FREELANCER ISN'T FREE

by - January 04, 2019

In the name of freelancer, posisi ini sebetulnya sangat krusial, gawat, genting, dan sekalinya salah geser dikit saja, pekerjaanpun susah fokusnya. Aku sudah mengalami tidak hanya satu dua kali, tetapi berjuta kali dengan berbagai macam tipe orang. Ada kalanya aku dianggap 'wah keren, bisa kerja di rumah', dan pada saat itu juga orang berpikir 'minta tolong dong yos, kamu kan selo'.

In the name of freelancer, judgement tersebut bagiku berasa jeblesin kepala ke tembok. Mu-met!


Walaupun iya, aku bisa bekerja dari mana saja, misal kayak di cafe sambil minum kopi, atau di pantai denger deburan ombak yang amboy segernya, atau di gunung sambil pakai syal, adu du du (kebanyakan baca novel ini mah), sebetulnya, aku lebih tenang dan damai jika bekerja di rumah. Memastikan tiap hari kalau kumbahan sudah bersih dan kering, bisa masak makanan bergizi, lihat anak lincah nan sehat, dan oh satu lagi, irit! 

Bekerja sebagai freelancer bukan masalah keren-kerenan doang. Kalau cuma mau numpang keren dan boros karena nongkrongnya sambil minum kopi mahal, ya maap nih, memangnya aku enggak punya kebutuhan lain apa. Waktu single, it's okey dokey, buat aku yang sudah berkeluarga, ya pasti milih beli beras dong.

Aku enggak mau nakut-nakutin loh ini. Nyatanya memang begitu. Di rumah, aku mulai ngetik ketika pekerjaan rumah sudah beres, dalam artian, rumah sudah bersih, sudah ngepel, sudah pada mandi, sudah pada makan, lalu baru bisa fokus ke kerjaan. Pengennya sih semua berjalan lancar, duduk relaks, minum kopi, sambil yaaah sesekali dengerin lagunya Arctic Monkeys gitu, biar semangat. 

Tapi... tiap harinya, jangankan tenang dan fokus ke kerjaan, anak kadang ngak ngek, belum lagi disuruh bantuin keluarga, sampai unpredictable moment: ada tamu datang mak bedunduk lalu ngobrol ngalor ngidul bikin kami lupa sama kerjaan. Seriously, it hurts, karena ketika tamu pulang, kami langsung gedandapan. Yang tadinya sudah dapet ide mau nulis apa, jadi lupa! 

Tenang, itu belum seberapa. Suatu kali pernah kejadian, ada orang yang do'ain kami supaya lekas dapat kerjaan. Kerjaan tetap. Kerjaan kantoran. Defintely, ini bikin kami ngerasa enggak dihargai. Memangnya selama ini kami nganggur apa? Mbok misal mau berdo'a, do'a nya biar kerjaan selalu lancar jaya. Memangnya orang di dunia ini harus jadi pegawai semua apa? Kan enggak. Sekali dua kali, aku ora popo, lama-lama ya, gelut wae po!

via GIPHY

Mau ikutan emosi. Enggak perlu. Sekarang sudah agak mendingan kok, sudah tinggal bertiga doang. Ngatur-ngaturnya enak, paling kalau ada masalah, nyelesaiinnya cepet. Selama ini masih gantian kerja, saling pengertian saja sih. Terus Alya juga sudah enak buat diajak kerjasama. Dia sudah bisa main sendiri, tidur sendiri, dan enggak gangguin orang tuanya terus-terusan.

Namun lain tetangga, lain pula orang tua. Basic orang tuaku sendiri maupun mertua sama, mereka bekerja kantoran. Paling Papa yang wiraswasta, itupun enggak melulu diatas terus. Jadi kalau disuruh ngertiin anak-anak kerja freelancer, nomor satu pasti Papa, baru kemudian Mama, berturut-turut mertua.

Contoh utamanya: waktu Alya lahir. Beuuugh rasanya super amburadul. Gara-gara tahu kami kerjanya bisa remote dari rumah, kami dianggap selalu siap sedia bisa ngapain saja. Termasuk momong, termasuk nyuci popok tanpa mesin cuci, termasuk jalan-jalan nurutin keinginan orang tua, termasuk masak, termasuk disuruh benerin motor ke bengkel, termasuk disuruh nukang, ganti kipas angin, beres-beres rumah, dan seabrek kegiatan lainnya yang pada akhirnya bikin kami sadar "njuk kami kapan kerjanya coba?"

