YOSA IRFIANA

Powered by Blogger.
Seorang bapak berumur sekitar 50 tahun mendekap anaknya sambil berlari di depan rumah. Saya melihat mereka menangis sekelebat saat saya sedang menunggu teman datang.
Kala itu (2008), pasar rejowinangun magelang terbakar hebat. Para tetangga berlarian kearah pasar, para wartawan dengan sigap berada di jajaran terdepan melebihi para pedagang, Polisi-polisi berhamburan, lalu lintas berserakan, listrik dipadamkan. Terasa hawa panas memasuki rumah yang berjarak sekitar 500 meter dari pasar.
Mereka bilang…., “kami korban”.



---------------------------------------------




Demo Ganyang Malaysia semakin gempar saja, malah ada yang mengatasnamakan Pemuda Indonesia. Berita-berita di televisi, lomba memperbaharui status di Facebook, Twitter, Blog pribadi semakin menambah panas suasana.  Orasi lewat megaphone di tengah kota, jas almamater bagi mahasiswa, ikat kepala, dan atribut demo lainnya.

Jiwa muda, sekali berkobar, bisa terbakar.



---------------------------------------------




Minggu itu, kekasih saya membelikan beberapa roti breadtalk favorit. Kami suka memakannya sambil menonton film dan menghabiskan hari. Lain waktu -jika tanggal muda- dia akan mengajak nonton film di bioskop sambil jalan-jalan di pusat perbelanjaan. Begitulah hiburan di akhir pekan, walaupun terkadang saya takut bosan.




---------------------------------------------




Segala yang saya tahu, yang saya pahami. Selalu ada kondisi berbeda disetiap adegannya. Saya selalu berpikir: lalu, kini dan nanti. Ini bukan masalah kemampuan lain saya untuk melihat yang tidak terlihat. Ini jelas berhubungan dengan proses sebab akibat. Ini adalah tentang menelaah apa yang sedang saya cari.

Saya rasa, ada peristiwa yang harus terjadi untuk menampar para makhluk bumi.
Sekarang, tetangga sebelah rumah saya sukses luar biasa malah setelah pasar terbakar. Entah kapan pembangunan pasarnya selesai, tetapi banyak rakyat kecil yang sudah mulai berpikir akan pemerintahan dan semakin banyak pertanyaan yang memang harus dilontarkan.
Mungkin ‘Indonesia’ juga perlu berbenah. Pertama-tama mungkin perlu dipanjatkan do’a untuk meng-indonesia-kan Indonesia, sebelum kita berusaha, karena saya tahu, Indonesia adalah Negara beragama.
Untuk kemudian hidup bagi saya juga bermakna: semakin memupuk kepercayaan dan memikirkan masa depan.
Dan bahwa semuanya dimulai dari kita siapapun anda.



Buatlah kesalahan asal bukan yang kedua kalinya.

Nikmati peristiwa, ambil rempahan kecilnya.
Tersenyumlah sesudahnya…




Titip senyum buat semua, 120910



Share
Tweet
Pin
Share
No komentar
Pertanyaan spontan itu terlontar begitu pesanan saya datang saat nongkrong bersama teman lama saya di Brun’s Café. Sudah sepekan ini saya jarang menerima ajakan teman untuk berkumpul, sekedar temu kangen atau basa-basi. Padahal, jarak Semarang-Magelang bisa dilalui dalam sekejap mata dengan bus AC Nusantara.

Saya akan menghabiskan seminggu disini. Waktu yang cukup untuk mendekorasi kamar, belajar bikin kue kering, silaturahmi dan lain-lain (yang akan saya kerjakan nanti).
Selama belasan tahun saya melakukan segala aktivitas disini, kadang menjadi slide demi slide yang tiba-tiba muncul menghiasi otak saya.

