3 HARI DI DESA SEMBUNGAN DIENG (PART 2)

by - January 14, 2019

Karena kami enggak punya rencana sendiri dan memegang prinsip "manut penak", maka 3 hari di Desa Sembungan, terasa lebih banyak golar golernya. Plus namanya juga ini dalam rangka main ke rumah temen lama, yang kebetulan rumahnya kok di area wisata, yo wes cucok. Acara enggak ngapa-ngapain pun tetep berasa liburannya. Seenggaknya bagi kami yang merindukan piknik akibat sibuk kerja dan hanya di rumah doang.


Well, liburan ini sebetulnya baru kerasa di hari kedua. Tapi memang, sejak pagi kami habiskan hampir setengah hari di Sikunir. Dari mulai mendaki sejak subuh, cari sarapan, beli kaus tangan, beli topi, dan foto-fotoan sampai keki. Enggak tahu ya, rasanya kok ada saja spot buat foto yang bagus. Bahkan sampai di danau pun kami sempetin foto tepatnya di tenda-tenda yang sudah terpasang. 

Oh iya, kalau kalian nginep sini, banyak loh pilihannya. Mau nginep di rumah penduduk, cari homestay, atau bikin tenda di tepi Telaga Cebongan? Semua bisa kamu sesuaikan sama budget serta kondisi. Kalau kami sendiri enggak mungkin kan pasang tenda, mana ngajak Alya sama Mama. Lihat Alya dan Mama bisa tidur nyenyak saja, sudah agak lega kok.

Salah satu alasan kenapa kami nginep di rumah Dian Yogi adalah karena waktu tahun baru, kamar di homestay enggak ada yang kosong blas! Semua penuh. Bahkan waktu malam tahun baru sampai ada yang bener-bener mau ngemper saking enggak dapat tempatnya. Untung sih, ada temen, coba kalau enggak.



Rasanya tepat memutuskan tidak naik ke Sikunir pas malam tahun baru. Gimana enggak, waktu kami turun, pengunjung makin banyak. Aku lihat kebanyakan masih muda sih, paling kalau bawa anak cuma satu dua. Satu dua yang nekat kayak kami tentunya. Hehehe.

Tapi sebenernya enggak apa-apa banget loh ngajakin anak mengenal wisata alam. Apalagi kalau memang suka sama alam. Kalau aku pribadi nih ya, disamping biar imun Alya terlatih dingin, juga pengen nantinya Alya punya banyak wawasan. Ya contohnya saja, ketika Alya lihat Kanaya. Serius, dia seneng banget dan Kanaya bikin Alya berpikir luas "eh ternyata ada anak kecil yang bisa mendaki gunung juga ya" atau "wow ternyata anak lain banyak yang lebih pintar dan lincah ya" Hahaha. 

Enggak bermaksud membandingkan, hanya saja, menurutku efeknya jadi baik buat Alya. Gara-gara Kanaya, Alya lebih bisa menghargai dan bersyukur atas apa yang dia capai selama ini. Selama di Dieng, Alya enggak rewelan tuh, nangis saja masih kelihatan sopan, enggak kayak waktu di rumah. Aku sendiri juga kaget kok.


Berkunjung ke Sikunir, enggak lengkap tanpa ke Telaga Cebongan. Tempatnya ada di area parkir doang kok, enggak jauh-jauh. Sayangnya, sekarang flying fox sama perahunya sedang dalam perbaikan dan vakum. Padahal lumayan pengen juga naik flying fox terus nyebrang danau. Asik gitu hehehe.


Sepulang dari Sikunir, kami sampai rumah jam 11-an. Bisa ditebak habis itu ngapain? Ya tidur lah, sudah paling bener. Habisnya capek plus dingin. Mau umbah-umbah, mau buka laptop, atau mau jalan-jalan lagi serasa enggak mungkin. Tenaga kami kayak sudah habis gitu di atas, sampai rumah langsung selonjoran sama minum Teh Tambi. Setelah itu baru tidur siang. 

Di sini aku juga baru tahu, warga Desa Sembungan, kalau pagi langsung ke sawah. Nanti siang gitu pulang buat istirahat, makan, dan sholat. Lalu balik lagi ke sawah ketika sore dan bener-bener baru pulang rumah jam 4-an. Makanya, jangan heran kalau adzan di sini menyesuaikan para petani sepulang dari sawah. Dhuhur bisa jam 1 an, sedangkan ashar jam 4 an. Kalian bisa sesuaikan sholat sesuai dengan waktu yang sudah ditentukan lewat aplikasi, atau nunggu adzan dari mushola terdekat dan ikutan jam mereka sholat.

Beberapa warga kalau siang kadang menyempatkan diri tidur siang. Mungkin juga saking dinginnya dan kerasa lebih capek kali ya. Aku enggak bohong deh, waktu itu suhunya sampai 15 derajat, disertai gerimis yang bikin kabut justru makin tebal. Kata Mas Bukhori sih, kalau hujannya deres sekalian malah enggak kabut, awan jadi bersih dan pemandangannya makin terang. Nah, kalau gerimis kayak gini nih, mau banyakin motret juga sedih. Nanti malah dikira flogging besar-besaran dan enggak dipercaya kami motret sampai Dieng kan berabe. Hehehe.


Tapi, kebanyakan tidur di sini bikin badan encok sih. Penyebabnya antara dua, satu karena tulangku yang sensitif, atau dua, karena enggak nyenyak tidur gara-gara meringkuk kedinginan bikin badan ketekuk sepanjang malam. Yang jelas, badan lebih enakan diajak bergerak karena secara enggak sadar bikin kita beradaptasi sama lingkungan.

