FEE, BRIEF, DAN REVISI

by - September 20, 2018

Kata siapa freelancer sebebas merpati? Jam terbang boleh tinggi, nama boleh dipuji, tapi kalau sudah berhubungan sama klien, wah beneran deh, apalah arti idealisme tinggi. Sama saja kok, ujung-ujungnya tetap berasa pegawai. Apa yang diminta, ya mau enggak mau dituruti. Cukup horror loh ini, mengingat niat awal jadi freelancer itu biar enggak pressure-pressure amat. Eh begitu dijalanin, ternyata sami mawon. Ntaps ya sistur.

In fact, enggak ada yang bener-bener bebas sampai kita merasakan punya klien yang asoy, loyal, ganteng (eh apa), dan satu selera sama kita. Butuh proses panjang kayaknya ya, mengingat susah amat sih dapetin klien yang sesuai harapan. Alias mending enggak usah berharap banyak deh, sudah bisa dapat klien saja Alhamdulillah kok!


Baiklah, ngobrolin soal tipe klien memang ngeri-ngeri sedep. Bukan bermaksud menakut-nakuti, cuma wanti-wanti. Mati-matian menjelaskan ke klien biar kerjasamanya berakhir enak, syukur-syukur... bisa lanjut terus. Soalnya jujur deh, enggak sekali dua kali ada klien yang bikin nyesek plus mengeluarkan kata sumpah serapah. But, the show must go on kan, boleh deh ngampet tapi project ya harus jalan terus. Setelah kelar, baru bisa mikirin: mau mempertahankan hubungan atau cukup sekian dan terima kasih. Kudu teges ya, iya!

Begini, hak dan kewajiban dalam dunia bekerja, harus balance dimanapun berada. Yang pegawai biasanya lebih banyak suara sama, jadi mudah mengkoordinirnya. Sementara yang freelancer begini, ya mending dipersiapkan mateng sebelum project jalan. Gimanapun kita kudu pegang yang namanya memorandum of understanding atau yang lebih dikenal dengan MOU.

MOU yang gimana sist? Susah amat bikin perjanjian di atas kertas? Hehehe. Paham kok kita pun anti ribet ribet club. Cuma perjanjian kudu tetap ada atau kamu bakalan sama gondoknya kayak kasus aku maupun Suamiku. Eits, jangan stereotype dulu, klien model nyak-nyak an ada loh di belahan dunia manapun. Salah satu klien tetapnya Suamiku ada tuh, dia punya resto di negara A. Beneran sak'klek, enggak jelas hitungan fee nya, plus kalau bikin revisi seenak udelnya sendiri.

Dapetin klien ini dari kontes, terus berlanjut sering order desain. Sebenarnya sudah beberapa kali Suamiku sambat soal ini klien, tapi karena cukup sering kerja sama, ego nya kudu dinomorduakan. Suatu kali, Si Klien minta desain menu, sudah minta gitu saja, tanpa ada brief yang jelas. Suamiku bikin deh tuh desain kasarnya, sesuai apa yang dipikirnya. Eh begitu disodorin, minta ganti. Bilang pengennya model begini bukan begitu tanpa ngasih apa alur yang jelas. Diganti lagi desainnya, enggak sreg lagi, sampai berkali-kali. Akhirnya Si Klien ngasih Suami contoh desain menu yang dia harapkan, setelah sekian lama revisi. Feenya pun jatuhnya enggak fair juga, karena dari awal memang enggak jelas gambarannya bakal kerja kayak gimana. Oh hell, definisi kerja keras bagai keledai mah. Yang lalu terus enggak dianggap apa-apa. Sebagai istri aku sedih dong, kerjanya sudah intens sama satu klien doang, tapi pemasukan enggak sepadan. Aselik nyesek, tapi misal mau nuntut ya kitanya yang lemah. MOUnya saja not clear enough loh kak!

via GIPHY

Satu cerita lagi dari aku sendiri yang juga pernah kena getahnya gara-gara ketidakjelasan itu tadi. Jadi, aku pernah punya klien yang mau ngajakin bikin film pendek. Wah excited donk, kapan lagi ya kan, lagian aku pengen cukup intens bikin skenario, bukan cuma naskah program televisi saja. Pengennya naik grid sedikit-sedikit lah.