Saya anak pertama dari tiga bersaudara, adik perempuan saya yang kedua masih menempuh kuliahnya, sedangkan yang terakhir adalah adik laki-laki yang super nakal. Saya mempunyai Mama yang suka bersih-bersih, memasak dan seperti ibu-ibu biasanya, bedanya Beliau adalah Mama yang melahirkan dan bisa membimbing anak seperti saya. Papa, si pekerja keras. Dulu Beliau adalah penyiar radio ternama disini, disamping menjadi agen surat kabar yang sekarang sudah banyak saingannya.

Sebagai anak pertama, mau tidak mau, sadar tidaknya, adalah mitos yang menjadi kewajiban, si sulung harus bisa menjadi panutan di antara saudara-saudaranya. Segala sesuatunya akan dipantau oleh keluarga saya. Sangat normatif. Tidak boleh ini itu dan harus begini begitu.
Saya ingat, saya bukan orang yang tenar di sekolah, walaupun banyak yang mengenal saya. Saya orang biasa, nakal, suka memberontak, cadas dan gampang bosan. Kadang saya harus melakukan apapun demi keinginan saya, termasuk memilih jurusan di kala kuliah. Saya pun pernah bosan dengan keadaan di keluarga ini. Seakan masih belum tersadar bahwa saya anak pertama, saya menjalaninya dengan biasa saja. Fasilitas dari tuntutan saya, diberikan orang tua secara cuma-cuma.

Mama dan Papa adalah manusia setengah-setengah yang saling melengkapi. Saking melengkapinya, mereka sering berkolaborasi memarahi jika ada salah satu anaknya yang salah. Ketika itu, banyak hal yang membuat saya tidak setuju dengan istilah-istilah mereka. Apalagi mereka terlalu memikirkan para tetangga. Pulang malam saja, takut menjadi omongan tetangga. Apakah saya harus menjelaskan tentang pekerjaan saya sebagai orang di media penyiaran? Apakah saya harus mencari seluk beluk Jawa yang selalu mereka tegaskan? Ah…saya pikir itu semua berarti pamrih!

Saya tahu, saya kuliah di Muhammadiyah walaupun Mama pernah Khatolik dan Nenek pernah Kristen. Saya sudah bilang ke mereka, pengajarannya terlalu konservatif. Setiap hari disuruh mengaji, kalau telat masuk sekolah harus bayar infaq atau mandi wajib, jilbab adalah keharusan, dan lain sebagainya. Untung waktu itu saya tidak terlalu mengerti soal feminisme dan agama-agama di dunia. Saya lebih suka kata-kata saya. “Jika kamu anggap agama-mu paling benar, apakah kamu sudah mencicipi agama lainnya?”
Saya tidak habis berpikir, doktrin guru agama saya terlalu berlebihan jika menyebut-nyebut nama agama lain untuk dibandingkan. Saya percaya, Tuhan itu satu.

Waktu kuliah, jadwal sangat padat, tugas yang banyak dan beberapa acara lain yang sering saya hadiri diluar jam kampus. Saya suka berbagi pengalaman, bersenang-senang dan banyak teman. Tetapi seminggu sekali saya tetap harus pulang ke rumah.
Di semester ke lima, saya mulai bekerja separuh waktu kuliah untuk bisa menambal uang jajan saya (saya tidak tahu, saya yang boros atau uang jajan saya yang memang mepet). Jelas hal itu saya lakukan bukan karena ingin membantu orang tua, tetapi untuk keperluan pribadi. Lain lagi kalau saya pulang dengan harus membawa titipan Papa berupa koran, majalah, atau sebangsanya yang setumpuk banyaknya. Saya pun pernah dimarahi Papa karena titipannya itu basah kuyup oleh hujan. Papa selalu mengajarkan supaya segala sesuatu harus ada tanggungjawabnya.
Mama toh selalu bersedia mendengarkan keluh kesah saya walaupun Beliau juga mempunyai masalah yang lebih rumit.

