Mungkin postingan kali ini, akan sangat bertolak belakang sama kebiasaan orang tua kami sendiri. Eh sorry, bukan mungkin lagi sih kayaknya, tapi hampir 100 persen yaqin. Soalnya gimana enggak yakin ya, wong mertua sama orang tuaku sendiri saja punya kebiasaan kompak kok. Tahu apa? Yes, nyimpen barang (yang menurut mereka) berharga. Well i know, definisi berharga memang beda-beda ya.
Permasalahannya adalah, semua barang tampak berharga kalau kita enggak bisa pilah pilih mana yang berguna. Alhasil kalau mau dibilang semua yang mereka simpan itu berharga, sebenernya, enggak juga loh ya...
Kalau dirunut, Mamaku masih paling mending. Agak berbeda, nyimpen barangnya pun termasuk yang masuk akal. Mama lebih suka buang barang kecil-kecil yang bertumpuk, saking seringnya bahkan barang yang masih kami senangi dibuang gitu saja. Sampai pernah Mama kasihkan baju kesayanganku ke tetangga, padahal menurutku itu masih bagus, tapi menurut Mama, bajuku tersebut sudah enggak muat lagi.
Itu belum seberapa. Pas adekku wisuda, dia diselametin temennya pakai MMT besar bertuliskan "CONGRATULATION DIAS SENJA", lengkap sama wajahnya tertampang nyata. Nah, MMTnya itu sudah lama disimpen di gudang rumah Mama, karena adekku lalu kerja di Semarang. Eeeeh waktu beberes barang, MMTnya dibuang dong, tanpa adekku tahu.
Beberapa hari setelahnya, waktu adekku pulang ke Magelang, dia lewat di sebuah kampung. Tahu enggak, itu MMT bertuliskan nama dan wajahnya yang segedhe gambreng, terpasang di tempat orang jualan gorengan! Dan adekku sendiri yang nemuin, BAYANGKAN!
Ya untungnya adekku maklum sih, namanya juga Mama. Memang sudah dari dulu seperti itu, enggak bisa diubah lagi hahaha.
Okay, sudah cukup jelas kan Mama suka beberesnya gimana? Nah, tapi ada kok beberapa barang yang Mama eman-eman banget, dan itu enggak tanggung-tanggung. Contohnya, buffet, lemari, dan kasur, semua serba kayu. I mean gini, Mama kan sekarang rumahnya lebih kecil, tipe 38, Kenapa masih bertahan nyimpen barang yang memenuhi ruangan sih. Mbok ya dijual saja ketimbang sumpek. Ini enggak loh! Beliau kekeuh enggak mau jual dengan alasan sayang.
Cuma, hal tersebut bisa diakali karena Mama pintar ngatur barang. Jauh berbeda dengan Papa. Tingkatan nyimpen barangnya juga jauh melampaui Mama. Kebanyakan perkakas kalau aku bilang. Ya masa' rumah kecil tapi beli kursi jati nagrong-nagrong gedhenya? Padahal barang lain kayak buffet, sisa etalase tokonya Papa, sampai meja kursi dapur sudah cukup bikin rumah penuh. Lha ini ketambahan kursi ukiran, tambah sumpek tuh rumah. Mana masih banyak pernak-pernik jarang kepakai kayak speaker, onderdil, dll yang enggak diberes-beresin. Rumah Papa tambah sesak. Dan giliran ditanyaian buat apa nambah barang, katanya ada orang butuh, terus Papa enggak enak.
Keleeeuuus. Lebih enggak enak mana sih, sama buang duit buat barang percuma kayak gitu?
Eits tapi ada yang tingkatannya di atas Papa, siapa lagi kalau bukan: Mertua. Tingkatannya sudah beyond galaxy. Kalau mau dipersempit lagi istilahnya, akan menunjukkan tanda-tanda tipe hoarder aka penimbun barang. Masih mending deh, kalau yang disimpen kaset, foto, atau buku. Lah ini sampai barang-barang lama macam kompor, oven, kardus bekas kulkas, kardus bekas magic com, semua ada. Mungkin kalau mau uplek di gudang, ada kali peninggalan sejarah megalitikum!
Mertuaku memang hobi nyimpen barang di gudang hingga seabreg-abreg. Bisa jadi karena rumah mereka luaaas, dan barang-barang yang bertumpuk enggak kelihatan sesak.
Itu belum seberapa. Pas adekku wisuda, dia diselametin temennya pakai MMT besar bertuliskan "CONGRATULATION DIAS SENJA", lengkap sama wajahnya tertampang nyata. Nah, MMTnya itu sudah lama disimpen di gudang rumah Mama, karena adekku lalu kerja di Semarang. Eeeeh waktu beberes barang, MMTnya dibuang dong, tanpa adekku tahu.
