YOSA IRFIANA

Powered by Blogger.
Timeline sosial media ngga bakalan sepi dan selalu rame dengan topik bahasan yang silih berganti. Semua orang kayak ngga mau ketinggalan share berita terkini berikut kalimat pemantik supaya terjadi interaksi. Maka ngga jarang kalo kolom komentar bakalan jadi pro kontra. Oh, bukan kamu saja kok. Mari berbicara tentang aku, kamu, kita semua.
Kasus kali ini yang bikin miris dan menggerus hati adalah rentetan kasus bunuh diri. Rame banget pokoknya, dari yang berempati untuk keluarga korban, ikutan berdoa supaya arwah diterima sisi Tuhan atau ada aja yang selalu maki-maki buat apa bunuh diri. Yang mau aku bahas di sini adalah makian yang bahkan menjadi umpatan seakan arwah korban bunuh diri beneran layak dapat penghinaan. Sebuah sikap keliru yang melulu dilakukan oleh sebagian masyarakat, merasa benar, hingga lupa kalo justru dia juga melakukan kesalahan.
Belum juga aku selesai menghela nafas tentang Film Dokumenter kami yang mengangkat kasus bunuh diri di Gunung Kidul, aku dihadapkan pada pola pikir masyarakat yang baru, yakni: minim empati.

Baca juga: Film Dokumenter AJA NGLALU

Aku memang bukan kru yang turun ke lapangan guna ikut memvisualisasikan segala pendekatan kami pada masyarakat Gunung Kidul. Posisiku hanya seorang penulis naskah, yang mana juga harus menulis semua yang berkaitan dengan media, otomatis, alur pun kudu berimbang. Ngga menyudutkan, namun kudu tepat sasaran.
Sampai hari ini, aku masih sedang dalam tahap pengajuan proposal untuk menggelar diskusi ke berbagai Universitas dan kelompok. Perjuangan masih terus berlanjut, belum berakhir dalam meminimalisir korban mitos bernama pulung gantung. Atas nama semua sudah suratan takdir, bunuh diri menjadi budaya dan menjadi hal yang wajar. Bekerja sama dengan Pemerintah dan penduduk, Gunung Kidul harus bisa merevolusi mentalnya sendiri. Gerakan ini juga perlu dukungan sepenuhnya dari kita semua. Kami benar-benar mengangkat kasus ini dari segi logika. Tidak ada unsur dan kesengajaan meliput korban bunuh diri secara langsung, simply karena itu bukan tujuan utama kami. 

Yang terjadi di jagad online saat ini, justru makin tragis saja. Kabar bunuh diri meluas dari saentero Indonesia. Mari kita mulai dari kasus seorang laki-laki setengah baya di Jagakarsa yang tertekan karena istrinya selingkuh. Parasuicide melalui live via Facebook disaksikan banyak orang dan ngga sedikit yang menghalangi. Sayangnya, korban bunuh diri tersebut benar-benar menemui ajalnya. Padahal ngga menutup kemungkinan, niat almarhum cuma sebatas minta empati.

Sosial media memang bisa jadi wadah untuk berbagi, tapi kadang justu membuat petaka untuk diri sendiri.

Beberapa bulan setelahnya, isu bunuh diri terjadi lagi. Oka Mahendra meninggal disinyalir karena meracuni diri sendiri dengan sianida, sedangkan Ayahnya bilang, Oka meninggal karena Collapse by Design. Apapun alasannya, Almarhum jelas mengalami depresi. Sudah buntu dan mungkin terlanjur malu, perasaan itu tidak semua orang bisa mengerti. 

Berita yang cepat tersebar seringkali belum tentu benar, susah mengklarifikasi dan mengembalikan pikiran orang yang kadung sempit.

Yang terakhir dan bikin aku bingung ngga karuan, bunuh diri oleh dua orang kakak beradik sekaligus. Mereka terjun langsung dari lantai 5 apartement Gateaway Bandung cuma berselang beberapa menit. Aku menghela nafas panjang karena hati berdetak cepat: menyaksikan videonya yang diunggah disejumlah sosial media seperti Instagram. Dengan caption yang mengatasnamakan Tuhan, aku ngga ngerti, apa di motif dibalik mendokumentasikan dan menyebarkannya ke banyak orang. 

Kita digiring untuk ingat Tuhan, tapi lagi-lagi kita melupakan jalan untuk bersikap baik terhadap sesama. 

Dengan dalih urusan keaktualan adalah yang utama, berbekal kamera dari smartphone, citizen journalism justru semakin menjadi momok mengerikan karena tidak dibekali dengan etika dan kebenaran berita. Entah berupa kebanggaan atau sekedar cari sensasi doank, eh ini lho aku disini menyaksikan trus aku lho berhasil ngerecord. Padahal dalam etikanya, setiap berita harus melalui verifikasi. Ya, menjadi journalist ngga segamblang kamu ngomong dan membusungkan dada. Mereka harus siap dengan segala resiko, terutama efek kepada korban dan orang-orang terdekatnya tentu saja.



Bukan tidak mungkin kalo hampir semua orang sudah memakai smartphone zaman maju ini. Semudah sentuh layar: upload, share, jadi bahan berita anget, dan secepat kilat menjadi panasnya kolom komentar.
Asli, aku makin bingung, inikah yang diharapkan pada pemburu dan pencari berita di sosial media. Berkali-kali aku berusaha memungkiri bahwa ini efek buruk dan sudah lazim di era postmodern. Dan berkali-kali juga aku jengkel pada ketidaksiapan dan sikap gegabah orang.

Sorry kalo akhirnya aku gondok karena sikap para komentator yang bisa ngebunuh hati orang.

Kalian yakin dengan video bunuh diri yang tersebar luas itu bisa bikin semua orang berpikiran: ayo kita sama-sama ingat Tuhan dan bunuh diri itu dosa besar.
Alih-alih mengambil hikmah, komentar makin lama makin panas gara-gara muncul sumpah serapah. Perang psikis pun ngga berujung ke hal yang solutif.

"Ya kan itu tujuan utamanya, kalo ada yang salah paham itu karena masing-masing orang berbeda"

Oh, benar.
Tapi saat kalian ngeles seperti itu, harusnya sadar kalo media memang butuh filter. Mau kamu blur foto korban sekalipun, itu ngga menghalangi orang untuk semakin ingin tahu. Ingat, imajinasi dibalik foto yang disensor itu lebih ganas lho.

Satu lagi.
MEDIA BISA JADI ALAT PROPAGANDA.
Jadi, kita ngga bisa bersifat seenaknya dalam menyebarkan berita.

Kasarnya deh, iya kalo kamu well educated, kamu berpikiran terbuka, kamu benar-benar merasa itu ngga baik.
Kita ambil hikmahnya.
Tapi gimana dengan orang yang berpikiran sempit?
Yakin malah ngga menjadi blunder dan bikin orang yang melihat justru malah mempunyai pikiran untuk niru apa yang sudah divideokan?
Atau jangan-jangan kalian bangga kalo akhirnya banyak yang ngebully korban bunuh diri.

Sungguh ngga punya empati.

Media itu harus berimbang, harus difilter supaya masyarakat ngga menelan mentah berita yang sudah didapat.
Sudah berapa cerita tentang anak-anak yang ikutan jadi brutal gara-gara lihat adegan kekerasan.
Sudah berapa kali ada niru yang nangis-nangis di shower kamar mandi karena patah hati.
Sudah berapa banyak menertawakan fisik seseorang sebagai bahan becandaan.
Sudah berapa foto yang lalu jadi sarana adu domba.

Oke, oke, aku ngga akan kasih banyak teori kuliah di sini. Aku masih minim materi, makanya pengen kuliah lagi.

Sebenernya, ngga bisa dihitung lagi suamiku bilang "sudah, ngga usah dilihat" ketika aku kepo tentang video orang bunuh diri. Turut menjadi kru Film Dokumenter Aja Nglalu di Gunung Kidul menjadikan dia bijak menyikapi kasus bunuh diri. Dia benar-benar merasa segala sesuatu yang berkaitan dengan hal negatif, harus dibatasi. Karena semua hal negatif yang terus menerus kita bahas, membuat kita makin terbelenggu hingga akhirnya kita ngga sadar telah membuat semuanya menjadi bias. Antara kita menyalahkan dan membenarkan.

Banyak benarnya ketika dia lantang mencegahku turut kepikiran kasus bunuh diri yang marak terjadi. Kru film dokumenter kami sempat merasa capek luar biasa dan ikutan paranoid terhadap apa yang mereka kerjakan. Padahal mereka hanya sebatas membuat film dokumenter dengan cara observasi. Melalui unsur visual observasionalisme reaktif, film berjalan dengan energi dari lakon-lakon untuk mencegah bunuh diri. Semangat luar biasa yang tidak mudah didapat dan ada karena dilakukan dengan berbagai pendekatan.

Lalu kami sengaja mendatangkan psikolog guna membuat semua ini menjadi logis dan bersifat solutif bagi warga. Psikolog sangat meminta kru untuk membatasi diri tidak turut campur secara dalam dan membuang pikiran buruk yang dikaitkan dengan mitos. Ya, mitos yang dianggap terlalu kuat itu bisa merasuki jiwa dan raga lho, hingga kalo kita lengah dikit aja, akan menjadi fatal. Psikolog mengungkapkan, kalo ada yang menganggap bunuh diri itu sebagai hal yang lumrah, bukan tidak mungkin dia akan menjadi Suspect atau korban selanjutnya.

Dalam menyikapi tindak korban bunuh diri, seharusnya kita bukan menjadikan hal tersebut sebagai bahan becandaan. Karena sama sekali bukan sesuatu yang lucu dan harus ditertawakan.
Dan yakinlah, bahwa omongan itu bisa juga sebagai doa. Sekali kamu kelepasan bicara tanpa kamu pikirkan terlebih dahulu, anggap saja ada yang mengamini, semua bakalan bisa terjadi.


Salah besar kalo ada yang menganggap orang yang bunuh diri minim iman. Ada kok, seorang haji bunuh diri padahal sholatnya khusyuknya bukan main.
Salah besar kalo alasan bunuh diri karena ngga mengenyam pendidikan tinggi. Ada kan mahasiswa mengakhiri hidupnya karena skripsi.
Salah besar juga kalo kalian menganggap faktor ekonomi sebagai faktor utama. Chester Bennington nyata mengakhiri hidupnya.

Bunuh diri tidak punya satu dua alasan tepat.
Iya benar, bunuh diri biasanya karena depresi, tapi bukan berarti angka bunuh diri tidak bisa dikurangi.
Mencegah bunuh diri itu bukan dengan cara memberi punishment bertubi-tubi lewat komentar yang pedasnya ngga ketulungan.
Membuat efek jera supaya orang lain tidak melakukan hal yang sama bukan dengan cara mencela tiada habisnya.
Doktrin yang dibuat justru malah membuat orang tertekan.
Sekali lagi, mencegah dan menyikapi bunuh diri bukan dengan cara sarkas seperti itu.
Karena sakit hati yang diderita bisa jadi beralih ke keluarga yang ditinggalkan. Sudah ditinggal bunuh diri, pun kudu dengerin caci maki.
God please help them strong.

If you dont want to be kind, please be quite.

Aku bukannya setuju dan menganggap bunuh diri bukan dosa. Toh, agama mana yang mengajarkan umatnya untuk mengakhiri hidupnya sendiri? 
Aku tahu dan paham. 
Depresi itu sering bikin nyawa melayang. Kudu banyak banyak mendekatkan diri pada Tuhan dan berbagi kepada sesama.
Masalahnya, iya kalo kita punya tempat sharing dan punya pelampiasan agar emosi dapat diubah menjadi energi positif. Kalo tidak, apa kamu menyalahkan orang disekitarnya. 

Please keluarlah dari pemikiran dalam lingkaran setan ini. 