Saya bayar lunas melalui wisuda saya dengan IPK diatas 3,00 selama empat setengah tahun. Itu adalah salah satu kewajiban yang bertanggungjawab.
Saya tidak merasa ada beban berat. Saya juga tidak malu dengan keadaan. Saya berusaha menyikapinya dengan rasa senang.

Sekarang, kalau saya komplain dengan hot coklat yang sebelumnya direkomendasi total oleh pelayannya, tentu kalian paham bagaimana saya adalah orang yang mementingkan tanggungjawab dari sesuatu.
Saya percaya, sikap bisa terbentuk dengan sendirinya, walaupun sifat adalah dasar pribadi manusia. Terlepas dari anak pertama ataupun tidak, kini saya sadar, perbuatan adalah cermin pribadi manusia, jalani saja dengan ikhlas, tidak usah berburu apapun. Segera bersikap selayaknya kamu, dan jangan ragu untuk menjadi kamu. Tidak ada yang sempurna di dunia ini. Semuanya hebat!

090910
Sungkem buat Papa Mama,
Keluarga adalah kado terindah dalam hidup kita.
Minal aidzin wal Faidzin, ya…
Share
Tweet
Pin
Share
No komentar
Si coklat,
Pahitnya selalu bersedia menggigit.
Manisnya tidak mudah dirubah.
Warnanya hangat menyengat.


Si kuning,

Rupanya penyelamat cahaya luar biasa.
Maknanya ada seperti pengganti nanti.
Rasanya renyah menggugah.


Seperti ovaltine keju hangat yang saya suka.

Sepertinya bisa meredupkan panas suasana dan panas luka. Ya, saya suka hangat, tidak panas dan tidak dingin.


Seperti roti-roti kecil coklat keju.

Sepertinya memakna bijaksana. Ada tawa bersama teman-teman saya ketika berebut memakannya. Lain kalau saya memilih memakannya sendiri.


Sabda para anda yang hanya tertinggal di telak semesta, bahwa anda ingin semua orang mengerti anda.

Saya tidak, saya suka kekurangan saya, saya suka kelebihan saya. Saya tidak di kanan ataupun di kiri ini. saya pilih berada di tengah.
Andai saja sewaktu nanti bisa bertambah lagi rasa strawberry, saya tidak bingung memilihnya.


Menengah jengah,


180810
Share
Tweet
Pin
Share
No komentar

Untuk Lawan…
Saya bukan penyelidik, tetapi saya cukup cerdik. Saya suka membuat sesuatu yang bermanfaat bagi besama, walaupun sosialisasi saya masih tergantung oleh mood. Saya tahu bahwa alam bersama kita semua, sehingga kita bisa menjumpai yang namanya karma.
Semuanya mempunyai pertanda dan saya selalu suka semiotika.
Mitos merupakan tatanan pertama dari sebuah pertanda. Dan persepsi adalah tatanan ‘sesudahnya’ (baca : kedua).
Lawan…, Kelas 5 SD, saya diajari Ilmu Pengetahuan Alam tentang penyebab hujan, tentu penjabarannya bukan berisi mitos tentang Dewa Thor yang marah karena kehilangan palu goddamnya.
Simpulkanlah talinya, hingga menjadi kesimpulan tetap, bahwa mitos lahir sebelum science.
Kalau masih saja mencerna secara mentah tentang sesuatu, bukankah sama saja kamu tidak menggunakan otakmu, lawan?
Toh Tuhan tidak akan takut atas ‘apa’ yang Dia berikan (baca : otak).


Lawan…, saya punya kasus lain, kita semua punya sejarah dan budaya. Saya hidup di Indonesia secara sadar walaupun saya tidak tahu mengapa Tuhan memilihkannya. Saya suka belajar. Hal itu yang membuat saya lugas berbicara. Agama adalah pilihan, tetapi ras dan kelamin sudah ditetapkan. Maka, 2 hal terakhir tidak perlu diperdebatkan oleh teknologi sekalipun.