Nah, karena mindset ku aku 'masih belajar' dan haus pengalaman, aku jadi lempeng nih soal harga dan nyaris enggak mikirin gimana nantinya revisi akan berjalan. Padahal urusan MOU adalah urusan urgent, bakalan jadi bumerang ke depan kalau dari awal kerja sudah enggak jelas duluan. Klienku minta cerita langsung skenario pokoknya tema besarnya ini, sudah ditentukan gitu. Cuma ya sama kayak Suamiku, briefnya enggak jelas. Mau dibikin alurnya bagaimana, karena sebelum masuk jadi skenario kan harusnya sudah ada konsep dan scene plot dulu kan. Biar kalau sudah fix aku enak ganti-gantinya. Tapi si klien berusaha mastiin kalau aku kudu pede, bikin dulu saja, urusan revisi belakangan. Saking buru-burunya si Klien bahkan iming-iming aku dibayar separuh dulu biar aku percaya. Sayangnya aku bilang enggak, so sad! 

Dan sudahlah aku bikin. Ternyata enggak sreg, dia bilang mintanya alurnya kudu cepet, enggak usah bertele-tele. Mampus, aku ubah lagi, enggak ubah lagi sih, tapi bikin lagi dari awal karena cukup merubah konsep. Revisi kedua masih belum oke, sampai entah revisi keberapa sampai aku jengkel sendiri. Dan akhirnya... dia ini bikin naskah sendiri baru aku yang melengkapin. Lah bukan salah ku dong ya, wong aku sejak awal minta brief dan konsep mateng dulu. Ternyata sudah dikerjakan seoptimal mungkin, tetep wae salah.

via GIPHY

Makanya, MOU itu tidak boleh berazaskan kepercayaan saja. Ya kalau temen masih mending lah, tapi kalau sudah kerja ya tetep jadi temen kerja sih. Kalau ada apa-apa kan kitanya sendiri yang rugi. Aku enggak mau kasus-kasus seperti ini terjadi terus. Kebayang enggak perihnya kayak apa kalau selalu diulang-ulang? Nah, beranjak dari pengalaman super pahit tersebut, kini aku dan Suami kompak bikin formula. Setiap dihubungi klien, tiga hak kita sebagai kaum penyedia jasa yang harus diperjelas adalah: FEE, BRIEF, DAN REVISI. Titik enggak ada koma.

Ketiga hal ini adalah saling berhubungan, aku enggak tahu yang paling penting yang mana dulu, karena bisa saja tergantung dengan kondisi orang, Tapi yang jelas, kalau pengucapannya sendiri lebih enak nyebutnya fee brief dan revisi, gitu. Ya kan? Hahaha (getok).

1. FEE

Bukan hal yang paling mendasar sebetulnya kalau kita sudah cinta sama kerjaan dan butuh orderan. Sayangnya, fee selalu akan menjadi tolok ukur gimana sih kerja kita ke depan. Mau yang lempeng-lempeng saja atau yang semangat 45? Berani ninggal rumah lama atau ditolak saja? Nah ini nih, fee yang berbicara.

Beberapa klien yang cukup pengertian misal ada budget pas-pas-an pasti dari awal perjanjian bilang "fee nya segini, masuk enggak kira-kira?"

Di sini aku bakal melihat dulu, worth it apa enggak. Kalau ngerjain naskah di rumah doang kan bisa lah ya, tapi kalau untuk project keluar kota, aku kudu melihat kesiapan di rumah before say yes. Ayam ungkep ready banyak, stock keju oke enggak, nanti antar jemput anak gimana, tukang cuci setrika bisa enggak jadwalnya. Semua itu butuh uang lebih sih. Soalnya aku sama suami beranjak dari pengalaman, apabila ada salah satu yang keluar rumah buat kerja, otomatis biaya rumah tangga bakalan bengkak beberapa kali lipatnya. Kalau fee nya cocok, enggak masalah. Kalau enggak cocok tinggal saja. Jangan sampai nanti malah jadi rugi sendiri. Realistis tapi sambil doa, semoga ada project ke depan yang sesuai dan lebih banyak manfaatnya.

Oiya, fee ini juga kudu jelas perhitungannya dan kapan harus dibayarnya. Jangan sampai nunggak dan gimana kompensasi kalau apa yang kita sudah kerjakan enggak dihitung. Karena kalau enggak begini, ada loh kasus yang enggak dibayar sampai sama sampai lupaaa. Terus dihitung ikhlas dan amalnya besar di surga. Ya keleus, kalau kita beneran ikhlas. Kalau dalam hati masih ngganjel, lantas apa jadinya? Makanya daripada spekulasi enggak jelas dan berujung malapetaka, mending beneran sesuai realita saja. Tagih kalau itu memang hak kamu. Tagih terus sampai ujung dunia kalau perlu.