Hal yang mungkin perlu kita segera lakukan adalah meningkatkan kepekaan terhadap diri sendiri dan lingkungan di sekitar kita. Ngga usah muluk-muluk dan komentar macam-macam. Jangan sampai sikap yang udah kita perbuat menyudutkan orang dan bikin orang depresi. Jaga sikap dan hati. Menganggap bunuh diri adalah hal yang wajar dan hanya untuk bahan becandaan doank, itu bakalan bikin kita merugi. Kalo kita ngga bisa sedikit saja berempati, harusnya kita takut pada diri kita sendiri. Kemana perginya rasa berbagi yang dapat menguatkan rasanya saling mengerti. Upaya pencegahan ini memerlukan campur tangan bersama dari berbagai pihak. 

Pertanyaannya, maukah kamu berpikiran positif untuk dirimu sendiri dan orang-orang disekitarmu?
Share
Tweet
Pin
Share
4 komentar
Pernah ngga kamu merasa eneg sama postingan temen kamu di media sosial padahal sebelumnya, hubunganmu sama dia baik-baik aja?
Atau pernah ngga kamu gondok tingkat dewa ketika udah ngobrol enak tapi malah mlipir ke politik yang sering bikin debat kusir?
Trus pernah juga ngga punya kasus sama temen segenk dan udah case closed tapi masih juga dibahas mulu?

Kalo iya, kamu ngga sendiri. Mungkin kamu adalah satu diantara sekian ratus ribu orang yang sedang gundah gulana menghadapi kelanjutan status pertemanan. Mau digimanain nih enaknya? Tetep temenan atau udah sampai sini aja?
Sebenernya wajar kok kalo kita ngga satu pikiran karena kondisi masing-masing orang kan berbeda. Ngga ada yang sama. Sayangnya, seperti kalian juga tahu, yang sering terjadi belakangan ini, kebanyakan orang memaksakan semua berpikiran sama.  
Berteman itu emang gampang gampang susah. Tiap kehidupan orang punya lingkarannya sendiri, entah nanti terhubung sama siapa, yang jelas lingkaran itu berputar seiring berjalannya waktu. Kalo kata orang bijak sih, teman adalah seleksi alam. Makin kita banyak bertemu orang, makin banyak pula terjalin pertemanan.
photo credit: Chandra Pradityatama
Dari dulu aku punya banyak banget temen, nyaris semua deket. Mulai yang rangking satu, si ekstrovert, si tajir melinting, si playgirl, si tukang adu domba, si temen jadi demen, si apalah sebut coba sebut, kayaknya aku punya temen yang semua sifatnya berbeda deh. Aku seneng mereka mau temenan sama aku yang galaknya super pedes, tapi giliran becanda, ngga ada matinya. Kenapa aku bisa berteman sama banyak karakter orang? Simple aja sih, mereka bilang, aku selalu siap sedia dan pendengar yang baik.

Aku punya temen kecil dari SD just because temenku ini anaknya temen mama. Kami berbeda keyakinan, tapi asiknya punya selera sama. Dari lagu, tontonan kartun sampe guru favorit. Sampe sekarang kami masih sering kontak kontakan dan sharing tentang anak. Pembahasannya ringan, ngga pernah sekalipun kami bertengkar.

Tapi ada juga temen yang aku benci. Jadi pernah punya temen SMA yang kalo di sekolah songongnya minta ampun padahal di rumah kondisinya memprihatinkan. Dulu aku sering diantar jemput Papa, kadang pake motor, atau bareng nganterin Mama sekalian pake mobil sedan, ngga jarang juga diantar pake mobil barang! Temen aku happy abis kalo aku dianter pake mobil kinclong, sedangkan kalo pas Papa pake mobil barang, dia sama sekali ngga mau nebeng dan mending ngangkot jauh lebih bergengsi. Ya, dia merasa ngga level kalo kudu duduk barengan tumpukan majalah dan koran.
Lagian Papa juga sih, sengaja ngetest aku malu atau ngga dianter pake mobil yang masih untung bisa sampe tujuan. Orang udah tahu anaknya ngga punya malu. Yang terjadi, justru malah temenku ngga mau deketin aku lagi CUMA GARA-GARA MOBIL BODONG. Ish, gitu amat ya. Iyaaa, nyebelin kan. Trus bikin aku berpikiran oh, gini toh cara dia berteman. Macam ngga ada temen lain yang mau temenan sama aku aja, lebih baik aku jauhin aja lah daripada makan ati. Tapi nyatanya aku harus banget tiap hari ketemu karena tetanggaan dan satu sekolah. Jadi kita masih temenan walopun lalu aku batasin bergaul dengannya.

Makin bertambahnya usia, aku makin seneng berteman sama siapa aja. Pas aku kerja, punya banyak temen yang gesreknya level ngga tahu diri. Bayangin, foto wajahku diedit-ditaruh di badan macem sosok tuyul barengan temen-temen yang lain. Pernah juga diedit pake tema REOG PONOROGO yang ngakak deh loe ngakak aja. Dikira aku spesies baru apa?!
Parahnya, foto tersebut di upload di fesbuk, wadah dimana temen campur sodara campur murid SMK bahkan orang tua ada di situ semua. Apa ngga mampus? Aku cuma hell yeah, ikutan ngakak aja deh. Ngga ada gunanya aku marah-marah. Toh yang ngedit foto itu temenku cowok, kalo urusan ngebantu aku nomor satu. Mana tiap hari juga bakalan ketemu lagi. Trus aku cuma bisa nganggep itu sekedar guyon dan aku balas ajalah, biar gayeng sekalian. Ngga kalah sadis deh ngedit fotonya, image temenku yang tadinya terkesan garang berubah 180 derajat menjadi sosok keibuan dan aleman. *aleman apaan sih bahasa indonesianya?* *manja kali ya*
Perang edit foto itu sempet marak sekitar tahun 2012an, mau tahu? Cari gih di fesbukku yang fotonya tag-tag an dari temen. Parah beut pokoknya.
Aku simpulkan deh, teman yang asique itu ketika kita becanda ngga usah bilang: maaf becanda. Soalnya sekarang udah jarang kan yang asique. Huhuhu. Kemana perginya selera humor mereka.

Berteman adalah salah satu hal paling menyenangkan dalam hidupku. Makanya aku kadang ngga ambil pusing kalo ada yang kurang sreg di hati. Kalo udah ngga nyaman, biasanya aku langsung ngomong dan nyerocos biar semua clear. Ngga banget deh disimpen di hati. 
Semua tahu aku galaknya melebihi Leily Sagita (itu lho, artis yang biasanya berperan sebagai antagonis). Ada beberapa orang yang mungkin sakit hati juga dengerin omonganku yang ceplas ceplos, aku maklum, dan ngga sungkan minta maaf. Abis itu paling baikan lagi. Nah, kayak gitu lingkaran pertemananku. Semua tampak baik-baik aja karena aku berusaha banget menjaganya.

Saking banyaknya temen, aku pernah lho ngerasa gini, kok aku ngga punya sahabat yang deket banget sih. Sahabat yang kayak di film film itu lho, yang kalo tiap minggu ngumpul dan ngrumpi sambil instastory dan pamer di IG ala ala squad. Temen tapi pamer. Hahaha.
Ngga, aku apa adanya kok. Aku mau berteman sama siapa aja asal kita sama-sama asik. Asal kita tahu becanda pada tempatnya, dan saling mengerti kondisi. 

Teman yang baik itu tidak merubah siapapun diri kita
Kalo merubah kebaikan it doesnt matter. Yang aku maksud misalnya, kita punya temen tajir, mau ngga mau kita ikutan selevel. Parahnya, kita masih minta duit orang tua, padahal orang tua bukan orang bermewah diri. Hal kayak gitu sering terjadi kan di sekitar kita? Aku pun pernah, semacam dipaksa biar ikutan berada, tapi aku kekeuh karena seadanya. Kamu masih mau temenan sama aku ngga, kalo ngga aku ngga keberatan juga. Tapi ingat, aku masih ngangget kamu temen ya. Siapa tahu nanti kamu butuh bantuan. Hahaha.

Teman yang baik itu saling menghargai privasi
Tanpa kalian sadari, sebenernya, temen juga harus dibatasi. Pernah ngerasa ngga kok temen kita ngga mudeng dan komentarnya ngga sesuai harapan? Curhat itu perlu biar kita ngga budreg mikir sendirian. Tapi kudu dibatasin juga cuy, demi kebaikan bersama. Ngga mungkin donk temenmu jadi tahu borok keluargamu. Ngga sopan donk kalo temenmu jadi ikutan tahu rumah tanggamu. Yang biasa terjadi, kalo misal bertemen terlalu deket banget, malah bisa jadi musuhan. Trus abis itu dendam dan ngomongin kejelekan di belakang. Udah deh, ngga usah sensi, banyak kok yang kayak gitu.

Teman yang baik itu tidak cuma sekedar ada
Ya donk seneng banget ngelihat temen selalu ada buat kita. Tapi giliran mereka punya keluarga, dia kayak punya dunia berbeda. Jelas itu. Apalagi kalo udah masuk ke rumah tangga dan punya anak. Prioritas utama tentu adalah keluarga. Bagi yang masih single, mungkin ngerasa ah kok ngga asik lagi sih. Padahal, siapa tahu, si temen di rumah lagi rempong ngurus anak yang lagi belajar jalan dan hobby berantakin rumah.
Temen yang baik itu ngga cuma bersedia dateng kok. Aku punya temen deket yang ngga dateng ketika nikahan, gara-gara hamil gedhe dan mepet HPL. Abis nikahan aku datengin mereka dan makan bareng di rumahnya. Ngasih wejangan wejangan pernikahan dan nanti gimana punya anak. Temenku ngga dateng, tapi spiritnya buatku kenceng. Aku tahu kemana harus curhat kalo lagi buntu. 

Kalo kamu berpendapat, kita kudu berteman dengan orang baik supaya kita dapet energi positif, itu ngga sepenuhnya salah. Lingkungan yang baik mempengaruhi kehidupan kita. Timbulnya keinginan untuk berbuat baik, salah satunya harus didukung penuh oleh orang-orang di sekeliling kita. Banyak kan orang yang lantas berubah semakin dia dewasa. Maka ngga jarang kalo kita lihat beberapa orang pilah pilih teman. Siapa sih yang ngga pengen hidupnya nyaman dan sentosa. 

Trus kalo kita ketemu pembully dan ketemu orang yang membuat kita tertekan plus ngga nyaman, simple, itu BUKAN TEMAN. Disini aku bahas teman, orang yang deket sama kita.

Even aku masih temenan dengan beberapa orang yang aku rasa ngga cocok, tapi aku juga berusaha agar arah hubungan ini tetep baik-baik aja. Ngga melenceng kemana-mana. Kalo udah ada obrolan yang dirasa ngga nyaman, sudahi aja. Lebih baik aku cari topik bahasan yang aman, kayak gimana kabar keluarga, kamu pake lipstick apa, atau yang ringan-ringan gitu deh.

Kenapa aku masih mempertahanan pertemanan, karena jujur, banyak hal yang ngga disangka harus mempertemukanku dengan mereka. Kamu percaya ngga, di saat aku butuh semacam statement dari beberapa orang tentang sekolah anak, justru temen-temen yang aku anggap ngga cocok, malah sudi meluangkan waktunya untuk memberikan idenya. Statementnya itu harus banget di record karena ngga nyukup waktu buatku untuk datengin satu-satu. Caraku cuma minta tolong ke grup WA dan jreeeng, ternyata banyak yang respek dan record satu-satu. Jawaban mereka bervariasi dan bikin aku seneng banget, mereka membantuku dengan ringan hati. Damn aku ngerasa, oh ternyata aku salah, aku membutuhkannya. 