Saya pernah menulisnya tanpa lanjutan episode. Saya punya dunia saya sendiri yang sangat menyenangkan. Baiklah, kamu pasti juga, hei lawan…

Saya yang mencarinya, saya menghilangkan kata susah payah menjadi hal yang menyenangkan. Saya tahu hidup punya 2 pilihan, baik atau buruk, iya atau tidak. Kalau saya bisa tahu yang hal yang berdampak baik, mengapa saya memilih buruk?
Saya memakan sesuatu menggunakan tangan kanan, dan menggunakan tangan kiri untuk mengerjakan sesuatu yang kotor, namun saya memberi tepuk tangan untuk ‘orang kiri’. Mereka lah yang mengajari saya selaras.
Hampir lupa, lawan…,
Saya belum mengerti tentang aura. Tetapi saya berani berkata, berbagai rasa, telah diciptakan oleh yang mempunyainya dan yang tahu rasa cuma yang punya hatinya.
Hidup ini bukan hanya kamu semata, lawan…
Saya pun belum pernah menjumpai orang yang mati karena patah hati kecuali dia bunuh diri. Dia saja yang belum terlalu membuka mata, padahal saya bisa tertawa, masih banyak ilmu diluar sana.
Kecuali hal cinta, sadar saya, siapa yang bisa membohongi hatinya sendiri? Hanya, kamu bisa berbagi emosi ke hal yang lain. Pendamlah cinta, tetap menangis mengiris. Silahkan menyesal, akan ada sesudahnya.
Saya bukan peruntungan. Banyak cara untuk sebuah akhir. Sesungguhnya, akhir itu bukan kita saja melainkan kita semua.


Lawan…, Saya tak mudah percaya kepada kesibukan.

Mereka hanya takut akan jabatan tingginya. Mereka mungkin punya undang-undang sendiri yang menerka idealisasi eksklusif dan mengesampingkan eksensialisme.
Mereka tidak tahu, selalu ada celah di sela kehebatan walaupun dengan sedikit saja senyuman. : )
Saya saja bisa… : p


Melawan @ 18 juni 2010
Share
Tweet
Pin
Share
No komentar
Tuhan Maha Adil.
Doktrin entahlah…


Kepada cermin,
Wahai aku yang tidak seperti kemarin dulu. Cahaya sesuatu ada dibelakangmu.
Pojok kanan atas kepalamu ada guratan yang aku sendiri tau, belum sembuh.
Buru-buru kamu seka air mata pemenang, walaupun kamu pernah divonis sebagai pecundang dihadapan kedok setan. Cerita dulu dan dulu sekali menjadi sebuah daftar yang pantas dibanggakan seburuk apapun itu. Kamu sadar semua yang tadinya misteri seperti drama di TV, suatu saat bisa malah riang bernyanyi. Dan ada pembuktian yang tidak perlu dikatakan…

Selalu memberkas bias dari semua proses yang kita hadapi.
Aku pernah melihatmu mengumpat sendiri. Meraung mencari.
Masih, dalam monitor redup dan lagu-lagu yang banyak orang lain tak tahu. Menyembunyikan muka sendu pertanda cemburu.
Sepi yang tidak bisa kamu pungkiri oleh keramaian. Keramaian yang bersulam lawan. Kamu tidak akan bertanya walaupun beberapa menjawab. Kamu dihadapkan pada pernyataan. Kamu pun menangis sendirian. Ketika sadar, bahwa musuh terbesar terletak pada emosi diri mu sendiri dan kawan terbaik adalah keputusan apapunmu itu. Kamu bisa membuat sesuatu yang tadinya mimpi.
Ini adalah proses sebab akibat.