Demi menggerakkan badan supaya enggak cuma meringkuk kedinginan, aku kadang jalan santai cari makan, cari snack, pokoknya jalan entah kemana. Enggak perlu takut kesasar, wong ruas jalannya satu itu saja kok. Terus sayangnya di Desa Sembungan belum ada toko besar yang menyediakan aneka macam snack dan roti. Ada sih toko kelontong kecil, maka barang yang dijual pun enggak terlalu banyak pilihannya.


Satu tips harap dicatat, kalau mau nginep lama di Desa Sembungan dan mager kemana-mana, mendingan kalian siapkan makanan sejak dari kota. Trust me, hawa dingin bikin kalian kelaperan terus.

Okay, sekarang kita ngomongin wisata lain selain Bukit Sikunir yuk, yakni Air terjun Sikarim yang bisa ditempuh sekitar 10 menitan naik motor. Hanya saja, jalanan ke Air Terjun masih diperbaiki supaya lebih lancar ke depan. Jadi mobil belum bisa lewat sini. But calm down, proyek ini bakalan selesai tahun 2019 kok. Jalanannya pun bakalan aspal super mulus dan besar untuk akses ke Sikarimnya.

Sikarim ini berada di antara Bukit Bisma dan Bukit Sikunir pada ketinggian 1.800 MDPL. Air terjunnya berasal dari limpahan telaga cebong yang mengalir menuruni tebing pebukitan setinggi hampir 9 meter dan jatuh ke Sungai Mlandi. 

Di Sikarim, hampir enggak tampak orang mandi kayak air terjun biasanya. Ya gimana yaaa, orang di sana saja dinginnya kayak apa, mandi bukanlah hal yang utama. Paling banter pegang airnya buat cuci muka saja biar enggak sia-sia haha.

Air Terjun Sikarim nantinya akan jadi alternatif wisata. Walaupun sudah dari dulu terkenal, cuma kan dulu jalannya kecil, lewat jalan setapak, dan hanya bisa dilalui motor. Kalau jalan aspal besar sudah jadi, bisa dipastikan pengunjung makin bertambah. Bukit Sikunir saja sudah ramai gitu, gimana ketambahan air terjun yang gampang aksesnya. Kebayang kan, membludaknya wisatawan kayak apa.


3 hari di Desa Sembungan sebenernya punya puncak acara, apalagi sih kalau bukan pelepasan lampion di Telaga Cebong. Rencanaku gini, nanti kami bakal motret di ketinggian Sikunir atau di tempat makan Pak Carik karena viewsnya langsung danau. Terus Mama sama Alya nungguin di danau sambil lihat lampion. Alya sudah aku wanti-wanti supaya bobok gasik, biar nanti malam enggak ngantuk. FYI, Alya memang sudah tertarik sama pelepasan lampion. Berkali-kali bilang kalau itu tuh sama kayak scene-nya Tagled, di mana Rapunzel sama Flynn sedang bernyanyi di perahu dengan latar belakang istana dan festival lampion. One of Alya's favorite movie. Okay, Alya beres. Jadi jam 8 malam setelah makan, kami langsung tidur.

Tapi tampaknya kenyataan berbicara lain. Jam 10-an ketika Dian Yogi membangunkan kami, terdengar rintik hujan yang bener-bener bikin hawa makin duingiiiin. Mama dan Alya masih pulas, sampai kami enggak tega buat ngebanguninnya. Cuma Suami sih yang lalu cekatan dan bersiap motret. Aku pun bingung, mau ikut atau stay di rumah nemenin Alya sama sama?

Baiklah, akhirnya aku memutuskan tinggal di rumah saja. Hahaha. Keputusan yang tepat karena sampai sana, Suamiku bilang, dia jadi gagal motret karena acara enggak kondusif. Hujan makin malam makin deras, tapi sangar loh, beberapa penyanyi dangdut masih terlihat berbusana ala penyanyi dangdut meriah. Apa enggak kedinginan yak hehehe.


Puncak acara menerbangkan lampion serta nyalain kembang api yang sudah dipasang siang tadi, otomatis gagal. Kembang api ((MEJEN)) dan bola-bola helium enggak bisa terbang. Pengunjung yang memadati Telaga Cebong sibuk menghangatkan diri sambil makan di beberapa tempat makan pinggir Telaga. 

Ini Mas Bukhori sekeluarga sampai bawa tungku begini loh. Hehehe.


Misal enggak hujan, pengunjung diperkirakan mencapai ribuan. Nah, dengan kondisi seperti itu, acara jadi enggak terlalu ramai. Namun ada juga sih yang rela maju sampai depan panggung buat nikmatin pesta rakyat tersebut. Kapan lagi yakan, toh cuma setahun sekali.

Kira-kira, mereka balik ke rumah pukul 1 dini hari. Hawa dingin nan semribit masih terasa menusuk kulit. Aku langsung melek dan tanya sama Suami, karena jujur saja ya, aslinya aku pengen ikutan dan bikin enggak bisa tidur beneran hehe. 

Suami bilang "enggak apa-apa kamu enggak ikutan. Di sana aku enggak banyak motret. Lagian susah nyari tempat buat berteduh. Sudah mending kamu tidur nemenin Alya sama Mama"

Fiuh aku pun lega. 

Oh iya, cerita ini masih bersambung di hari terakhir kami di sana. Tungguin ya :)

You May Also Like

0 komentar