arwah diterima sisi Tuhan atau ada aja yang selalu maki-maki buat apa bunuh diri. Yang mau aku bahas di sini adalah makian yang bahkan menjadi umpatan seakan arwah korban bunuh diri beneran layak dapat penghinaan. Sebuah sikap keliru yang melulu dilakukan oleh sebagian masyarakat, merasa benar, hingga lupa kalo justru dia juga melakukan kesalahan.
Belum juga aku selesai menghela nafas tentang Film Dokumenter kami yang mengangkat kasus bunuh diri di Gunung Kidul, aku dihadapkan pada pola pikir masyarakat yang baru, yakni: minim empati.
Baca juga: Film Dokumenter AJA NGLALU
Aku memang bukan kru yang turun ke lapangan guna ikut memvisualisasikan segala pendekatan kami pada masyarakat Gunung Kidul. Posisiku hanya seorang penulis naskah, yang mana juga harus menulis semua yang berkaitan dengan media, otomatis, alur pun kudu berimbang. Ngga menyudutkan, namun kudu tepat sasaran.
Sampai hari ini, aku masih sedang dalam tahap pengajuan proposal untuk menggelar diskusi ke berbagai Universitas dan kelompok. Perjuangan masih terus berlanjut, belum berakhir dalam meminimalisir korban mitos bernama pulung gantung. Atas nama semua sudah suratan takdir, bunuh diri menjadi budaya dan menjadi hal yang wajar. Bekerja sama dengan Pemerintah dan penduduk, Gunung Kidul harus bisa merevolusi mentalnya sendiri. Gerakan ini juga perlu dukungan sepenuhnya dari kita semua. Kami benar-benar mengangkat kasus ini dari segi logika. Tidak ada unsur dan kesengajaan meliput korban bunuh diri secara langsung, simply karena itu bukan tujuan utama kami.
Yang terjadi di jagad online saat ini, justru makin tragis saja. Kabar bunuh diri meluas dari saentero Indonesia. Mari kita mulai dari kasus seorang laki-laki setengah baya di Jagakarsa yang tertekan karena istrinya selingkuh. Parasuicide melalui live via Facebook disaksikan banyak orang dan ngga sedikit yang menghalangi. Sayangnya, korban bunuh diri tersebut benar-benar menemui ajalnya. Padahal ngga menutup kemungkinan, niat almarhum cuma sebatas minta empati.
Sosial media memang bisa jadi wadah untuk berbagi, tapi kadang justu membuat petaka untuk diri sendiri.
Beberapa bulan setelahnya, isu bunuh diri terjadi lagi. Oka Mahendra meninggal disinyalir karena meracuni diri sendiri dengan sianida, sedangkan Ayahnya bilang, Oka meninggal karena Collapse by Design. Apapun alasannya, Almarhum jelas mengalami depresi. Sudah buntu dan mungkin terlanjur malu, perasaan itu tidak semua orang bisa mengerti.
Berita yang cepat tersebar seringkali belum tentu benar, susah mengklarifikasi dan mengembalikan pikiran orang yang kadung sempit.
Yang terakhir dan bikin aku bingung ngga karuan, bunuh diri oleh dua orang kakak beradik sekaligus. Mereka terjun langsung dari lantai 5 apartement Gateaway Bandung cuma berselang beberapa menit. Aku menghela nafas panjang karena hati berdetak cepat: menyaksikan videonya yang diunggah disejumlah sosial media seperti Instagram. Dengan caption yang mengatasnamakan Tuhan, aku ngga ngerti, apa di motif dibalik mendokumentasikan dan menyebarkannya ke banyak orang.
Kita digiring untuk ingat Tuhan, tapi lagi-lagi kita melupakan jalan untuk bersikap baik terhadap sesama.
Dengan dalih urusan keaktualan adalah yang utama, berbekal kamera dari smartphone, citizen journalism justru semakin menjadi momok mengerikan karena tidak dibekali dengan etika dan kebenaran berita. Entah berupa kebanggaan atau sekedar cari sensasi doank, eh ini lho aku disini menyaksikan trus aku lho berhasil ngerecord. Padahal dalam etikanya, setiap berita harus melalui verifikasi. Ya, menjadi journalist ngga segamblang kamu ngomong dan membusungkan dada. Mereka harus siap dengan segala resiko, terutama efek kepada korban dan orang-orang terdekatnya tentu saja.
Bukan tidak mungkin kalo hampir semua orang sudah memakai smartphone zaman maju ini. Semudah sentuh layar: upload, share, jadi bahan berita anget, dan secepat kilat menjadi panasnya kolom komentar.