Aku memang ngga pernah pilih teman, tapi lebih ke pilah teman. Bedanya? 
Pilih itu kita sengaja memihak dan mempertimbangkan, sedangkan pilah berarti membagi. Berbeda donk ya. 
Simplenya gini deh, aku ngga bisa memilih teman karena aku dihadapkan pada keseharian yang mengharuskan bertemu dengan mereka. Alias aku ngga punya pilihan lain selain berteman, mau ngga mau kan ya. Masak mau judes-judesan sih, ngga mungkin donk. Nanti disekitar kita malah ikut kena imbasnya. Jadi, aku tetep berteman tapi aku juga punya batasan. Solusi mudah.
Sedangkan kenapa aku lebih memilah teman? Ya karena banyak banget kegiatan dan pemikiran yang mengharuskan kita memilah. Contoh nih, aku pernah ngajakin temenku nonton band Grunge sedangkan seleranya Armada abis. Yang ada aku sibuk teriak nyanyi nyanyi si temenku sibuk mainan ringtone. Hahaha. Ya keleus, zamanku SMA belum ada handphone canggih bisa sosial mediaan kayak sekarang.
Trus aku juga tahu kemana aku kudu curhat masalah anak, kemana aku cari tahu tren make up terbaru, kemana aku kudu brainstroming soal film terbaru, de el el. Teman itu aku pilah supaya sama-sama enak. Yang ngajak ngobrol enak, yang diajak ngobrol nyaut, obrolannya asik.

Kondisi keseharian kita yang bisa berubah bisa menyebabkan perubahan kita dekat sama siapa juga. So, sekarang ini, teman terbaikku, ya suamiku. Sebelum pacaran, kami sering satu tim dalam bekerja, best partner ever kalo istilah kerennya. Dia selalu ada di saat tergentingku dan membuatku bahagia walopun makan tempe seadanya. Penyemangat disaat aku lemes kuadrat. Mau direpotin bikin header blog, foto shoot, sampe brainstrorming kalo aku lagi buntu ngga ada ide buat nulis skenario. Ketika aku sudah memutuskan untuk berumahtangga, sejak saat itu pula aku menyadari bahwa suami adalah teman terbaik yang pernah ada. Dari temen nganter anak, pilih menu masak, dan bikin anak. Hahaha. Paling kalo butuh privasi aku disuruh creambath dan spa biar mukaku ngga mecucu mulu.

Point yang pengen aku sampaikan di sini adalah berteman itu ngga kudu muluk-muluk harus sama. Kalo ngga suka ngomong aja tanpa harus memaksa.
SAY NO memilih teman, and SAY YES memilah teman.
Share
Tweet
Pin
Share
6 komentar
Belum sekolah beneran juga sih sebenernya, walopun istilahnya pake embel embel Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD). Ada juga yang menyebutnya Kelompok Bermain (KB), yang memang dibuat khusus untuk anak-anak usia 2 tahun hingga 4 tahun kurang. Pre school ini sifatnya masih santai, ngga kudu tiap hari masuk dan biasanya berdurasi 2-3 jam an. Salah satu manfaatnya adalah membiasakan anak disiplin sebelum memasuki usia sekolah yaitu Taman Kanak-kanak. Karena TK saat ini, sudah masuk dalam pendidikan wajib. Btw, mulai tahun 2016 kemaren, PAUD termasuk wajib juga ya, correct me if im wrong.

Sebenernya, aku masih ngga ingin menyebut anakku sekolah, wong usianya aja baru 2 tahun lebih 4 bulan. Usia unyu-unyu yang harusnya bermain bermain dan bermain. Kalo sekolah kan kesannya formal banget, kudu pake seragam dan anak-anak kudu taat aturan. Okelah, bagi anak diatas lima tahun mungkin bisa, tapi balita, apalagi seusia Alya, aku ngga yakin deh.

Jauh sebelum kami memikirkan sekolah, kami udah kalang kabut sama sifat Alya yang moody abis. Dia ngga bakalan malu mengungkapkan ekspresinya yang gak jelas pake banget. Misalnya aja kalo dia seneng, dia bakalan teriak lebay. Dia denger musik, dia bakalan joged sambil tertawa. Dan parahnya kalo pas sedih, nangisnya bisa kedengeran hingga radius 3 kilometer. Memekakkan telinga sodara-sodara...

Aku sendiri udah biasa sih dalam ngadepin Alya yang tenaganya lebih. Cuma kalo dia ketemu orang yang baru dikenal dan menemukan situasi baru, orang lain jelas bingung lihat polahnya. Gimana ngga bingung, moodnya naik turun, bisa nangis dan 2 detik kemudian bisa ketawa kalo perhatiannya udah teralihkan. Makanya, ngga jarang kami dapet saran: "udah... sekolahin aja"


Bolak-balik aku nyari sekolah yang cocok bagi kami, baik dari segi waktu, jarak dan materi tentu aja. Di sekitar tempat tinggal terdapat beberapa pilihan PAUD yang rata-rata dari yayasan swasta. Berbagai kemudahan serta tingkat kedisplinan ilmu yang ditawarkan, tapi aku dan suami kekeuh menyekolahkan Alya hanya untuk belajar bersosialisasi dulu. Faktor lain mengalir aja toh dia bakalan belajar dari kesehariaannya. Aku ngga mau menekan cara dia belajar. Belajar kan bisa dari mana aja. Buktinya pas kerja malah lebih banyak belajar daripada praktek kuliah.
Hahaha, ngeles.

Setelah cari kesana kesini, kami menemukan PAUD yang jarak tempuhnya cuma lima menit pake motor. PAUD ini sifatnya umum walopun masih berdasar agama Islam. PAUD ini ngga mewajibkan siswanya dateng tiap hari, ngga ada seragam dan alat-alat sekolah khusus.

Ibu kepseknya sempat bilang ke aku kalo di situ rata-rata orang tuanya menengah ke bawah. So, what? Aku cuma senyum-senyum aja sih sambil bingung karena apa bedanya hahaha. Wong mereka banyak yang malah punya sawah ama kebo. Aku bisa sombong apa coba.

Menyekolahkan Alya bukan karena pengen keren dan kekinian. Kalo kalian udah baca tentang keluh kesahku dalam ngurus anak, ini merupakan postingan jawaban dan solusi agar memudahkanku bekerja di rumah. Keputusan menyekolahkan Alya ini makin kuat karena banyak yang mendukung dan mengerti bagaimana keseharian kami di rumah. Beberapa orang bahkan sempet nge DM aku supaya aku kuat dalam bekerja sambil ngasuh anak. Makasih ya, aku anaknya gampang terharu. Aku seneng banget lho, haha.
So, ini alasanku mengapa memilih mengikutkan anak di PAUD, antara lain:

1. Sosialisasi
Di lingkungan komplek, Alya dikenal sebagai anak yang suka kegiatan di luar rumah. Dia sering nyari temen-temennya, sementara mereka sudah pada sekolah. Jadi ketemu temennya cuma pagi dan sore doank.
Dia sekarang punya sifat dominan, ini punyaku, punyamu punyaku. YHA, pokoknya sering berakhir aku minta maaf sama tetangga. Aku percaya, dengan mengenalkannya pada banyak sifat orang, dia bakalan mengerti kebaikan dengan sendirinya.

2. Melampiaskan energi
Sebenernya sikap Alya ini antara tenaga lebih tapi gampang capek juga. Permasalahannya, kalo energinya ngga tersalurkan, bakalan tantrum dan sikapnya gaje. Kalo udah gaje, mama papanya yang jadi pelampiasan mood jeleknya.
Kami yang bekerja di rumah ngga mau donk tiap hari ribut. Kalo bisa ciptakan suasana nyaman di rumah deh. Terbukti banget sampe rumah Alya disiplin tidur siang which is dia udah capek. Begitu dia bangun lagi, giliran dia mainan sama tetangga. Yas, jadi ngga bosen kan.

3. Alternatif Daycare
Di Magelang, daycarenya jauh dari rumah. Huhuhu. Sungguh bukan solusi cerdas kalo aku nitipin Alya ke daycare alias nanggung banget. Aku kudu menempuh waktu 40 menitan ke kota dan waktu yang ditawarkan dari jam 9 sampe jam 4. Belum dengan harga yang mahal karena ngga ada pilihan lain.

4. Punya panutan
Sering kejadian ngga kalo anak itu lebih manut sama orang lain ketimbang sama orang tuanya sendiri. Nah! Alya kayak gitu tuh.
Misalnya, kemarin Ibu Guru bilang kalo anak-anak minum es, nanti batuk. Eeeeh beneran lho, pas ada iklan es krim atau penjual es lewat, dia kekeuh ngga mau karena tahu kalo bikin batuk. Hahaha, padahal kalo aku yang bilangin bisa ngeyel tuh.

5. Mengembangkan kemampuan anak
Udahlah, kalo ini aku percaya pada guru-gurunya deh, orang yang ngajar lebih berpengalaman kan yak. Hahaha. Ya, walopun ada beberapa metode yang aku sendiri ngga suka dan berbeda dalam cara mengajarkan. But its oke karena setidaknya punya misi sama.

Kemarin hari pertama Alya masuk sekolah. Udah pada bisa nebak donk ya, yup dia nangis. Nangisnya pake teriak. Beruntung dia bisa diem karena dikasih Ibu Guru topi dan mainan, jadi dia nurut mau masuk ke kelas.

Naaah, tadi ini udah hari kedua Alya sekolah, dan ditungguin kami masih formasi lengkap. Aku pikir dia bakalan gampang diatur karena udah kenal, jadi aku suruh Suami menjauh agar melatih kemandiriannya. Ternyata dia masih nangis minta deketan sama Papa dan minta pulang. Hadeh, bingung juga ngadepinnya sampe aku dilihatin Ibu-ibu yang ikut nganterin anaknya ke sekolah. Sambil bisik-bisik pula! Yakin deh, mereka pasti ngatain aku ngga teges, aku jarang ngajak sosialisasi, aku yang salah pokoknya.
Lu kate aku ngga denger apa?!
Dasar emak-emak!
Lha aku kan emak-emak juga. Gimana sih.
Eaaaak dilema.

Walaupun hampir give up dan udah deh, besok aku ngalahin pilih daycare yang jauh aja. Karena aku sadar Alya emang belum siap sekolah, belum bisa disiplin, masih ingin main. Udah susah bujuknya, malu pula. Tapi lalu aku kuatkan diri, kalo aku ngga bisa lewatin ini sama aja aku nyerah. Aku ngga lebih buruk dari pada yang cibirin aku.
KAMI KUDU SAMA-SAMA KUAT.

Dengan cara yang pelan-pelan banget, dibujuk dengan mainan, akhirnya Alya mau membaur walopun polahnya masih lari kesana kesini. Dan senengnya lagi, dia inisiatif nyanyi sendiri diikuti guru dan temen-temennya. Lalu dia juga mau berbagi bekalnya. Widih leganya...
Aku yakin kok, kedepannya Alya bisa jaga diri dan bersosialisasi. Kalo aku nurutin melulu kemauan Alya dan lengah dengan sikap tantrumnya, justru bikin dia makin keras dan ngga mau tahu. Aku juga ngga bisa galak dan marahin anak didepan umum karena aku ngga mau dia trauma lantas malu bergaul. Aku kudu ikutan belajar dan kompak biar suasana nyaman.
Lain kali aku bisa bawa laptop deh sambil nungguin anak daripada ghibah, hahaha.