Tapi kalau sudah ikhlas, benar-benar relakan. Jangan berharap apapun dari si Klien, tapi carilah jalan lain yang lebih lapang dan nyata.

via GIPHY

2. BRIEF
Faktor penting ini! Hubungannya sama komunikasi dan menghindari kesalahpahaman kedua belah pihak. Semacam kalian lagi pacaran, terus jalan, dan kelaperan. Kamu tanya nih sama pasangan kamu, dia bilang "oke, terserah". Ditanya lagi, mau bakso apa mau nasi goreng, jawabnya lagi "sembarang deh, yang penting hepi". Sudah deh, cari yang paling terdekat saja daripada sakit perut, dapatlah nasi goreng magelangan. Eh begitu turun si pasangan bilang: "Ah di sini kayaknya enggak enak deh. Mending cari bakso saja apa ya?"

Kemungkinannya kan 2:
1. Kita bilang: "Enggak ah, di sini saja, sudah keburu laper". Akhirnya ngambek. Putus. Cari yang lain.
2. Kita bilang: "Ya sudah, cari dimana? Kamu yang pilih ya?" Berujung ke: "Kok kamu gitu sih, kan aku bilang terserah kamu. Aku kan enggak tahu jalan"

Oke lebay, tapi bayangannya gitu lah. Kalau sama pacar kan mikirnya, untung aku sayang hahaha. Well, negosiasi memang susah susah gampang ya. Karena nanti beneran ngaruh ke revisi demi revisi yang akan kita kerjakan. Setiap bikin project gimanapun kudu jelas briefnya. Misal karakternya bagaimana, modelnya seperti apa, simple atau butuh gambar macem-macem. Kalau dari segi naskah sendiri, aku selalu pengen tahu dulu, budget film/program besar atau enggak, treatmentnya mau yang gimana, alurnya cepat atau lambat, dan banyak lagi listnya.

Misal si klien bilang kita cerewet ya enggak apa-apa sih, itu hak kita, daripada susah payah dibuat tapi nanti enggak sesuai konsep awal, ya mending dijelasin sampai mudeng duluan. Asal ngobrolnya enak dan enggak terkesan menyudutkan, aku yakin sih, klien pasti mau terbuka soal apa keinginannya.

via GIPHY

3. REVISI
Sesuai pengalaman, revisipun kudu diperjelas, kita sanggup berapa kali revisi. Jangan sampai kerjaan numpuk karena ngerjain revisi saja loh. Yang kasus Suamiku tuh revisinya enggak cuma berhari-hari, bahkan berbulan-bulan. Lagian sering denger kan omongan kerja di industri kreatif itu banyak tantangannya. Dikasih brief  A, setelah selesai diganti B, nanti direvisi lagi sampai Z, dan hasil akhirnya A dengan style C. Sumpek euy lama-lama. Mending cari kerjaan lain saja yang lebih pasti.

Sudah kapok! Makanya kita sekarang batesin tuh revisi. Aku sendiri ngasih batasan 3 revisi setiap project, lebih dari itu kena charge. Dianggep kayak overttime sewa mobil juga enggak apa-apa. Mobil saja butuh perawatan, masa' kitanya enggak. Mana biaya kalau freelancer sakit itu ya kitanya sendiri yang nanggung. Jadi bener-bener kudu dipertimbangkan masak-masak.

Ada loh temennya yang hitungan kerjanya per hours, dan kayak argo gitu saja. Kok ya ndilalah bisa dapatin klien yang cucok meong? Apa enggak mupeng!

Jadi seperti yang aku bilang, jadi freelancer harus bisa lebih tegas, jelas, dan berani menghadapi tantangan. Aku sendiri enggak punya rate khusus karena belum seterkenal itu sistur hiks. Belum berani pasang tarif gokil dan bikin kebijakan sendiri. Masih agak fleksibel apalagi nyangkut soal harga temen. Mana di sini tuh, kalau sudah bilang, "maaf budgetya segini", itu berarti... "tolong ya yos, hitung-hitung kamu kan ngebantu temen". Tetapi setelah itu temen hilang dan foya-foya sendiri. Oke bye. Aku mah dicalling pas butuhnya doang kan ya. Pret.

Btw, tulisan ini mah dalam rangka #hempaskansajaeuy. Biar enggak mbateg di isi kepala doang. Ya doanya siapa tahu bermanfaat bagi kalian yang sama-sama sedang berjuang menjadi diri sendiri dan kekeuh pokoknya seneng jadi freelancer. Yok berdoa dan berusaha terus yok, supaya kita bisa mendapatkan pekerjaan yang lancar dan bikin hati senang.

Tabik!

You May Also Like

2 komentar

  1. Hahha jadi freelancer kudu kuat mental ya Mba. Padahal dulu kalau nyebut freelancer itu kayaknya enak bgt. Free time, dan pemasukan lancar. Tapi ternyata nggak gitu juga. Semangat Mba. 😀😀😀😀

    ReplyDelete
    Replies
    1. Iya mbak, betul. Kayaknya bebas banget gitu ya, padahal mah aslinya cari2 kerjaan dulu awalnya hihi.

      Delete