Asli, aku makin bingung, inikah yang diharapkan pada pemburu dan pencari berita di sosial media. Berkali-kali aku berusaha memungkiri bahwa ini efek buruk dan sudah lazim di era postmodern. Dan berkali-kali juga aku jengkel pada ketidaksiapan dan sikap gegabah orang.
Sorry kalo akhirnya aku gondok karena sikap para komentator yang bisa ngebunuh hati orang.
Kasus kali ini yang bikin miris dan menggerus hati adalah rentetan kasus bunuh diri. Rame banget pokoknya, dari yang berempati untuk keluarga korban, ikutan berdoa supaya arwah diterima sisi Tuhan atau ada aja yang selalu maki-maki buat apa bunuh diri. Yang mau aku bahas di sini adalah makian yang bahkan menjadi umpatan seakan arwah korban bunuh diri beneran layak dapat penghinaan. Sebuah sikap keliru yang melulu dilakukan oleh sebagian masyarakat, merasa benar, hingga lupa kalo justru dia juga melakukan kesalahan.
Belum juga aku selesai menghela nafas tentang Film Dokumenter kami yang mengangkat kasus bunuh diri di Gunung Kidul, aku dihadapkan pada pola pikir masyarakat yang baru, yakni: minim empati.
Baca juga: Film Dokumenter AJA NGLALU
Aku memang bukan kru yang turun ke lapangan guna ikut memvisualisasikan segala pendekatan kami pada masyarakat Gunung Kidul. Posisiku hanya seorang penulis naskah, yang mana juga harus menulis semua yang berkaitan dengan media, otomatis, alur pun kudu berimbang. Ngga menyudutkan, namun kudu tepat sasaran.
Sampai hari ini, aku masih sedang dalam tahap pengajuan proposal untuk menggelar diskusi ke berbagai Universitas dan kelompok. Perjuangan masih terus berlanjut, belum berakhir dalam meminimalisir korban mitos bernama pulung gantung. Atas nama semua sudah suratan takdir, bunuh diri menjadi budaya dan menjadi hal yang wajar. Bekerja sama dengan Pemerintah dan penduduk, Gunung Kidul harus bisa merevolusi mentalnya sendiri. Gerakan ini juga perlu dukungan sepenuhnya dari kita semua. Kami benar-benar mengangkat kasus ini dari segi logika. Tidak ada unsur dan kesengajaan meliput korban bunuh diri secara langsung, simply karena itu bukan tujuan utama kami.
Yang terjadi di jagad online saat ini, justru makin tragis saja. Kabar bunuh diri meluas dari saentero Indonesia. Mari kita mulai dari kasus seorang laki-laki setengah baya di Jagakarsa yang tertekan karena istrinya selingkuh. Parasuicide melalui live via Facebook disaksikan banyak orang dan ngga sedikit yang menghalangi. Sayangnya, korban bunuh diri tersebut benar-benar menemui ajalnya. Padahal ngga menutup kemungkinan, niat almarhum cuma sebatas minta empati.
Sosial media memang bisa jadi wadah untuk berbagi, tapi kadang justu membuat petaka untuk diri sendiri.
Beberapa bulan setelahnya, isu bunuh diri terjadi lagi. Oka Mahendra meninggal disinyalir karena meracuni diri sendiri dengan sianida, sedangkan Ayahnya bilang, Oka meninggal karena Collapse by Design. Apapun alasannya, Almarhum jelas mengalami depresi. Sudah buntu dan mungkin terlanjur malu, perasaan itu tidak semua orang bisa mengerti.
Berita yang cepat tersebar seringkali belum tentu benar, susah mengklarifikasi dan mengembalikan pikiran orang yang kadung sempit.
Yang terakhir dan bikin aku bingung ngga karuan, bunuh diri oleh dua orang kakak beradik sekaligus. Mereka terjun langsung dari lantai 5 apartement Gateaway Bandung cuma berselang beberapa menit. Aku menghela nafas panjang karena hati berdetak cepat: menyaksikan videonya yang diunggah disejumlah sosial media seperti Instagram. Dengan caption yang mengatasnamakan Tuhan, aku ngga ngerti, apa di motif dibalik mendokumentasikan dan menyebarkannya ke banyak orang.
Kita digiring untuk ingat Tuhan, tapi lagi-lagi kita melupakan jalan untuk bersikap baik terhadap sesama.
Dengan dalih urusan keaktualan adalah yang utama, berbekal kamera dari smartphone, citizen journalism justru semakin menjadi momok mengerikan karena tidak dibekali dengan etika dan kebenaran berita. Entah berupa kebanggaan atau sekedar cari sensasi doank, eh ini lho aku disini menyaksikan trus aku lho berhasil ngerecord. Padahal dalam etikanya, setiap berita harus melalui verifikasi. Ya, menjadi journalist ngga segamblang kamu ngomong dan membusungkan dada. Mereka harus siap dengan segala resiko, terutama efek kepada korban dan orang-orang terdekatnya tentu saja.