Atau kalo bisa aku tinggal, pasti kerjaan jadi amaaan, aku ngga perlu jadi kelelawar lagi nyelesaiin deadline tiap malam. Dan yang penting, Alya ngga bosen mulu di rumah, aku juga punya waktu untuk ngurus kerjaanku. Lalala senangnya hatiku.
Share
Tweet
Pin
Share
6 komentar
Sejak Alya lahir, aku selalu ngerasa bahwa passionku selama ini cuma jalan di tempat dan nyaris stuck. Kayak aku ngga punya banyak waktu dan mengisi hari-hariku dengan kegiatan itu itu aja. Padahal, dalam hati kecil, aku masih ingin lho melanjutkan jenjang S2, mengejar impian kerja di luar negeri, dan masih ingin namaku terpampang di beberapa credit title lagi. 
Muluk muluk? Ngga sih, aku selalu yakin bakalan bisa dapetinnya. 
Kan katanya, nothing impossible when we believe. Ya ngga?
Walopun pada akhirnya, hari ini aku nulis di sebelah meja setrikaan, aku nulis malam-malam setelah anakku tidur lelap, aku bersih-bersih rumah dulu sebelum aku tidur malam. Ya, aku sadar, aku telah menunda passionku sementara ini demi mendedikasikan diri untuk keluarga kecilku. 
Klasik sih, tapi logis. 
Dan tenaaang, aku ngga bakalan curhat tentang penyesalan. Aku cuma pengen cerita bahwa semua orang punya ceritanya sendiri. Semua punya goalsnya sendiri dan mungkin justru orang lain yang cemburu dengan hidupmu.
Kayak ceritaku kali ini. 
Aku ngaku deh, sering banget envy ngelihat beberapa temen sukses membuat film layar lebar dan mendapat penghargaan bergengsi. Hatiku jadi nyeri ngelihat ada juga yang bisa kuliah sambil ngurus keluarga di luar negeri. Dan aku gemes banget begitu tahu ada temen yang sanggup beli mobil mahal karena sudah terlalu mapan. 
Ngga jarang kok aku selalu nyengir dan mbatin semprul ik!
Kamu pikir aku ngga pengen apa?
Kalian pikir aku its okay wae mas?
Jujur, aku iri. 
Iri setengah mati.

Aku hampir tiap hari stay tune di rumah, masak, momong anak, gantian kerja di depan layar. Ini ngelihat timeline penuh dengan kebanggaan akan prestasi. Aku? Udah bisa nonton bioskop aja udah istimewaaa.
Serius lho guys, aku ngga bohong. 
Namun lambat laun, kegalauanku berada di rumah makin sirna karena aku jadi terbiasa. Aku nganggep semua ini udah jadi tanggung jawab. Apalagi aku punya suami seorang freelancer, jadi tetep bisa saling back up kerjaan rumah tangga. Capeknya ilang kalo kita udah becandaan.
Kebiasaan yang nantinya bernama keberuntungan itu aku ciptakan dengan perjuangan untuk tetap menjaga komitmen. Awalnya bener-bener susah gilak. Bayangin aja, aku terbiasa dengan karir, dan aku kudu menerima kenyataan bahwa sekarang jadi ibu rumah tangga.
Yha, sekali lagi, semuanyaaa???
IBU RUMAH TANGGA.

Aku bagaikan makhluk goa, yang sedang berada di masa aku harus konsen sama keluarga. Bagiku yang introvert, ini masalah besar. Ngga bisa sharing dan suruh seharian diem di rumah, aku bisa mati kutu sendirian. Beneran lho, kalo aku jarang ketemu temen-temen, pasti aku langsung ngerasa sedih, ngerasa ngga ada tempat buat berbagi. Sekarang paling banter nih, tiap hari bales-balesan chat di WhatsApp. Kalo lagi free, sekali nongkrongpun juga ngga bisa lama-lama. Naaah, tapi aku punya acara asik yang sudah beberapa kali dilakukan untuk makin mengakrabkan diri sama temen, yaitu nginep di rumah, gantian.

Beberapa waktu yang lalu temenku nginep di rumah. Otomatis melihat kegiatan dan rutinitasku semuanya. Gimana rempongnya ngurus rumah, gimana masak, nyuci dan momong. Semuanya bergantian dengan suami. Nyaris kayak ngga ada duduk dan menghela nafas. *Halah lebay.
Yang terjadi, temenku tampak shock karena suamiku rajin dan mau mengerjakan yang biasa cewek lakukan.
Dan temenku dengan tegas bilang "aku iri sama kamu"
Ngga sampai disitu, dengan segala keringantanganan suamiku, dia menyimpulkan bahwa aku ini malas. Aku pemalas.
JENG JENG.
Bak disambar petir plus diambrukin Dewa Thornya sekalian, aku yang "wtf, how come?"
I feel a little annoyed. 
Semacam, semua bantahanku pasti bakalan salah. Lho iya kan.

Misal nih, aku bilang: "Iya donk, siapa dulu...suamiku..."
Paling dijawab: "Ih kok tega sih, kasihan suaminya. Untung masih mau"
(YHA, aku nyembur kolam saja)

Trus kalo aku bilang: "Ah, ngga kok, dia kayak gitu kalo ada temennya doank. Tiap hari mah nyantai"
Paling dijawab: "Lha itu tadi aku lihat dia punya kepekaan tinggi lho. Jarang ada suami gitu. Harusnya kamu bangga"
(YHA, aku mencekik leher sendiri saja)

BUT, in fact, aku jawab: "Ya emang aku gantian sama suami karena kita udah komitmen"
Dan dijawab: "Kamu ngga bisa gitu-gitu banget donk yos. Dia kan laki laki, ngga seharusnya dia begitu. Dia harusnya begini"
(YHA, aku modar saja)

Mau ditelaah dari segi agama, budaya, semua bakalan bilang SEHARUSNYA kan aku yang kudu lakuin itu semua. AKU, masak suamiku?

*Tuhan, kumohon, aku harus kuat menghadapi ujian yang gini amat sih.

Aku kira iri itu melulu dengan kondisi yang wah, sama sekali ngga kayak gini. Aku lho, dicemburin? Apaan coba?
Aku mau cuek, tapi makan ati juga sebenernya.
Iri hati kok cuma sama receh gini.

Pengen deh teriak, "Hallooo... Aku udah berusaha berdamai dengan egoku sendiri, lhooo..."
Aku udah bersedia menjadi apa yang tadinya ngga aku suka. Aku tidur larut dan harus bangun pagi. Aku udah bisa mengubah rasa dengki menjadi dorongan biar aku kuat, eh kok malah dibilang aku ini pemalas. 
WOY!

Ngga ngepost foto anak bukan berarti aku ngga sayang anak.
Ngga update berita bukannya ketinggalan info.
Bikin postingan #resepsuami juga bukan berarti aku ngga masak.

They just judge too quickly.
But thats not affair.

Kalo kita ngga suka sama aturan yang udah ada dalam rumah tangga orang lain, mending diem aja, merenung, apa faedahnya? Faedah buat kamu dan orang itu. Toh mereka nyaman, damai sejahtera. Mungkin kita aja yang cari masalah, trus nyakitin orang yang kamu anggap ngga sejalan.

Takaran kebahagiaan dan goals tiap orang itu berbeda. 
Si A bakalan bangga banget kalo udah kasih anak ASIX selama 2 tahun.
Si B ngerasa keren jika dia tetap bekerja.
Si C bilang kalo jadi istri itu harus nurut sama suami, biar dapet surga.
Si D kekeuh ngga nikah karena takut kalo akhirnya berpisah.
Dan si ini si itu ngga habis habis sampai Z sekalipun.
Ngga ada yang benar, ngga ada yang salah.
Tiap orang punya tingkat kebutuhan dan impiannya masing-masing. Kita ngga bisa maksa harus sama kayak apa yang sudah kita lakukan.

Saking aku bingung dan ngerasa emosi, aku pernah pesimis, ngapain juga aku ngeblog, nulis bla bla bla tentang kehidupan, tapi realitanya temenku sendiri malah bilang aku ini pemalas. Padahal tiap ngeblog, aku selalu usahakan agar postinganku asik, kehidupanku penuh hikmah. Banyak orang aku giring untuk berpendapat, oh yosa ini cuek ya, ngga dengerin omongan negatif orang.

Sayangnya, aku ngga gitu pas kasus ini.

Aku sering diem-diem sedih, mencoba mengambil kesimpulan dengan berbagai macam cibiran. Jangan-jangan bener dan pasti ini bukan becandaan doank.

Selama ini aku kira, punya suami yang enteng mengerjakan pekerjaan rumah tangga adalah hal yang LUMRAH terjadi. Mengingat aku dan suami sama-sama ikhlas hati dan sadar bahwa ini tanggung jawab bersama. Gini lho kasarnya, Suamiku juga ngga ngeluh kok, ngapain situ repot.
Suamiku suamiku, suamimu suamimu.
Aku donk, bangga sama suami.
Kamu ngga menyesalkan telah memilih suamimu?
Masak mau jelek-jelekin suami sih. Coba kalo kita yang digituin, suami mlipir curhat ke temennya trus sambat kalo istrinya itu cuma hobby minta duit aja. Nah lo! Mau dititipin dimana ini muka?
Balikin donk, ke komitmen awal, gimana cara kita berumahtangga dan bertahan agar sama-sama merasa nyaman. Kalopun aku sebel karena si suami ngga peka, aku langsung ngomong ke orangnya. Bukan malah curhat ke orang lain. Soalnya, omongan yang ngga sesegera mungkin dikeluarin kan jadinya gondok. 

Begitu aku dapet nyinyiran gini dan merasa ngga enak hati, aku segera ngobrol berdua sama suami. Ya tapi dasar dia cuek sih ya, tahu ngga reaksinya gimana?

"Ah, udah ngga usah dipikirin. Mereka ngga tahu kita"

Sesimple itu mikirnya, tapi ngga bikin aku langsung reda emosinya. Aku masih merasa harus menuntaskan semua, dan solusinya gimana. Aku juga masih sedih karena BERARTI aku berada di posisi NANGGUNG.

Aku belum sempet menggapai cita-citaku, tapi aku juga DIANGGAP bukan ibu rumah tangga yang baik.

Well, i'm so sad. Di saat sedih dan bingung kemana kudu cerita, trus yang aku lakukan adalah blogwalking. Surprisingly, its heaven. Blogging itu asik, bisa saling share, tambah temen tambah cerita. Kayaknya hampir kalo ada yang ngepost tentang cerita parenting atau life terutama, pasti bakalan aku baca.

So, i thank a lot to you guys, dengan blogwalking dan meresapi betul tulisan kalian, itu adalah salah satu cara terbaikku untuk semakin menyadari bahwa semua orang itu berbeda.

Kalo dulu aku sering ngerasa ah kok ini gini sih, ah kok itu ngga sepaham sama aku sih. Makin kedepannya aku jadi makin paham karena kalian tahu cara terbaik kalian dalam menyikapi hidup. Aku juga makin berpikir, semua ngga bakalan bisa sama.

Kita ngga bisa maksain standart yang telah kita buat ke kondisi orang lain. 
Begitu juga sebaliknya. Asas keadilan itu ada dengan melihat situasi. 

Parahnya, ketika aku masih aja sibuk misuh-misuh karena sakit hati, ada banyak temen yang masih konsiten dengan keinginannya. Mending aku pindah emosiku jadi energi positif buat ngejar lagi cita-cita yang ketinggalan.
Masa mau berlarut-larut sih?
Sekarang aku udah oke. Udah cuek, mau ngomong apa monggo. Aku anggap semua itu masukan, tapi bukan trus keharusan dan jadi beban.
Siapa tahu kamu bener.
Aku emang kurang cekatan, aku kurang giat, aku kurang capek, boyokku kudu rompal heh! Sekalian lah, biar puas ngata-ngatainnya.
Hahaha.
Aku jadi inget, dulu waktu aku hectic kerja dan masih ada yang nyinyir ama kerjaanku, aku selalu bilang,

Keep calm and prek.

Melihat kondisi sekarang dinyinyirin orang, udah ngga pantes lagi aku cengeng. Aku tetep pengen jadi yang terbaik buat keluarga, jadi panutan buat anakku.

Ingat lho, cara terbaik agar kamu menjauhi sifat iri adalah lebih banyak bersyukur. Apa yang udah kita dapat, belum tentu bisa didapat oleh orang lain. Dan yakinlah, semua orang punya kebahagiaannya sendiri.