Beberapa hari setelahnya, waktu adekku pulang ke Magelang, dia lewat di sebuah kampung. Tahu enggak, itu MMT bertuliskan nama dan wajahnya yang segedhe gambreng, terpasang di tempat orang jualan gorengan! Dan adekku sendiri yang nemuin, BAYANGKAN!
Ya untungnya adekku maklum sih, namanya juga Mama. Memang sudah dari dulu seperti itu, enggak bisa diubah lagi hahaha.
Okay, sudah cukup jelas kan Mama suka beberesnya gimana? Nah, tapi ada kok beberapa barang yang Mama eman-eman banget, dan itu enggak tanggung-tanggung. Contohnya, buffet, lemari, dan kasur, semua serba kayu. I mean gini, Mama kan sekarang rumahnya lebih kecil, tipe 38, Kenapa masih bertahan nyimpen barang yang memenuhi ruangan sih. Mbok ya dijual saja ketimbang sumpek. Ini enggak loh! Beliau kekeuh enggak mau jual dengan alasan sayang.
Cuma, hal tersebut bisa diakali karena Mama pintar ngatur barang. Jauh berbeda dengan Papa. Tingkatan nyimpen barangnya juga jauh melampaui Mama. Kebanyakan perkakas kalau aku bilang. Ya masa' rumah kecil tapi beli kursi jati nagrong-nagrong gedhenya? Padahal barang lain kayak buffet, sisa etalase tokonya Papa, sampai meja kursi dapur sudah cukup bikin rumah penuh. Lha ini ketambahan kursi ukiran, tambah sumpek tuh rumah. Mana masih banyak pernak-pernik jarang kepakai kayak speaker, onderdil, dll yang enggak diberes-beresin. Rumah Papa tambah sesak. Dan giliran ditanyaian buat apa nambah barang, katanya ada orang butuh, terus Papa enggak enak.
Keleeeuuus. Lebih enggak enak mana sih, sama buang duit buat barang percuma kayak gitu?
Eits tapi ada yang tingkatannya di atas Papa, siapa lagi kalau bukan: Mertua. Tingkatannya sudah beyond galaxy. Kalau mau dipersempit lagi istilahnya, akan menunjukkan tanda-tanda tipe hoarder aka penimbun barang. Masih mending deh, kalau yang disimpen kaset, foto, atau buku. Lah ini sampai barang-barang lama macam kompor, oven, kardus bekas kulkas, kardus bekas magic com, semua ada. Mungkin kalau mau uplek di gudang, ada kali peninggalan sejarah megalitikum!
Mertuaku memang hobi nyimpen barang di gudang hingga seabreg-abreg. Bisa jadi karena rumah mereka luaaas, dan barang-barang yang bertumpuk enggak kelihatan sesak.
Tapi heran juga, karena pernah nih, beberapa waktu lalu, mungkin karena habis buka-buka barang di gudang, mertua lalu ngirimin kami baju-baju lama Suami dan adek ipar waktu masih kecil. Literally baju model oldskool terus agak disko 80-an gitu loh. Ada juga baju renang, model lawas yang ada roknya berlipit-lipit. Oh enggak cuma itu, bahkan ada baju masa kecil Suami di mana itu juga seragam acara keluarga. Berwarna hijau yang sudah agak pudar dan ada tulisannya "JAKARTA 1987".
Kata mereka, sayang kalau dibuang, kan kenangan, siapa tahu bisa dipakai sampai cucunya. Well, finally yes for now, Alya pakai baju masa kecil Papanya. Agak kepaksa juga sebenernya.
Jujur ketika beberapa barang tersebut sampai rumah, reaksi kami kayak: "wow busyet! ini nambahin tumpukan barang kami atau gimana?". Alih-alih ngerasa nostalgic, yang ada malah takjub! Ya kok bisa sih, bertahun-tahun lamanya disimpen rapi, dan ini dipakai ke generasi selanjutnya. Okelah mungkin kalau dibikin konsep foto bakal keren, tapi enggak gitu juga kan. Wong dulu Suamiku enggak ada fotonya juga. T.T
Habis itu masih mikir, "ini kalau Alya sudah enggak muat lagi, ya masa' mau disimpen lagi sampai cicit?"
Bayangan kami, baju tersebut pasti bakal makin pudar. Apa enggak sekalian saja dilaminating biar jadi warisan turun temurun? T.T
Maka, akhirnya kami mau enggak mau simpan barang tersebut di kardus, dengan maksud, supaya enggak nyakitin orang tua kami. Nanti kalau pas ke sini, terus nanyain dan barangnya enggak ada, wuah, berabe! Bisa perang Baratayuda.