Bukan tidak mungkin kalo hampir semua orang sudah memakai smartphone zaman maju ini. Semudah sentuh layar: upload, share, jadi bahan berita anget, dan secepat kilat menjadi panasnya kolom komentar.
Asli, aku makin bingung, inikah yang diharapkan pada pemburu dan pencari berita di sosial media. Berkali-kali aku berusaha memungkiri bahwa ini efek buruk dan sudah lazim di era postmodern. Dan berkali-kali juga aku jengkel pada ketidaksiapan dan sikap gegabah orang.
Sorry kalo akhirnya aku gondok karena sikap para komentator yang bisa ngebunuh hati orang.
Kalian yakin dengan video bunuh diri yang tersebar luas itu bisa bikin semua orang berpikiran: ayo kita sama-sama ingat Tuhan dan bunuh diri itu dosa besar.
Alih-alih mengambil hikmah, komentar makin lama makin panas gara-gara muncul sumpah serapah. Perang psikis pun ngga berujung ke hal yang solutif.
"Ya kan itu tujuan utamanya, kalo ada yang salah paham itu karena masing-masing orang berbeda"
Oh, benar.
Tapi saat kalian ngeles seperti itu, harusnya sadar kalo media memang butuh filter. Mau kamu blur foto korban sekalipun, itu ngga menghalangi orang untuk semakin ingin tahu. Ingat, imajinasi dibalik foto yang disensor itu lebih ganas lho.
Satu lagi.
MEDIA BISA JADI ALAT PROPAGANDA.
Jadi, kita ngga bisa bersifat seenaknya dalam menyebarkan berita.
Kasarnya deh, iya kalo kamu well educated, kamu berpikiran terbuka, kamu benar-benar merasa itu ngga baik.
Kita ambil hikmahnya.
Tapi gimana dengan orang yang berpikiran sempit?
Yakin malah ngga menjadi blunder dan bikin orang yang melihat justru malah mempunyai pikiran untuk niru apa yang sudah divideokan?
Atau jangan-jangan kalian bangga kalo akhirnya banyak yang ngebully korban bunuh diri.
Sungguh ngga punya empati.
Media itu harus berimbang, harus difilter supaya masyarakat ngga menelan mentah berita yang sudah didapat.
Sudah berapa cerita tentang anak-anak yang ikutan jadi brutal gara-gara lihat adegan kekerasan.
Sudah berapa kali ada niru yang nangis-nangis di shower kamar mandi karena patah hati.
Sudah berapa banyak menertawakan fisik seseorang sebagai bahan becandaan.
Sudah berapa foto yang lalu jadi sarana adu domba.
Oke, oke, aku ngga akan kasih banyak teori kuliah di sini. Aku masih minim materi, makanya pengen kuliah lagi.
Sebenernya, ngga bisa dihitung lagi suamiku bilang "sudah, ngga usah dilihat" ketika aku kepo tentang video orang bunuh diri. Turut menjadi kru Film Dokumenter Aja Nglalu di Gunung Kidul menjadikan dia bijak menyikapi kasus bunuh diri. Dia benar-benar merasa segala sesuatu yang berkaitan dengan hal negatif, harus dibatasi. Karena semua hal negatif yang terus menerus kita bahas, membuat kita makin terbelenggu hingga akhirnya kita ngga sadar telah membuat semuanya menjadi bias. Antara kita menyalahkan dan membenarkan.
Banyak benarnya ketika dia lantang mencegahku turut kepikiran kasus bunuh diri yang marak terjadi. Kru film dokumenter kami sempat merasa capek luar biasa dan ikutan paranoid terhadap apa yang mereka kerjakan. Padahal mereka hanya sebatas membuat film dokumenter dengan cara observasi. Melalui unsur visual observasionalisme reaktif, film berjalan dengan energi dari lakon-lakon untuk mencegah bunuh diri. Semangat luar biasa yang tidak mudah didapat dan ada karena dilakukan dengan berbagai pendekatan.
Lalu kami sengaja mendatangkan psikolog guna membuat semua ini menjadi logis dan bersifat solutif bagi warga. Psikolog sangat meminta kru untuk membatasi diri tidak turut campur secara dalam dan membuang pikiran buruk yang dikaitkan dengan mitos. Ya, mitos yang dianggap terlalu kuat itu bisa merasuki jiwa dan raga lho, hingga kalo kita lengah dikit aja, akan menjadi fatal. Psikolog mengungkapkan, kalo ada yang menganggap bunuh diri itu sebagai hal yang lumrah, bukan tidak mungkin dia akan menjadi Suspect atau korban selanjutnya.