Ah, akhirnya dibikin coretan juga ini mah. Sok atuh nyinyirin, kebeneran aku malah jadi ada bahan nulis. 
Hahaha.*bangga*


*Ekspresi ibu ini real, ngga acting. Foto diambil spontan sewaktu shooting sebuah reality show. Aku sungguh kangen shooting di lapangan. Sebuah situasi yang mencambukku keras supaya hidup berhenti mengeluh. Dan kesibukan yang terbayar indah karena aku jadi lupa 'ngomongin' orang dan punya banyak masukan dari cerita-cerita mereka.
Share
Tweet
Pin
Share
18 komentar
Ketika membaca tulisanku ini, aku harap kamu bakalan bijak, ngga usah dibawa hati, ngga usah terlalu sensi. Soalnya akhir postingan nanti, balik ke diri sendiri, kenapa kita lebih harus 'bijak' ketimbang jujur. Ya, jujur adalah sikap yang paling susah, kata omong kosong, atau jangan-jangan cuma halusinasi saja makin kedepannya. Masa sih masih ada orang jujur di dunia ini? Buat apa jujur kalo dunia dipenuhi kebohongan. Apalagi dengan didukung sosial media yang hari gini siapa sih yang ngga punya? 
Coba bilang! 
Anak SD aja gandrung, apalagi kita yang udah dewasa ini. Mana mau kalah kita sama hal-hal yang lagi hits. Karena di sosial media, kamu bisa berkeluh kesah, ketemu temen lama, sampe dapet temen baru cuma gara-gara punya kesamaan hobby. Semua bisa. Bahkan kamu juga bisa menjadi bukan dirimu sendiri. 
Parah ya? Jelas, tapi itu faktanya. Sosial media selalu punya ceritanya.
Pernah ngga kita nyetatus baik-baik saja sedangkan apa yang kita rasakan berbeda? Pernah ngga kita lebih mentingin feed instagram daripada kudu bersosialisasi sama tetangga? Atau sering ngga kamu komentar sinis, ketika disinisin balik malah jadi blunder?
Ah ngaku aja deh. Cukup katakan dalam hati aja kok. *clingakclinguk*

http://www.bodydesignbybrit.com/blog/2016/3/28/social-media-rant
Oke, kita bahas yang masih hangat di ruang lingkup kita, tersebutlah Afi, udah deh ngga usah aku jembrengin nama lengkapnya, kalian pasti mbatin dan hafal. Afi mana lagi ya kan? Lewat statusnya yang selalu menjadi pro kontra, Afi kemudian terbukti copy paste dari berbagai sumber. Mungkin si Afi ini lelah karena semua ijig-ijig berbeda padahal awalnya banyak yang memuja. Saking mungkin ngga tahu kemana kudu curhat, terakhir dia curhat live di fesbuk tentang keluh kesahnya menjadi korban bullying. 
Entah darimana bermula, video tersebut sangat cepat beredar nyaris di semua sosial media. Bukannya mendapat rasa simpatik dari netizen biar mengerti apa yang dirasakannya, Afi justru malah mendapat sejumlah opini dan cacian bertubi tubi. Parahnya, curhatan Afi tersebut diketahui plagiat lagi dari seseorang bernama Amanda Todd, perempuan Canada yang udah mengunggah videonya sekitar tahun 2012. Todd adalah korban cyber bullying yang berakhir bunuh diri. Miris sih ngelihatnya, tapi kita ngga ada yang tahu apa yang diinginkan dibalik itu. Apakah cuma sekedar omongan biar galaunya ilang, atau cari sensasi yang orang lain ngga sadar ikut populerkan. Iya, kalian mungkin beranggapan itu semua lebay, namun apakah dengan ikut membuat Afi terkenal itu bakal membuat flu singapur enyah dari muka bumi ini? Apakah video yang terus menerus kita tonton dan maki maki itu bakalan jadikan kita kaya dan bahagia?
Akui saja, ngga ada faedahnya. Yang ada kita cuma turut mempopulerkan apa yang kita benci. Lah, katanya ngga suka, ngga suka kok kepo, ngga suka kok dibagiin. Lama-lama jatuh cinta lho!

https://id.pinterest.com/pin/505318020677448139/
Ada cerita lagi tentang cinta lewat sosial media. Youtuber kelahiran malang bernama Bayu Skak, pernah kesandung cinta lewat media online. Bayu mengaku jatuh cinta pada sosok bernama Dara Fleisher Cohen hanya lewat Instagram. Wajah cantik, pintar dan perhatian ternyata hanyalah tipuan doank. Singkatnya, Bayu dibantu oleh Raditya Dika dalam mengungkap siapa si Dara ini sebenernya? Video pengakuannya ia unggah ke youtube dengan judul HATI-HATI DI INTERNET.
Bagaimana bisa, Youtuber yang pernah diajak Presiden Jokowi dalam kunjungan kerjanya tahun 2016 lalu, dengan gampangnya tergiur cinta lewat sosial media? Apa yang membuatnya tertipu? Padahal harusnya dia mengerti dunia maya lho, kan youtuber? Huhuhu. Sungguh polos deh si Bayu.

https://id.pinterest.com/explore/social-media-quotes/?lp=true
Lalu video terakhir yang jadi santer, tentang video iklan es krim yang dibuat dengan tema kerajaan ala drama kolosal nusantara, iklan ini terkesan jayus abis. Mana ditambah properti canggih kayak GPS dan Iphone yang digunakan pada salah satu adegannya. Ngga lupa pula adegan pemainnya menunggangi burung raksasa dengan gagah berani. Komplit sudah ngakaknya! Iklan yang kalian bilang jayus ini makin viral karena masuk di 9gag dengan caption I want ice cream now.
Tapi aku berpendapat lain. Alih-alih aku mencela iklan tersebut, justru waktu pertama kali lihat, aku hanya bergumam, "cerdik!"
Woooh kok cerdik sih. 
Hahaha, ngga sia-sia kan aku kuliah pertelevisian? 
Bukan masalah videografi dan teknisnya sih, namun yang harus kalian tahu, kenapa iklan ini hanya ditayangkan lewat online dan ngga masuk di televisi nasional. Kenapa iklan yang receh banget gini banyak yang nonton?
Begitu kita nonton, langsung melejit dan lekat di ingatan kita kan?
Dan dibalik itu, apakah kalian tahu sutradaranya siapa? Ah, aku yakin kamu ngga asing deh! Yup, sebutlah Dimas Jay. Serius ada yang ngga kenal?
Kalian pikir Dimas Jay orang baru di industri video tanah air? Kalian pikir Dimas Jay itu sutradara ecek-ecek? Ada begitu banyak pertanyaan sebenernya. Terlepas dari statement Dimas Jay sendiri yang menyatakan kaget karena karyanya viral, mari kita tarik garis kesimpulan: Dimas Jay berhasil. 
Lah berhasil apa emang? 
Sadar ngga, kejayusan iklan itu menjadi daya tarik yang bikin orang kepo? Kalian ingat iklan MASTIN? Melejit bukan? Jadi ini adalah semacam taktik. Iklan es krim doank lho, makin hari makin banyak viewers dan bikin semua orang membicarakannya. And yes, termasuk kita disini. Hahaha. Aku bahkan ngga percaya Dimas Jay ngga sengaja bikin iklan ini yang terkesan asal-asalan. Melainkan ini adalah sebuah alasan cerdas untuk memanfaatkan sosial media. Membuat sesuatu untuk dimaki seolah-olah bernilai buruk. Padahal jauh dari itu, kontennya sukses.
VIRAL!

https://id.pinterest.com/pin/Aawnik5KXml9LgpMp7PwMT60HV7Rb9u6-0X0gVHaBTZxH7fVi6BqVxU/
Sekarang mari kita gabungkan, semua cerita diatas adalah 'korban' sosial media. Aku pakai tanda kutip karena bukan satu arti saja. Sesungguhnya kita semua emang 'korban'. Tinggal mana yang mau dikorbankan dan gimana cara mengorbankan sesuatu agar mencapai tujuan yang diinginkannya. 
Afi jelas korban, korban karena kelakuannya sendiri sesuai yang kamu bilang.
Bayu Skak juga korban, korban ketidaktahuan karena dia lagi masa butuh perhatian, sedangkan Dara datang benar-benar tepat waktu.
Dara juga korban. Dia mengorbankan status asli dirinya entah untuk berhalusinasi atau menyenangkan sifat terpendam di dirinya sendiri.
Dimas Jay? Dia menggunakan cara jitu agar banyak korban membagikan iklan ini. Timeline dipenuhi iklan tanpa harus susah susah bayar slot di stasiun TV. Dan eh, kalian pikir Dimas Jay bangga apa sama hasilnya yang kalian bilang jelek? Semrawut? Ngawur?
Hello Dimas Jay lho kok bikin kayak gitu sih. Amit-amit. In my very humble opinion, dia mengorbankan hasil karyanya yang biasanya ciamik agar menjadi buah bibir daripada hanya sekedar sanjungan belaka.
Ya, dunia maya memang terlalu menyakitkan. Tapi tiada yang bisa berdusta melebihi keyakinannya sendiri kan?
Susah lho mau jujur di sosial media. Menjaga hati dan sikap aja susahnya setengah mati. Toh, sosial media sekarang tidak sesederhana itu. Ketika kamu kekeuh bilang ngga kepo, sementara di timeline timbul berita yang ngga kamu harapkan, kamu bisa saja menjadi goyah, lalu ikutan ingin tahu. Baca kontennya, eeh ngga sengaja lihat beberapa komennya. Sadar atau tidak, kamu semakin masuk ke pusaran dan makin gatal ingin ikutan berkomentar akibat berbeda pendapat. Maka kita mengenal perang komen, twit war dan kita sedang terperangkap PSY WAR.
Kamu berbagi, kamu viralkan, lantas kamu sendiri yang ngamuk-ngamuk. Sekali lagi aku katakan, sesungguhnya kita sedang menyakiti diri kita sendiri. 
Dari fesbuk, twitter, path, instagram, whatsaap, line, handphone kita udah penuh aja rasanya. Semua punya penggemar dan daya tariknya, semua ada batas kalangannya. Ini belum juga ngomongin tentang politik, agama, suku, ras dan budaya. Berita HOAX, tanpa kroscek, status penebar kebencian, aaah, mengapa semua ini selalu diutamakan?


Aku pernah nyetatus di fesbuk seperti di atas gara-gara semua membagikan apa yang sedang viral. Ngga tahu latah atau biar ikutan beken, aku sendiri udah hampir tahap muak kok ya ini ngga bisa baik-baik saja. Semua kayak lagi marah-marah.
Oh tapi kamu jangan lantas bilang kalo aku munafik. Aku ngerti, aku dongo kalo ngomongin soal teori. Di era yang katanya modern ini siapapun toh bisa jadi seorang ahli, dan tidak ada teori yang hakiki.
Udahlah, sekarang, ambil jalan tengahnya. Kita semua sedang terjebak dalam lingkaran setan bernama sosial media. Dunia serasa ada dalam sentuhan layar doank. Kita ngga perlu tanya jalan ke orang, GPS siap jalan. Mau makan, ngga perlu repot antri, udah bisa dateng sendiri. Sosial media memberanikan diri berbicara padahal kita sedang bungkam.
Kita memang ngga bisa jauh sebentar dari handphone dengan quota internet tanpa batas. Bangun tidur, segala aktivitas, dan sampai begadang pun kita masih asik menatap layar yang urusan faedahnya belakangan. Hidup ini seolah kurang dan ampang tanpa menyentuh layar dan mengetahui dunia luar. Mirisnya, kadang kita juga kelupaan dan asik sama handphone ketika bersosialisasi secara langsung. Demi mendapatkan likes terbanyak dari mengunggah foto di dunia maya, lagi-lagi kita mengabaikan obrolan nyata.
Sudahlah, akui saja.
Tapi aku kira kita sudah cukup, cukup menjadi korban. Sekali lagi, kita semua korban. Kalo masih ingin bermain di dunia maya, menggunakan sosial media, ayolah, kita harus lebih bijak. Pentingkan mengakrabkan diri secara nyata lewat sentuhan di sekitar kita. Buat sesuatu yang candu ini jadi lebih berguna. Agar kita ngga menyesal nantinya.

https://id.pinterest.com/pin/259590365998795490/
*Aku berbicara pada diriku sendiri juga.
Share
Tweet
Pin
Share
4 komentar
Sebagai mantan gadis yang dulu ngaku tomboy trus banting setir ke feminin, tentu aku kudu jungkir balik belajar make up. Dari yang nol banget kenal make up sekarang udah mendingan lah bisa aplikasiin esedo dan nge set bedak yang awet. 
Caraku belajar make up simple kok guys, cuma mantengin beauty vlogger di youtube, dan SKSD sama make up artis. Beberapa kali, di sela shooting gitu, aku nanya-nanya sambil sotoy ikutan dandanin orang biar kemampuan make up terasah. Beruntung mereka orangnya baik-baik, malah ngga segan buat ngasih bocoran ama tips biar make upnya ciamik. Ya itung-itung aku kan ngga perlu kursus ya seus. *pelit*udah pelit, ngaku*
Surprisingly, banyak make up artis yang ternyata pake produk lokal lho, yang bikin aku mbatin, busyet... ternyata sekarang produk indonesia ajib bener yah. Naaah, aku sering banget donk, minta resep produk make up buat pemula. *resep?*dikata mau bikin opor*
Ini dia salah satu wajib punya! Eyeshadow dari brand INEZ! 
Weits inez?