Giliran kami nol saldo ditanyain "Kalian enggak kerja apa gimana? Coba cari kerjaan sana!"

via GIPHY

Untuk urusan orang lain mungkin kami bisa cuek, tapi urusan orang tua, sebisa mungkin pakai komunikasi dua arah. Kudu cari celah dan cara yang pas supaya penyampaiannya enak. Mau frontal, kok kami durhaka. Mau pakai bahasa pertanda, ya kapan jelasnya. Susah? Pasti dong, kami lebih banyak mbategnya kalau sudah mentok. Soalnya jujur saja nih, endingnya kami lebih sering ngalah daripada kenapa-kenapa.

Beruntung kami enggak satu rumah lagi sama orang tua. Palingan kalau mertua lagi kesini beberapa hari, kami butuh ancang-ancang biar nanti enak kalau disuruh nganterin kemana-mana. Serius deh, kami pasti siapin dana dan spare waktu lebih, khusus buat mereka. Terdengar berlebihan ya, tapi itu faktanya.

Makanya, awal kami dapat kontrakan, dan bebas dari orang tua masing-masing, rasanya merdeka banget. Dalam hati kayak enggak sadar nyanyi: THIS IS MY KINGDOM COME, THIS MY KINGDOM COME.

Pada dasarnya, kami sadar, susah menerjemahkan arti freelancer pada orang yang terbiasa punya jam kantor dan menganggap pekerja kantoran itu sakses. Iya sih, lebih aman dan menjanjikan, apalagi kalau kita dispilin dan punya prestasi, karir jadi naik terus. Beda sama kerjaan freelancer, kadang invoice saja enggak cair-cair, cari kerjaan juga senggol bacok, kalau enggak bener-bener ngerawat link dan temen, bisa mati kutu.


Hence, kami lebih pengen orang-orang di sekitar kami juga paham dan mendukung. Freelancer enggak selamanya enak loh, mereka sama-sama berjuangnya. Ada yang memang karena passion-nya, ada yang memang keadaan karena enggak keterima jadi pegawai, dan ada yang memang pengen deket sama keluarga.

Sama-sama tahu saja, kerjaan di dunia ini beraneka ragam bentuknya. Mau apapun kerjaan kamu, asal itu sesuai dengan kondisi, kebutuhan, dan enggak merugikan, lantas apa lagi yang mau dipertanyakan? Ya kan?

You May Also Like

6 komentar

  1. Wkkk
    Bener mba
    Aku pun ngerasain banget selama jadi freelancer
    Dianggep siap sedia terus
    Dianggap santai
    Dll dsb
    Kesel sih tp y udhlah
    Banyak temen wkkk

    ReplyDelete
  2. Nasib jadi freelancer ya mbak,hehe... Dianggapnya kerjanya santai, enggak ada dateline, uangnya banyak, wkwkwk. Rasanya pingin ngomel-ngomel kalo ada yg ngomong kyk gitu

    ReplyDelete
  3. Ya itu tantangannya kerja di luar pakem masyarakat. Jadi pertanyaan hihihi. Tetep semangat mbak'eee

    ReplyDelete
  4. Tetep semangat mbaaak. Walaupun bukan freelancer, tapi tahu banget rasanya diremehin orang. Kebetulan suamiku nyambi jadi desainer grafis. Duuuh kesel banget kalo ada yg enteng banget minta tolong buatin sesuatu terus bilang, "tar malem kirim desainnya ya." Seringnya aku yg marah-marah. Dikiranya suamiku pengangguran apa?! Dipikirnya bikin desain tinggal oret-oret jadi gitu?! Apalagi kalo yg minta temen, langsung tak wanti-wanti 'awas kalo cuma dikasih makasih doang. Aku gak butuh' Lah kok malah curhat 😅

    ReplyDelete
  5. Karena orang-orang merasa kalo freelancer bukan pekerjaan, harus dikasih tau perlahan-lahan sampai mereka paham arti kata freelancer. Biar gak disalah asumsikan. Wkwk. Semangat berkarya terus mbak!

    ReplyDelete
  6. sebagai seorang yang sama-samas mendirikan keluarga diawali sebagai freelancer dan tinggal serumah dengan orang tua....aku ngerti bundet'e rasane hahaha

    ReplyDelete