Dalam menyikapi tindak korban bunuh diri, seharusnya kita bukan menjadikan hal tersebut sebagai bahan becandaan. Karena sama sekali bukan sesuatu yang lucu dan harus ditertawakan.
Dan yakinlah, bahwa omongan itu bisa juga sebagai doa. Sekali kamu kelepasan bicara tanpa kamu pikirkan terlebih dahulu, anggap saja ada yang mengamini, semua bakalan bisa terjadi.
Salah besar kalo ada yang menganggap orang yang bunuh diri minim iman. Ada kok, seorang haji bunuh diri padahal sholatnya khusyuknya bukan main.
Salah besar kalo alasan bunuh diri karena ngga mengenyam pendidikan tinggi. Ada kan mahasiswa mengakhiri hidupnya karena skripsi.
Salah besar juga kalo kalian menganggap faktor ekonomi sebagai faktor utama. Chester Bennington nyata mengakhiri hidupnya.
Bunuh diri tidak punya satu dua alasan tepat.
Iya benar, bunuh diri biasanya karena depresi, tapi bukan berarti angka bunuh diri tidak bisa dikurangi.
Mencegah bunuh diri itu bukan dengan cara memberi punishment bertubi-tubi lewat komentar yang pedasnya ngga ketulungan.
Membuat efek jera supaya orang lain tidak melakukan hal yang sama bukan dengan cara mencela tiada habisnya.
Doktrin yang dibuat justru malah membuat orang tertekan.
Sekali lagi, mencegah dan menyikapi bunuh diri bukan dengan cara sarkas seperti itu.
Karena sakit hati yang diderita bisa jadi beralih ke keluarga yang ditinggalkan. Sudah ditinggal bunuh diri, pun kudu dengerin caci maki.
God please help them strong.
Salah besar kalo alasan bunuh diri karena ngga mengenyam pendidikan tinggi. Ada kan mahasiswa mengakhiri hidupnya karena skripsi.
Salah besar juga kalo kalian menganggap faktor ekonomi sebagai faktor utama. Chester Bennington nyata mengakhiri hidupnya.
Bunuh diri tidak punya satu dua alasan tepat.
Iya benar, bunuh diri biasanya karena depresi, tapi bukan berarti angka bunuh diri tidak bisa dikurangi.
Mencegah bunuh diri itu bukan dengan cara memberi punishment bertubi-tubi lewat komentar yang pedasnya ngga ketulungan.
Membuat efek jera supaya orang lain tidak melakukan hal yang sama bukan dengan cara mencela tiada habisnya.
Doktrin yang dibuat justru malah membuat orang tertekan.
Sekali lagi, mencegah dan menyikapi bunuh diri bukan dengan cara sarkas seperti itu.
Karena sakit hati yang diderita bisa jadi beralih ke keluarga yang ditinggalkan. Sudah ditinggal bunuh diri, pun kudu dengerin caci maki.
God please help them strong.
If you dont want to be kind, please be quite.
Aku bukannya setuju dan menganggap bunuh diri bukan dosa. Toh, agama mana yang mengajarkan umatnya untuk mengakhiri hidupnya sendiri?
Aku tahu dan paham.
Depresi itu sering bikin nyawa melayang. Kudu banyak banyak mendekatkan diri pada Tuhan dan berbagi kepada sesama.
Masalahnya, iya kalo kita punya tempat sharing dan punya pelampiasan agar emosi dapat diubah menjadi energi positif. Kalo tidak, apa kamu menyalahkan orang disekitarnya.
Please keluarlah dari pemikiran dalam lingkaran setan ini.
Hal yang mungkin perlu kita segera lakukan adalah meningkatkan kepekaan terhadap diri sendiri dan lingkungan di sekitar kita. Ngga usah muluk-muluk dan komentar macam-macam. Jangan sampai sikap yang udah kita perbuat menyudutkan orang dan bikin orang depresi. Jaga sikap dan hati. Menganggap bunuh diri adalah hal yang wajar dan hanya untuk bahan becandaan doank, itu bakalan bikin kita merugi. Kalo kita ngga bisa sedikit saja berempati, harusnya kita takut pada diri kita sendiri. Kemana perginya rasa berbagi yang dapat menguatkan rasanya saling mengerti. Upaya pencegahan ini memerlukan campur tangan bersama dari berbagai pihak.
Pertanyaannya, maukah kamu berpikiran positif untuk dirimu sendiri dan orang-orang disekitarmu?
Pertanyaannya, maukah kamu berpikiran positif untuk dirimu sendiri dan orang-orang disekitarmu?