Yes, bukan rahasia lagi sebenernya kalo Inez punya esedo yang superb! Awalnya, aku udah hampir nyerah duluan lihat packagingnya, sumpah. Karena kemasannya terkesan kaku dan tuir. Tapi kan ngga boleh judge something by the cover ya. Btw, Ines, aduh logonya diganti aja deh, ngga banget huhu...
Warna kemasannya biru tua dan bentuknya kotak. Sebelumnya bentuknya malah lebih aneh lagi, agak ada lengkungan di tiap sisinya. Tapi yaudahlah, yang penting kan isinya. Ya ngga? Kalo udah bicara isinya mah kamu ngga bakal nyesel beli ini.


Aku nekat pilih warna 10, Vienna karena aku suka banget tampilan smokey eyes. Ya gimana, kalo cuma beli isi kecil gini, make up looknya emang ngga bisa macem-macem. Smokey eyes paling mentok. Tuh kan sotoy banget, belum juga expert udah pengen bikin make up ala kim kardashian. Hahaha.


Yang aku suka dari packagingnya sih, kacanya besar bowk, enak buat dibawa kemana aja. Walopun sayang isinya kecil. Huhuhu. Iyaadeeeh, kecil-kecil penting juga ini mah.


Kuas bawaannya ngga banget, tapi masa esedo ngga ada kuasnya. Kan hampa. Jadi kuasnya ada cuma buat pelengkap, dan bakalan tetep aku coba! Aku cewek yang suka tantangan. *ngok*


Isinya ada 4 macam warna:
Hitam
Ini warnanya dasyat gila! Pekat dan langsung dapet sekali oles. Hasilnya matte. Love banget. Cuma kamu kudu ati-ati banget makenya, karena kalo tertekan dikit atau terlalu banyak, malah jadi kayak vampire. Hahaha.
Silver
Waktu aku aplikasiin ke mata, kayak ada semu birunya ya. Warnanya oke, gampang diblend, favorit deh.
Light Silver
Ini dipake buat shimmery tapi masih pigmented. Sebagai inner corner ataupun highlighter bisa banget, walopun masih termasuk so-so. Dibanding eyeshadow warna putih di merek lain, its nothing special. Cuma ya ngga jelek juga. Bingung kan aku jelasinnya. Hahaha. Intinya nanggung sih, mending warnanya putih sekalian.
Taupe
Mungkin ada warna yang harus dikorbankan pada pallete eyeshadow, nah, warna inilah yang mungkin paling jarang dipake nantinya. Gimana aku mau pake, wong warnanya aja ngga keluar terus bingung mau ngeblendnya.


Ini dia hasilnya waktu aku aplikasiin di mata. Warna taupe aku pake sebagai base eyeshadow saking aku bingung mau pake semuanya.


Kalo warna itemnya sih udah jangan diraguin lagi deh, sip mantap. Dan fyi, aku pake kuas bawaannya yang butuh kemantapan hati, jiwa dan raga. Susah bowwk!!!
Lain kali aku pake brush khusus aja deh, daripada puyeng gosrek gosrek warna dan bikin bentuknya. Hahaha.


Sorry eyelinernya aku pakein yang spidol. Niatnya biar esedonya lebih dominan. Oiya, aku emang jarang banget pake bulu mata palsu. Selain susah pakenya, aku juga males belajar, bulu mata palsu jadi bikin mataku berat. Kalo pas special occasion aja deh bela-belain nempelnya. Nah, menurutku, tanpa bulu mata palsu, ketika aku pake eyeshadow vienna ini, mataku udah kelihatan tajem kok. 
Harganya cuma Rp 43.000 doank di mini market deket rumah. Ceh, canggih kan ngga perlu beli onlen atau capek ke kota, tinggal ngesot ke toko deket rumah udah tersedia. Inez ini termasuk gampang didapetin dan banyak tersedia di toko kecantikan.


Lumayan kan hasilnya. Biar aku emang dalam tahap belajar tapi setidaknya imej tomboy udah ngga terlalu melekat di aku. Sekarang aku jadi seneng dandan, terserah mau dikata lenjeh yang penting aku hepi. Hahaha.

Repurchased: Definitely yes, i want more and try other shades!
Share
Tweet
Pin
Share
2 komentar
Siapa yang ngga suka lipcream ngacung?
*krik*
Ngga ada ya? Hehehe. Iya deh iya, aku tahu nyaris semua cewek suka pake lipcream. Sekarang hampir semua merek punya lipcream yang bikin kita makin bingung nentuin mau beli yang mana. Mau yang murah ada, mau produk luar banyaaak atau cari produk lokal? Semua lipcream punya keunggulannya masing-masing. Lipcream ini makin digandrungi pecinta make up mengingat fungsinya yang worthy.
Dulu aku bingung karena kalo pake yang lipstick, bibir malah makin kelihatan pecah-pecah. So, lipcream menjawab tantangan kamu yang suka tekstur matte tapi kamu punya bibir kering. Dia akan bertransformasi menjadi matte tanpa menyebabkan garis bibir makin tajam. Aku seneng donk, akhirnya kesampaian juga pake lipstick matte. Yas!!! Dan aku ngga perlu bingung lagi karena merek lokal banyak yang ngeluarin lip hits ini.


Kali ini aku mau review PIXY LIP CREAM 01 -CHIC ROSE.

PACKAGING 
Kemasannya anak muda dan chic banget sih. Tapi untuk informasi produk, semua udah jelas dan tertera langsung. Termasuk hasil warnanya bisa kamu lihat di kemasan luarnya. 


Sayang waktu di counternya, ngga ada tester, jadi ya semacam tebak-tebak berhadiah. Opsi warna sebenernya ngga terlalu banyak sih, cuma 6, dan shade lainnya ngejreng. Aku pilih warna chic rose karena kalem dan bisa buat pelengkap riasan smokey eyes. 
Aku pede beli aja lah, toh warnanya kalem ini. Kalopun ngga suka bisa aku timpa sama lipstick lain. Ya kan? Hahaha.


INGREDIENTS:
Ah senangnya, karena produk ini paraben free! Yeay!

SCENT:
Wanginya oke, aroma permen. Bahkan mirip sama nyx, mirip doank lho ya, ngga sama juga.

Ohiya, aku suka juga sama botolnya ini. Mudah banget dibuka dan ringan. Kan ada tuh, lipcream yang botolnya kotak, tapi kalo dibuka susah.


TEKSTURE &PIGMEN:
Sekali swatch, warnanya udah keluar. Tapi kalo aku aplikasikan di bibir aku yang tebelnya minta ampun, bakalan butuh lapisan. Teksturnya ringan dan di bibir ngga bakal terasa tebel. Serius!


Nih, close up nya. Udah tebel, kering pula!
Tapi beruntung, hasilnya ngga norak dan kalem. Ketika kamu oles, lipcreamnya cepet kering. Namun, kabar baiknya, pixy ini ngga transferable kalo cuma buat ngopi cantik dan nongki bareng temen. Tapi kalo kamu pake makan rendang dengan cara bar bar ya pasti bakalan bubar.


KETAHANAN:
Lipcream chic rose ini cocok buat penggunaan sehari-hari. Dibawa ke kantor, selipin di tas dan gampang aplikasiinnya. Urusan daya tahan, ini udah lumayan tapi kamu butuh oles lagi menjelang siang. Hahaha.


I totally recommend this product, buat kamu para pecinta lipcream dengan harga terjangkau dan nyaman dipake. Udah deh, udah, beli aja. Ngga bakal nyesel kok. Hehehe.


Harganya cuma Rp 40.000 an dengan isi 4 g. Yakin deh, lipsticknya bakal habis karena emang kepake, bukan karena kadaluarsa!

REPURCHASED : YES, and want to try other shades.
Share
Tweet
Pin
Share
4 komentar
Postingan ini bukan berupa tips, saran, atau kiat apalah biar anak ngga sembarang jajan di luar. Aku minta maaf sebelumnya ya gengs. Muehehehe.

"Dari luar" di sini maksudnya berbeda, yuk baca aja, ini isinya curhat doank kok. Tapi curhat yang harus banget dibaca, karena aku tahu, kamu bakalan ngerasa sama.


Beberapa hari yang lalu, tiba-tiba papa ke rumah tanpa memberitahuku dahulu. Biasanya, kalo blio ke sini, alesannya bukan karena pengen datengin anak sulungnya ini sih, melainkan kangen Alya. Maklumlah, cucu baru satu, pelipur lara, katanya. Lama ngga lihat Alya, sekarang udah banyak perubahan, dulu yang masih bingung mengenali eyangnya, sekarang begitu ketemu, udah langsung kenal dan akrab aja. Segala polah yang gemesin sering jadi candu buat para eyang dan sodara, mereka bilang, ngelihat tingkah Alya bisa bikin mood hepi.

Yang paling bikin Alya seneng kalo sodara ke rumah adalah, mereka pasti membawa oleh-oleh. Pokoknya yang serba dibungkus gitu Alya suka, lain kalo kamu kasihin uang ke dia, dia bakalan ngga mudeng dan uangnya dikasih ke mamanya. 
*Yak sip nak, buat belanja lipstikc ya!*

Bawa buah tangan buat apa sih?
Awalnya sih biar Alya mau lengket karena diiming-imingi sesuatu yang lucu dan menarik perhatian, tapi lama-lama kayak jadi kayak kebiasaan. Kalo ke rumah, pasti ada aja yang dibawa, macem-macem, mulai dari baju, mainan, dan yang paling jengkelin jajanan.

Lho kok jengkelin, bukannya seneng karena dikasih makanan enak?
Iya sih, ngga salah juga kok. Lah tapi... masih mending kalo roti, martabak, atau jajan pasar. Yang sering dibawain itu adalah snack mini market atau kios kelontong itu lho. Tahu kaaan, jajan yang ngga sehat dan syarat dengan micin. Kasihan deh, kecil-kecil kok udah kecanduan micin. Huhuhu.

Nah, waktu itu papa bawain jelly nata de coco yang bungkusnya kecil kecil, kalian pasti tahu lah apa namanya tanpa aku sebut merek. Bentuknya warna warni, rasanya manis, cara makan tinggal lheb dan nagih. Yes, jajanan anak tersebut pasti disukai anak-anak. Rasanya jarang ada anak yang nolak kan ya.

Trus kenapa aku ngga suka?
Permasalahannya adalah Alya masih batuk! Ini udah 2 minggu lebih dan Alya belum sembuh-sembuh, padahal aku udah ganti dokter dua kali lho. Diagnosa terakhir ini batuk karena alerginya kumat, kondisi drop dan belum sembuh bener, malah masih aku ajak jalan-jalan. Komplit kan alesannya. Ini malah dikasih jelly pula! Gimana aku ngga jengkel coba.