Aku percaya di dirimu adalah ingin. Energimu tak bersisa dan tidak akan sia-sia. Ketika kebaikan adalah persepsi diri, namun tetap, mandiri dan berdiri sendiri itu adalah keputusan mutlak. Tanpa kamu sadari bahwa kamu adalah perempuan. Melibas bumi dengan tangan sendiri. Kamu pun bisa tersenyum simpul jika seseorang berotak keledai bisa diturunkan disini, walaupun aku tahu kamu pemalu. Segalanya mampu akan kamu lakukan dengan kemauanmu. Sorot lampu jalanan masih menerangi sepanjang jalanmu saat yang lain terpejam.
Kamu berusaha berpikir positif, menarik segala daya ke yang baik, melupakan keluh kesah, dan relaksasi.
Kemudian nanti kini, pahitnya tetap akan berbuah manis dan menjadi pengalaman bukan hiperbolis.
Jangan lupa bahwa hukum tarik menarik tetap berlaku sampai akhir jaman sekalipun.

Kini sangat jelas aku tahu, kamu adalah aku.

Hei jogja apakabar? @ 18 juni 2010
Share
Tweet
Pin
Share
No komentar
“Rutinitas ini semakin monoton saja. Letak meja, kursi dan semewah apapun perabot-perabot di kantor tetap saja terasa sangat sumpek.
Dunia hiburan yang sangat dekat dengan kemewahan dan terkesan berkelas. Rayuan make up dan sikap-sikap yang sudah ter-mind set dengan sendirinya, menjadi adu dan bulu domba mereka”


------------------------------------------

Dalam sistem kapitalisme, kaum buruh cenderung dieksploitasi, diperas tenaganya untuk menghasilkan apa yang disebut sebagai nilai lebih (surplus value). Namun, nilai lebih itu tidak kembali kepada buruh, melainkan kembali ke pihak pengusaha.
------------------------------------------


“Pasti terjadi lagi nanti walaupun akhir minggu selalu butuh terapi. Tiap sesudah jam 8 malam, saya sejenak melepas penat dan mengingat fase detik ke hari yang saya jumpai. Aneh tetapi tidak terasa benci. Ingin, saya dapat menuliskan dengan cengeng suka dukanya. Belasan gelas Jack D atau A mild menthol tidak mampu membius saya untuk menulisnya (bagi saya -yang pernah kesepian- minum dan merokok hanya faktor pendorong gaya hidup)

Waktu saya berputar di sekitar kerja dan istirahat. Kalaupun saya dapat meneruskan bacaan buku atau menonton film -yang tadinya merupakan agenda wajib- itu dilakukan disela-sela istirahat saya dan pasti sambil terkantuk-kantuk. Menonton dan menelaah apa yang sudah saya kerjakan saja sangat sulit. Bagaimana mungkin saya dapat beragumen dalam pengendalian pembuatan media visual ke penontonnya? Atau bahkan membayangkan dan menyelaraskan upah per video yang sudah dibuat… OK, lebih baik saya bilang ini adalah tahap pembelajaran, sekalipun saya sudah menempuh Strata 1”


-----------------------------------------

Berangkat dari paradigma fatalistis, mengatakan bahwa segala sesuatu telah ditentukan langsung oleh Tuhan. Penganut pendekatan pasivisme-religius ini tidak begitu peduli soal kemiskinan ataupun ketimpangan sosial. Ada atau tidaknya kemiskinan ataupun ketimpangan sosial bukanlah urusan manusia, melainkan sepenuhnya urusan Tuhan.
------------------------------------------


“Kadang saya tidak menyukai makan siang di kantor, sekalipun saya akrab dengan para kokinya. Menunya disamaratakan seperti para napi, makan siang bersama sambil menunggu orang-orang yang ‘sedang’ kudus. Ada suatu ruangan dalam rutinitas saya yang disakralkan. Tempat itu dibuat seolah sunyi, dan dipenuhi senandung lirih malaikat yang tidak bersahabat. Malaikat buatan. Mereka beradu akting di depan Tuhan.