Yes, perbedaan pemikiran kami dengan orang tua, karena kami sekarang menganut paham, hidup minimalis. Pelan-pelan sih, belum bisa semuanya.
Yes, perbedaan pemikiran kami dengan orang tua, karena kami sekarang menganut paham, hidup minimalis. Pelan-pelan sih, belum bisa semuanya.
Beberapa minggu lalu, kami beneran bongkar barang serumah. Menyortir, membersihkan, dan menata kembali perabot rumah supaya lebih ringkas dan longgar. Apalagi Alya kan sudah tidur sendiri, dan kamarnya pun kudu enggak pengap biar asmanya enggak gampang kambuh.
Sortir barangnya berasa enggak habis-habis deh. Dulu pernah boneka sampai 3 dus sendiri akhirnya dihibahkan ke anak-anak kecil lain yang lebih membutuhkan. Alya sih kalau beberes rumah kayak gini sudah ngerti, nanti ada barang yang harus dipilah, and its okey for her. Dia sudah ngerti konsep berbagi.
Nah, awalnya memang cuma pengen nata kamar Alya saja kan, tapi setelah dipikir-pikir, kenapa enggak sekalian saja. Soalnya barang-barang di kamar belakang juga banyak, jadi harus disingkirin karena kasurnya juga tukeran sama Alya.
Ternyata secara enggak sadar, selama ini kami tinggal sama sampah loh, huaaa. Iya, beberapa barang yang enggak kepakai akhirnya jadi rusak dan enggak bisa dipakai lagi. Kalau sudah begini, sudah enggak sayang lagi kan. Makanya, besok-besok begitu tahu ada barang layak pakai tapi sudah enggak kami pakai, mending dihibahkan saja deh, beneran. Daripada jadi enggak berguna?
Baca juga: Ngomongin Koleksi
Baca juga: Ngomongin Koleksi
Buku-bukupun juga kami pilah pilih, mana ada yang sudah dimakan rayap pula hiii. Ini mau enggak mau diberesin. Lalu perabot di kamar dipilih yang paling minim biar kelihatan luas. Sementara meja yang agak besar, kami jadikan meja makan. Maklum kami selama ini makannya di bawah, meja cuma berfungsi buat meletakkan menu saja.
Seharian rasanya enggak cukup buat beberes rumah. Tapi seenggaknya kami sudah siap mengumpulkan barang enggak terpakai buat disetor ke Bank Sampah Komplek. Hehehe. Kompleknya sudah punya Bank Sampah jadi ku sungguh senang.
Oh iya, kami berhasil memanfaatkan perabot besar tanpa membuangnya sama sekali. Yang kami buang hanya pernak-pernik yang penting semacam vintage stuff yang sudah buluk, mainan rusak, baju, tas, sepatu, botol, dan seabreg-abreg barang warisan zaman ngekost.
Alhasil, rumah kecil kami terasa longgar yeeee!!!
Anyway, beberes kayak gini bikin kami bersyukur. Karena selama ini, kami justru berlebihan.. Dan percaya enggak percaya, lihat tumpukan barang yang terbuang, bikin mikir dua kali kalau mau beli barang lagi. Mau sepatu, mau baju, mau perabot dapur, beneran, besok-besok pasti mikir ini penting enggak?
Sekarang kami cuma sepatu yang ya dipakai saja, wong artis bukan, selebgram juga bukan. Jadi ya enggak keharusan. Outfit sehari-hari cuma hasil mix and match. Misal pengen beli lagi, harus relain beberapa buat orang lain. Lemari sekarang sudah enak banget menatanya.
Baju-baju Alya juga gitu kok. Mana seumur Alya kan gampang gedhe ya, jadi baju dan sepatu yang ketat langsung dihibahkan. Kadang Alya sendiri dapet lungsuran dari kakak-kakak sepupunya. Dan ya kayak gitu di keluarga kami.
Kami percaya gini, setiap barang punya tuannya, dan tuannya bisa silih berganti, enggak cuma satu dua saja. Maka, jika ada barang yang enggak kepakai, kalau masih bagus kami hibahkan, sementara kalau enggak kepakai, disetor ke Bank Sampah.
Alhamdulillah, pelan-pelan mengurangi hasrat menjadi impulsif buyer. Beli barang semampunya, sebutuhnya. Enggak usah ngoyo, enggak perlu gengsi. Karena yang nikmatin ya kita sendiri. Bener enggak sih? Hehehe.