Dari dulu, Alya emang aku batesin makan snack dari luar yang banyak mengandung pemanis dan perasa buatan. Mending aku bikinin sendiri deh. Ngeluh capek, nyita waktu, biarin aja daripada ngerasa berdosa lihat anak sendiri kok udah maniak jajan di luar. Lagian dia masih balita cuy, masa makan permen atau mie instan? Bukannya harus banyak asupan bergizi ya?  Ya kan ya!

Jadi kalo kamu lihat Alya seneng banget ketika dibawain snack jajanan dari luar, itu karena dia jarang makan gituan. Kayak pas Alya buka kresek dari papa, dia kelihatan bahagia banget! Papa mesam-mesem sambil bukain satu. Aku kaget ngelihatnya, refleks aku ambil dan amankan barang ini dari Alya dan bilang,
"Alya lagi batuk. Jellynya disimpen dulu ya, supaya cepet sembuh"
Papa nyahut,
"Oh, lagi batuk to? Ya, cuma satu aja kok, ngga papa ya. Yang lain disimpen dulu"
Dalam hatiku bilang,
Papa ini gimana sih, kok ngasih cucunya jajanan ngga sehat. Mbok ya beliin buah kek roti kek apa kek
Bisanya ngomong dalam hati doank, ngga sefrontal itu aku ngomong sama papa. Takut menyinggung. Udah syukur dibeliin, ini malah request, apa ngga ngelunjak namanya.

Lah jelly nata de coco aja diributin?
Eiits, kalo kamu mau tahu, aku masih punya simpenan jelly nata de coco ini yang ampun banyak banget jumlahnya. Di kulkas masih ada se kresek, ada lagi yang di umpetin bawah meja, dan terakhir yang dari papa ini. Mereka belinya yang kiloan cuy, sekresek besar, kalo mau ambil gih di rumah. Huhuhu.

Selain papa, yang ngasih jelly tersebut adalah mama. Huff... even mereka udah berpisah, tapi sikap 'orang tua' mereka tetep sama dan ngga berubah. Mama papa gampang banget ngasih anaknya jajan. Jajan aja deh ngga papa yang penting anteng. Daripada harus capek bikin makanan sehat sendiri. Toh praktis, anak seneng. Kalo Papa mah mikirnya, beliin aja murah, gampang, di warung ada, semua anak suka.

Tapi yaampun, apa harus jelly nata de coco? 
Apa ngga kepikiran yang lain?

Mama kadang lebih gokil lagi, sering ngajak Alya jajan coklat dan gorengan. Paling kalo ada tetangga tahu, bakalan mbatin, duh, buuuk... itu anaknya baru dua tahun kok udah dikasih gorengan si? Mbok dijaga banget kesehatannya. 
Ya, yang nanggung nyinyiran kan pasti emaknya. Ya kan, ya donk?
Trus gimana mertua?
Sama aja... eh tapi mendingan dink. Karena mertua emang anti jajan di luar. Paling banter keju, coklat, es krim, dan ngga lupa abis itu nyuruh Alya sikat gigi. Sikap yang bagus, laff!

Masalah jajan ini udah sering banget kami bahas. Aku dan suami melarang Alya banyak jajan dari luar karena disamping boros, nagih, pun ngga sehat. Kami gantian masakin buat Alya, super memperhatikan asupan Alya dari awal MPASI. Walopun ada kalanya kami beri kelonggaran makan es krim dan jajan di angkringan, it doesnt matter kalo lagi sehat dan dibatasin jumlahnya.

Ngemil Alya itu sebatas susu, makan keju utuh, roti, dan buah. Aku ngga saklek-saklek amat kok. Alya pernah makan cabe waktu aku lagi nyuci dan dia nangis kepedesan. Aku mah santai, bapaknya muring-muring, anaknya kapok. Hahaha.

Alya juga pernah nyoba mie instan, pake bumbu pedes dan seneng. Aku batasin dan aku masih anggep wajar, icip doank ini.
Pernah juga minum kopi hitam dan suka, abis itu melek dan tenaganya makin luar biasa. Aku langsung kapok.

Yang paling parah, suatu kali, dalam jangka waktu (kalo ngga salah) semingguan, tiap hari aku kasih Alya makan es krim karena dia lagi maniak susu. Bocahnya ngga demam ngga bapil apa sih, cuma giginya jadi kuning! Padahal udah rajin sikat gigi dan sering minum air putih. Aku nyesel banget abis itu. Mana butuh perjuangan kalo nyuruh Alya sikat gigi. Kami jaga banget giginya supaya bagus dan terawat. Kasarnya, aku udah susah payah ngASI, ngga pakein dot, kasih makanan bergizi eeeh... gigi tetep kuning aja.

Semakin hari, aku dan suami jadi makin sering ngobrolin jajanan yang ngga sehat ini. Mengganti dengan jajanan bikinan sendiri dan membatasi jajanan dari luar. Dari luar di sini maksudnya bukan beli jajan di luar kayak di mini market, tapi yang paling susah justru menolak jajanan dari "luar" alias yang diberikan oleh orang lain.

Kalo udah terlanjur dibeliin, mau nolak kok merasa bersalah, mau diterima kok ngga bagus buat anak. Aku ngga mau Alya obesitas, kurang nutrisi, atau sakit gigi cuma gara-gara snack. Frekuensi Alya dikasih jajanan ama eyang dan sodaranya itu bukan lagi jarang, tapi SERING. Beberapa dari mereka minta ijin dulu kalo mau kasih jajan, dan aku iyain asal ngga banyak-banyak. Ada juga yang tanpa tanya dulu, langsung ngasih snack ke Alya.

Ngga jarang aku negur langsung dan sikapku agak ketus. Lah anak aku, masa depan aku, kok ngga boleh negur gimana sih. Hahaha. Lagian ini demi kebaikan bersama.

Trus Alya sendiri juga udah bisa dikasih tahu. Misal kalo kebanyakan es krim jadi batuk, kebanyak coklat, giginya kotor. Makan buah dan sayur biar sehat dan pup lancar. Dia bener-bener udah tahu lho. Masa kita yang tua malah ngajarin gaya hidup ngga sehat sih?

Please come on, jangan terlalu banyak ngasih snack micin yang selalu ada di warung tetangga. Jangan tiap hari, tolong bantu batasin. Kalo masih nganggep aku ini orang yang keras dan ribet gitu aja dipikirin, cobalah kalian bayangin drama yang aku hadapi tiap nyikat gigi Alya. Berkali kali ke dokter untuk memastikan alergi. Dan aku mau Alya sehat terus kayak apa yang kita jaga.

Jadi judulnya emang MEMBATASI JAJAN ANAK DARI LUAR, bukan MEMBATASI ANAK JAJAN DARI LUAR.

Karena anak aku masih balita, jajan anak dari luar karena anakku emang belum bisa jajan. Nah kalo anak jajan dari luar, kan si anak udah mudeng jajan. Udah sekolah misalnya, terus ikut-ikutan temen, pengen beli karena kayaknya cilok itu enak. Lain kan ceritanya.
***

Aku ngga nyalahin Papa yang kangen sama Alya, Mama yang pengen nyenengin cucunya, atau om tante yang selalu pengen lihat Alya bahagia.

But let me tell you,
ada baiknya ketika kita memberikan sesuatu pada orang lain, harusnya dilihat kondisinya terlebih dahulu. Kalo perlu tanya deh, boleh ini ngga, kalo itu gimana?

Gaya hidup sehat itu dimulai dari kita sendiri. Kita aja pengen sehat, diet mati-matian, masa mau ngelihat anak kita makan yang ngga sehat.

Ayolah, bantu kami para orang tua dalam mengasuh anak. Ngga usah muluk muluk kok, cukup dengan tidak memberinya macam-macam. Masih mau bersikeras pengen ngasihin anak buah tangan, cobalah yang ramah kesehatan misalnya buah, roti, atau susu.

Aku janji pada diriku sendiri juga kok, menjaga kesehatan itu bukan cuma kita saja, namun semua hal disekitar kita. Kalo lingkungan kita sakit, bukankah kita juga ikut ngga nyaman? Kesehatan itu mahal lho harganya dan anak-anak adalah masa depan kita.
Oke ya, sip thanks.

*Yaelah, masalah jajanan aja gini amat nulisnya. Biarin ah, biar ngga ada yang ngasih Alya snack sembarangan. Aku mah ibu galak. BYE.
Share
Tweet
Pin
Share
6 komentar
Bagaimanapun, perceraian selalu menyisakan luka pada setiap ceritanya.
Mungkin aku bukan satu-satunya orang yang tegar dan kuat menghadapi perpisahan kedua orang tuaku. 
Mungkin aku ngga layak buat ngasih wejangan sedangkan aku termasuk anak baru dalam menghadapi rumah tangga.

Tapi cobalah dengar kisahku, aku janji kisahku akan jadi semangatmu.
***

Dari aku kecil sampai menginjak remaja, aku adalah anak rumahan. Ya, kalo kamu mau tahu, aku banyak dilarang keluar rumah karena di luar cukup keras dan orang tua menganggapku terlalu lemah. Tubuh kecilku selalu menjadi alasan agar aku ngga sembarang bersosialisasi dan membuka mata. Lumayan masih beruntung karena ketika mama papa bekerja, sementara aku dititipkan di rumah nenek, yang cuma beda kampung doank. Aku bersyukur, barangkali jika aku tidak menghabiskan siangku di rumah nenek, mungkin aku ngga akan merasakan rindu.

Rindu kisah masa kecilku.

Kami hidup di daerah yang sering orang sebut sebagai black list area. Itu juga sebabnya pertemanan kami dibatasi. Kampung kami berisi masyarakat heterogen. Dari polisi, ulama bahkan pencuri semua ada di kampung ini.

Mama papa dipandang cukup berada, sedangkan teman sebayaku di rumah nenek, nyaris berbeda. Tapi semua teman kami sebenarnya cukup baik adanya. Misalnya kami suka mainan orang-orangan. Mereka menggunakan barang seadanya, cuma berbekal bungkus rokok yang (pura-pura) jadikan sebagai tempat tidur. Lain dengan aku yang sudah dibeliin mama semacam maket kecil berbentuk rumah. Sungguh kondisi yang kontras dan membuat semua iri. Cuma gara-gara bentuk mainan yang mewah itu, mereka sering menganggapku sombong. Padahal disisi lain, aku justru merasa risih dan ingin sama kayak yang lain. Lagipula, aku ngga segan meminjamkannya pada mereka.

Pernah waktu ujian SD, banyak anak yang hanya membawa tas kresek hitam, pulpen, pensil, penghapus dan penggaris. Aku dan adikku sudah dibelikan tas kecil bergambar kartun yang lucu dan imut. Bukannya kami senang, tapi kami malah berontak dan bahkan memaksa menggantinya dengan tas kresek hitam berikut perlengkapannya.

Supaya ngga berbeda.
Supaya kami dianggap setara.
Di dalam hatiku tertanam, aku harus baik, menjaga hubungan pertemanan agar aku tidak kesepian. Kepada siapa lagi aku memohon pertemanan kalo bukan dengan mereka?
***

Aku punya dua adik, cewek dan cowok. Keluarga kecil yang tampak harmonis dan baik-baik saja. Penuh dengan tawa dan kehangatan yang sederhana. Kami menikmati hari-hari dengan selalu berkumpul dan makan bersama. Sedangkan waktu weekend, biasanya mama papa mengajak kami berlibur santai dan menikmati family time.

Hal yang sangat lumrah terjadi.

Kami berusaha bergembira sepanjang jalan. Bercanda tawa dan bercerita seperti keluarga pada umumnya. Papa selalu  mengisahkan pada kami tentang keadaan orang di desa dan masa kecilnya yang membuat kami harus bersyukur. Aku selalu yakin setiap kami pergi keluar bersama, kami tidak sedang pergi berlibur, tapi orang tuaku sedang memberiku wawasan dengan segala kebaikan. Mereka lakukan dengan sangat hati-hati. Sekali lagi, orang tuaku mendoktrinku keras: dunia penuh dengan kebahagiaan.