Agama manapun, ada yang saling berebut hati akan Tuhan-nya dan dengan cara-nya masing-masing. Dan Demi Tuhan (Tuhan siapapun), jauh dipenglihatan saya, beragam khotbah yang dikoar-koarkan itu semakin terdengar layu menggebu. Hubungan keseimbangan dalam fundamental agama seakan tidak terpikirkan. Tampaknya lupa akan hubungan horizontal (manusia dengan manusia) yang sebenarnya bisa menopang hubungan vertikal (manusia dengan Tuhan).
Laba didapatkan dari keringat mesin buruh. Lantas, seruan ibadah untuk buruh bukannya kedok untuk menetapkan mereka menjadi hamba sahaya belaka? Bukankah sama saja seperti menyembah berhala? Uang kok di-dewa-kan melebihi Tuhannya?”


“Nafas ini belum berakhir, kamar saya yang semakin larut semakin dingin akan tetap hangat mengingat, besok saya bertemu teman-teman saya...”


::Tetap dalam belajar apapun, teologi merupakan landasan penting bagi umatnya. Semuanya ada ditangan saya. Saya adalah mereka::







A hardly tribute to ma beloved mates…

Everyday is a hard day.
Hepi may day… : )
030510
Share
Tweet
Pin
Share
No komentar
Tiba-tiba hari ini saya muak ketika dipaksa-teringat akan hedonisme di sekitar saya Sekadar memberi tahu, Hedonisme (sesuai dalam Kamus Ilmiah Populer) adalah doktrin yang mengatakan bahwa kebaikan yang pokok dalam kehidupan adalah kenikmatan.


………………

Yang terjadi diluar sana sangat bising. Pijakkan kaki saya yang sudah mempetakan beberapa tempat, terasa ngilu dan susah diobati. Manusia dan duniawi menjadi manusiawi. Saya bukan memungkiri, toh ada dalam lingkaran saya. Saya setuju dengan ide-ide gila karangan tak bernama.


Mendadak para mereka jadi skeptis,

Ada satu, sangat kaya tapi hitam. Yang lain, penuh pura-pura tapi terlihat sama dengan tai kucing.
Ini!
Ada juga 'suka' blues namun sesungguhnya dia sangat kudus.
Pernah suatu ketika, rok, rock, dan rokok yang berasa menjadi perempuan tangguh akhirnya bernyali ciut ketika disuruh menjabarkan semua yang dia katakan.
Atau para new bie di dunia musik indie yang kebanyakan sok tidak suka pada sepatu nike dan anti major label.
Di sekitar kubu yang lain, ada yang menganut sekte keindahan. Saking bersyukurnya, dia mengampuni segala dosanya sendiri.
Saling berlawanan tetapi masih berlari, para pelacur pintar dan bodoh, tetap saja pelacur. Menjajakan seks yang sudah banal. Saat ini, saya berbicara tentang pelacur seks (saya sedang tidak ingin berdebat dengan arti ‘pelacur’ lain).
Lelaki, mereka saling berebut hati. Suka akan jajan sembarangan. Mudah mencaci dan pergi. Mengagumi dan silih berganti.
Saya pikir, Dia bukan dia sendiri. Dia berarti mereka.
Cukup.
Memang tidak semua, dan saya punya lingkaran kecil di dalamnya. Tugasnya menyaring sesuatu dari lingkaran besar. Lingkaran ini berisi sedikit dan berwarna merah jambu. Terletak di dalam tetapi solid, bersifat sodalisme dan bukan se-akan-akan. Silahkan tebak sendiri isinya, saya suka bermain tebak-tebakan.


Lingkaran ini kemudian saya potret dan saya simpan di Drive D sebagai data di otak saya.