Sesuatu yang indah, tapi nantinya, lambat laun aku akan mengerti bahwa dunia tidak cuma kelembutan belaka, dunia banyak warna.

Aku menikmati moment kumpul keluarga ini walopun kami sering menyembunyikan apa yang kami rasakan. Aku sebenarnya merasa kesepian, aku ingin menyentuh langsung seperti apa yang orang lain lakukan. Family time itu terasa kurang, karena di rumah aku hanya cuma bisa membaca majalah, menulis puisi, menonton tv. Setiap hari.

Jenuh.

Kebosanan itu berubah seusai kuliah, di mana aku harus mandiri dan siap dicaci. Di sinilah aku mengenal: Keragaman. Pelan-pelan aku mulai membentuk jati diriku yang kuat dan kokoh menghadapi alam semesta. Aku banyak berteman dengan siapa saja dan tumbuh menjadi pribadi yang keras dan ambisius dalam bekerja. Kuliah sambil bekerja. Lulus tepat waktu. Dan membuktikan kalo aku bisa.
***

Meniti karir tidaklah semudah yang kita bayangkan. Menghadapi kenyataan sama hal nya dengan kita harus sigap walopun harus mengubah haluan.

Aku menikah dengan orang yang sama-sama bekerja di industri media. Sungguh sesuatu aku idamkan, aku ngga perlu ngotot jika nantinya aku meneruskan impianku yang tertunda. Kami sering menjadi satu tim yang solid dan menjadi kawan baik selama produksi berlangsung. Semua orang nyaman dengan hubungan kami. Rumah tangga yang baru dijalani seakan menjadi energi baru untuk sekitar kami.

Semua pertemanan ikut menjadi keluarga baru kami.

Namun sesuatu terjadi setelah aku melahirkan. Tepat pagi hari setelah aku bisa istirahat sejenak karena semalam caesar, mama memberitahuku kalo mama sudah mengajukan gugatan cerai.
Kamu tahu rasanya?

Obat bius yang belum 100% hilang ini rasanya kebas lagi. Dan entah kenapa jahitanku malah nyeri. Kontras dan membingungkan.

Mama bilang, mama memang tidak cocok dengan papa.

KLASIK.

Bagaimana mungkin mama merasa ngga cocok, padahal mereka berdua adalah panutan di kampung. Padahal label keluarga baik-baik menjadi tujuan utama mereka. Dan lucunya, mereka selalu kompak kalo urusan memarahiku. Ketika aku salah, bahkan mereka bersatu hingga aku bingung mana yang harus dibenarkan.

Dimana letak ketidakcocokan tersebut?
Mengapa harus sekarang?
Bukankah dengan kehadiran seorang cucu akan membuat mereka lengkap dan bahagia?
Dunia tidak sedang baik-baik saja,
walopun anakku baru saja lahir ke dunia.
***

Singkat cerita, setelah beberapa bulan kami mengalami banyak kejadian yang tidak terduga, aku dan suami memantapkan hati pidah ke Magelang.

Baca juga: Gejala Depresi Postpartum? Saya Pernah!

Semua impianku dan keinginanku dalam meniti karir hilang sudah. Aku banyak menolak tawaran produksi, banyak berurai air mata karena ini bukan asa yang aku cari. Aku banyak mengorbankan waktu untuk hal yang tidak aku harapkan sama sekali.
Tinggal di magelang bukan persoalan mudah, dan membuatku dipandang sebelah mata karena tidak produktif.

Mereka hanya tahu luarnya saja.

Ah, persetan mereka bilang aku ngga berkembang, tahu apa mereka dengan kondisiku?
Dibenakku, keluarga adalah yang terdepan. Siapa lagi yang bisa menjadi penengah, siapa lagi yang bisa memperbaiki semuanya?
Aku hampir tertutup dan malu. Lama-lama kehidupanku menjadi berjarak tanpa mengenal rasa berbagi. Aku lupa bahwa bercerita bisa meringankan bebanku selama ini.
***

Sebuah jeda yang cukup lama, walopun hanya dalam beberapa bulan saja. Tapi buatku -yang cukup ekstrovert- itu sudah membuang waktu lama agar semua reda. Aku lantas membuka hati dan nyali. Banyak menerima tawaran dan produktif lagi.
Pernah pada suatu hari, teman dekatku datang, dan bertanya kabar mama papaku. Aku jawab,
Oh mereka baik-baik saja, tapi sudah resmi bercerai.
Temanku langsung menyahut kaget kenapa aku ngga memberinya kabar. Otomatis aku berkelakar, kalo aku memberitahunya apa semua akan berubah?

Sebenarnya, aku merasa senang ternyata banyak yang masih peduli pada kami. Semua orang menyesalkan langkah yang orang tuaku buat. Semua mengira kami selalu dalam keadaan tentram dan nyaman. Aku cuma bisa terdiam dan mengiyakan. Sesekali aku bercanda karena mungkin orang tuaku memasuki puber kedua.

Sudahlah, sekarang aku terlanjur terbuka. Kamu mau ngomong apa terserah, aku sudah terima.

Bahkan dengan senang hati, aku sudah ngga kepoin whatsapp mama papa atau sosial medianya. Mengetahuinya sama dengan menyakiti diriku sendiri, karena mereka sudah mempunyai kehidupan masing-masing. Berpisah rumah, rumah yang nantinya akan aku rindukan kehangatannya.
Aku hanya ingin merengkuh mereka walopun secara terpisah. Paling tidak, aku berada di tengah, yang selalu ada untuk semua kebutuhannya. Semua berawal dari hal-hal yang sangat kecil. Uluran tangan seperti suamiku yang selalu siap saat mama membutuhkan bantuan menganti lampu, memperbaiki antena rusak, atau mengganti galon dan gas tiap minggu. Atau dengan sikap terbukaku, yang akan selalu ada sebagai sandaran saat mama butuh dan tidak ragu menceritakan padaku.
Atau ketika papa butuh cerita melalui telepon yang lama -yang barangkali waktu masih muda- kupingku akan sakit luar biasa. Tapi kini aku terima dengan lapang dada. Akan selalu dengar ceritanya, hanya supaya bisa memberikannya nafas lega.
***

Semua perceraian pasti akan menjadi cerita pilu. Tapi bagaimana cara kita untuk tetap bisa melangkah maju.


Suamiku pernah berkata padaku,
Sekarang ini, banyak orang tidak mencari kebenaran. Mereka sibuk mencari-cari kesalahan.
Benar, aku yakin kamu juga setuju. Aku percaya, kalo aku masih memihak salah satu orang tuaku, akan menjadi bumerang bagi diriku sendiri. Aku berada di posisi tengah. Posisi yang harus tegas menentukan arah, menjaganya tetap tegak dan kokoh walopun diterpa angin.

Aku harus jadi panutan untuk anakku, menjadi istri yang baik untuk suamiku.

Semakin banyak cerita yang menggerus tentang perceraian, justu malah mengokohkanku menjadi pribadi yang hangat dan relevan.

Semakin aku dihantam keegoisan, akan menjadi kekuatanku untuk selalu bertahan.
Semakin banyak sindirian tentang keluargaku, tidak akan merobohkan nama keluargaku.
Aku ngga akan takut dalam menghadapi segala drama rumah tangga. Persoalan itu pasti ada, dan kebersamaan keluarga kecilku akan menjadi pembuktian aku masih baik-baik saja
Pernikahan harus dilandasi rasa cinta.

Taruhlah cinta pada bagian terakhir dalam rumah tanggamu. Karena, ketika kamu sibuk beragumen dan bertengkar hebat pada hal hal yang tidak kamu sukai, bagian terakhir itulah yang akan menjadi alasan kenapa kamu harus bertahan.

Atau jika kamu menang karena egomu terlalu besar, kamu harus ingat,
kemana lagi kamu akan pulang?
Share
Tweet
Pin
Share
7 komentar
Newer Posts
Older Posts

HELLO!


I'm Yosa Irfiana. A scriptwriter lived in Magelang. Blog is where i play and share. Click here to know about me.

FIND ME HERE

  • Instagram
  • Twitter
  • Facebook
  • Google Plus

Blog Archive

  • ►  2023 (1)
    • ►  January 2023 (1)
  • ►  2022 (14)
    • ►  December 2022 (1)
    • ►  October 2022 (1)
    • ►  August 2022 (2)
    • ►  July 2022 (1)
    • ►  June 2022 (1)
    • ►  April 2022 (2)
    • ►  March 2022 (2)
    • ►  February 2022 (3)
    • ►  January 2022 (1)
  • ►  2021 (60)
    • ►  December 2021 (1)
    • ►  November 2021 (3)
    • ►  October 2021 (3)
    • ►  August 2021 (3)
    • ►  July 2021 (2)
    • ►  June 2021 (3)
    • ►  May 2021 (15)
    • ►  April 2021 (21)
    • ►  March 2021 (2)
    • ►  February 2021 (2)
    • ►  January 2021 (5)
  • ►  2020 (44)
    • ►  December 2020 (5)
    • ►  November 2020 (2)
    • ►  October 2020 (4)
    • ►  September 2020 (5)
    • ►  August 2020 (3)
    • ►  July 2020 (7)
    • ►  June 2020 (6)
    • ►  May 2020 (1)
    • ►  April 2020 (4)
    • ►  March 2020 (2)
    • ►  February 2020 (3)
    • ►  January 2020 (2)
  • ►  2019 (89)
    • ►  December 2019 (5)
    • ►  November 2019 (7)
    • ►  October 2019 (6)
    • ►  September 2019 (10)
    • ►  August 2019 (6)
    • ►  July 2019 (6)
    • ►  June 2019 (9)
    • ►  May 2019 (9)
    • ►  April 2019 (8)
    • ►  March 2019 (7)
    • ►  February 2019 (7)
    • ►  January 2019 (9)
  • ►  2018 (135)
    • ►  December 2018 (21)
    • ►  November 2018 (17)
    • ►  October 2018 (9)
    • ►  September 2018 (9)
    • ►  August 2018 (10)
    • ►  July 2018 (9)
    • ►  June 2018 (12)
    • ►  May 2018 (9)
    • ►  April 2018 (9)
    • ►  March 2018 (9)
    • ►  February 2018 (10)
    • ►  January 2018 (11)
  • ▼  2017 (116)
    • ►  December 2017 (8)
    • ►  November 2017 (7)
    • ►  October 2017 (8)
    • ►  September 2017 (9)
    • ►  August 2017 (8)
    • ▼  July 2017 (11)
      • TENTANG BUNUH DIRI
      • PILAH PILIH TEMAN
      • AKHIRNYA ALYA 'SEKOLAH' JUGA
      • AKU IRI SAMA KAMU
      • BIJAK MENGGUNAKAN SOSIAL MEDIA
      • REVIEW INEZ - COLOR CONTOUR PLUS EYESHADOW VIENNA
      • REVIEW MY FAVORITE PIXY LIP CREAM - CHIC ROSE #01
      • MEMBATASI JAJAN ANAK DARI LUAR
      • HIKMAH DIBALIK PERCERAIAN ORANG TUA
      • YANG TERSISA SEUSAI LEBARAN
      • REVIEW THE BODYSHOP WILD ARGAN OIL
    • ►  June 2017 (8)
    • ►  May 2017 (11)
    • ►  April 2017 (8)
    • ►  March 2017 (12)
    • ►  February 2017 (15)
    • ►  January 2017 (11)
  • ►  2010 (9)
    • ►  November 2010 (9)

CATEGORIES

  • HOME
  • BABBLING
  • BEAUTY
  • FREELANCERS THE SERIES
  • HOBBIES
  • LIFE
  • PARENTING
  • BPN 30 DAY BLOG CHALLENGE
  • BPN 30 DAY RAMADAN BLOG CHALLENGE 2021

BEAUTIESQUAD

BEAUTIESQUAD

BLOGGER PEREMPUAN

BLOGGER PEREMPUAN

EMAK2BLOGGER

EMAK2BLOGGER

Total Pageviews

Online

FOLLOW ME @INSTAGRAM

Created with by ThemeXpose