Saya biarkan lingkaran ini berputar sendiri-sendiri. Saya merasa nikmat akan hidup saya. Mereka melengkapi saya menjadi seorang saya. : D



menantang semarang, 240410
Share
Tweet
Pin
Share
No komentar
Adalah saya, yang hanya mempunyai daya juang tingkat tinggi dari mimpi. Melihat sekitar bisa menjadi sebuah imaji tersendiri yang sesenggukan. Tidak adil ketika saya membahas usia, ketika itu. Kepada orang disekeliling saya yang banyak pengetahuannya, kadang membuat awan sebagai ruang hidup, pohon sebagai tempat curahan hati, ataupun hujan isyarat tangisan diri.
Mereka bilang saya berlari mencari jati diri - dengan bodohnya, saya bisa bertempur melawan mereka. Saya bilang, jati diri adalah bentuk. Sesuatu yang bisa saya bentuk. Bukankah kita bisa menggambar apa yang kita inginkan dan bukankah kita bisa memakai berbagai pakaian sesuai mood kita?
Namun itu, saya sengaja tidak belajar menelaah jauh tentang pribadi orang lain.
Hanya...
Entah sampai bilangan berapa cinta saya, sesudah sebelumnya...
Sungguh setengah mati, menulis puisi seolah picisan bangsat yang tiada guna. Saya kesulitan hendak merangkai satu-satu alphabet di keyboard ini.
Saya berusaha memungkiri, kini bentuk yang seolah samar dan memudar lebih baik saya buang saja. Saya tidak ingin mendaur ulangnya, biar orang lain sajalah.
Dan siapa yang tau..., hujan pun dapat menjadi hangat dan ceria tidak seperti biasanya...
Share
Tweet
Pin
Share
No komentar
Ketika semakin hari apa yang saja kerjakan melebihi 12 jam dari 24 saya, ada sesuatu yang tidak saya bicarakan kecuali humor yang menyegarkan pikiran.
Otak kanan dan kiri saya tidak mau menganggur oleh apapun. Saya sedih sekali, mengetahui banyak orang yang tidak menggunakannya.
Entah kenapa, saya menilai segala sesuatu yang tidak nyaman pada diri saya - hal itu terlihat bodoh.
Saya tidak menyamakan saya dengan siapapun, saya sedang belajar.
Namun, saya tidak selalu berlomba-lomba meng-update fesbuk, memikirkan bagaimana cara menarik lawan jenis, membicarakan keburukan orang, atau bebicara tidak senonoh.
Sumpah mati, saya ketakutan oleh keangkuhan yang saya miliki itu.
Para teman-teman (saya banyak memilih-milih teman dekat), sekadar ikut diskusi, menonton pameran, film-film dan buku-buku yang mengisi waktu senggang saya, adalah sesuatu yang membuat saya menilai pintar atau bodoh.
Setiap hari, saya dikelilingi oleh bermacam-macam tipe orang.
Perbedaan seharusnya tidak dapat menjadi tolok ukur sebuah kesempurnaan. Sebaiknyalah, pada perbedaan itu, sesuatu dinilai dari posisi dan keadaan disekitarnya. Maka, nilai tidak dapat diukur dari satu sudut pandang saja,
Saya tidak percaya para Rangking kelas, Rating atau Share.
Semua orang berhak menilai apapun melalui sudut pandangnya.
Pada catatan saya, saya berusaha menjalani segala sesuatu dari sendiri dengan enggan berkomentar jauh pada apapun yang tidak bisa diterima oleh akal sehat saya.
Selanjutnya, saya lebih suka berbagi pengetahuan dan pengalaman yang bermanfaat bagi bersama.
Saya tidak akan menilai bodoh, saya angkat topi saya setinggi-tingginya.
Share
Tweet
Pin
Share
No komentar
Newer Posts

HELLO!


I'm Yosa Irfiana. A scriptwriter lived in Magelang. Blog is where i play and share. Click here to know about me.

FIND ME HERE

  • Instagram
  • Twitter
  • Facebook
  • Google Plus

Blog Archive

  • ►  2023 (1)
    • ►  January 2023 (1)
  • ►  2022 (14)
    • ►  December 2022 (1)
    • ►  October 2022 (1)
    • ►  August 2022 (2)
    • ►  July 2022 (1)
    • ►  June 2022 (1)
    • ►  April 2022 (2)
    • ►  March 2022 (2)
    • ►  February 2022 (3)
    • ►  January 2022 (1)
  • ►  2021 (60)
    • ►  December 2021 (1)
    • ►  November 2021 (3)
    • ►  October 2021 (3)
    • ►  August 2021 (3)
    • ►  July 2021 (2)
    • ►  June 2021 (3)
    • ►  May 2021 (15)
    • ►  April 2021 (21)
    • ►  March 2021 (2)
    • ►  February 2021 (2)
    • ►  January 2021 (5)
  • ►  2020 (44)
    • ►  December 2020 (5)
    • ►  November 2020 (2)
    • ►  October 2020 (4)
    • ►  September 2020 (5)
    • ►  August 2020 (3)
    • ►  July 2020 (7)
    • ►  June 2020 (6)
    • ►  May 2020 (1)
    • ►  April 2020 (4)
    • ►  March 2020 (2)
    • ►  February 2020 (3)
    • ►  January 2020 (2)
  • ►  2019 (89)
    • ►  December 2019 (5)
    • ►  November 2019 (7)
    • ►  October 2019 (6)
    • ►  September 2019 (10)
    • ►  August 2019 (6)
    • ►  July 2019 (6)
    • ►  June 2019 (9)
    • ►  May 2019 (9)
    • ►  April 2019 (8)
    • ►  March 2019 (7)
    • ►  February 2019 (7)
    • ►  January 2019 (9)
  • ►  2018 (135)
    • ►  December 2018 (21)
    • ►  November 2018 (17)
    • ►  October 2018 (9)
    • ►  September 2018 (9)
    • ►  August 2018 (10)
    • ►  July 2018 (9)
    • ►  June 2018 (12)
    • ►  May 2018 (9)
    • ►  April 2018 (9)
    • ►  March 2018 (9)
    • ►  February 2018 (10)
    • ►  January 2018 (11)
  • ►  2017 (116)
    • ►  December 2017 (8)
    • ►  November 2017 (7)
    • ►  October 2017 (8)
    • ►  September 2017 (9)
    • ►  August 2017 (8)
    • ►  July 2017 (11)
    • ►  June 2017 (8)
    • ►  May 2017 (11)
    • ►  April 2017 (8)
    • ►  March 2017 (12)
    • ►  February 2017 (15)
    • ►  January 2017 (11)
  • ▼  2010 (9)
    • ▼  November 2010 (9)
      • Meminjam Senyuman
      • “Ini hot coklat atau tim coklat?”
      • Tidak coklat dan tidak kuning…
      • Kalau sama-sama di beri gratisan otak, kenapa tak ...
      • Lebih Baik Kamu Berbicara Pada Cermin (daripada ke...
      • Ijinkan Saya Memaki Kali Ini
      • Masalahnya Bukan Pada Segala Tampilanmu
      • Bahwa hujan 'kini' tidak se-satir 'dahulu'
      • Sobekan Catatan Lama yang Saya Perbaharui

CATEGORIES

  • HOME
  • BABBLING
  • BEAUTY
  • FREELANCERS THE SERIES
  • HOBBIES
  • LIFE
  • PARENTING
  • BPN 30 DAY BLOG CHALLENGE
  • BPN 30 DAY RAMADAN BLOG CHALLENGE 2021

BEAUTIESQUAD

BEAUTIESQUAD

BLOGGER PEREMPUAN

BLOGGER PEREMPUAN

EMAK2BLOGGER

EMAK2BLOGGER

Total Pageviews

Online

FOLLOW ME @INSTAGRAM

Created with by ThemeXpose