“Ini hot coklat atau tim coklat?”

by - November 05, 2010

Pertanyaan spontan itu terlontar begitu pesanan saya datang saat nongkrong bersama teman lama saya di Brun’s Café. Sudah sepekan ini saya jarang menerima ajakan teman untuk berkumpul, sekedar temu kangen atau basa-basi. Padahal, jarak Semarang-Magelang bisa dilalui dalam sekejap mata dengan bus AC Nusantara.

Saya akan menghabiskan seminggu disini. Waktu yang cukup untuk mendekorasi kamar, belajar bikin kue kering, silaturahmi dan lain-lain (yang akan saya kerjakan nanti).
Selama belasan tahun saya melakukan segala aktivitas disini, kadang menjadi slide demi slide yang tiba-tiba muncul menghiasi otak saya.

Saya anak pertama dari tiga bersaudara, adik perempuan saya yang kedua masih menempuh kuliahnya, sedangkan yang terakhir adalah adik laki-laki yang super nakal. Saya mempunyai Mama yang suka bersih-bersih, memasak dan seperti ibu-ibu biasanya, bedanya Beliau adalah Mama yang melahirkan dan bisa membimbing anak seperti saya. Papa, si pekerja keras. Dulu Beliau adalah penyiar radio ternama disini, disamping menjadi agen surat kabar yang sekarang sudah banyak saingannya.

Sebagai anak pertama, mau tidak mau, sadar tidaknya, adalah mitos yang menjadi kewajiban, si sulung harus bisa menjadi panutan di antara saudara-saudaranya. Segala sesuatunya akan dipantau oleh keluarga saya. Sangat normatif. Tidak boleh ini itu dan harus begini begitu.
Saya ingat, saya bukan orang yang tenar di sekolah, walaupun banyak yang mengenal saya. Saya orang biasa, nakal, suka memberontak, cadas dan gampang bosan. Kadang saya harus melakukan apapun demi keinginan saya, termasuk memilih jurusan di kala kuliah. Saya pun pernah bosan dengan keadaan di keluarga ini. Seakan masih belum tersadar bahwa saya anak pertama, saya menjalaninya dengan biasa saja. Fasilitas dari tuntutan saya, diberikan orang tua secara cuma-cuma.

Mama dan Papa adalah manusia setengah-setengah yang saling melengkapi. Saking melengkapinya, mereka sering berkolaborasi memarahi jika ada salah satu anaknya yang salah. Ketika itu, banyak hal yang membuat saya tidak setuju dengan istilah-istilah mereka. Apalagi mereka terlalu memikirkan para tetangga. Pulang malam saja, takut menjadi omongan tetangga. Apakah saya harus menjelaskan tentang pekerjaan saya sebagai orang di media penyiaran? Apakah saya harus mencari seluk beluk Jawa yang selalu mereka tegaskan? Ah…saya pikir itu semua berarti pamrih!

Saya tahu, saya kuliah di Muhammadiyah walaupun Mama pernah Khatolik dan Nenek pernah Kristen. Saya sudah bilang ke mereka, pengajarannya terlalu konservatif. Setiap hari disuruh mengaji, kalau telat masuk sekolah harus bayar infaq atau mandi wajib, jilbab adalah keharusan, dan lain sebagainya. Untung waktu itu saya tidak terlalu mengerti soal feminisme dan agama-agama di dunia. Saya lebih suka kata-kata saya. “Jika kamu anggap agama-mu paling benar, apakah kamu sudah mencicipi agama lainnya?”
Saya tidak habis berpikir, doktrin guru agama saya terlalu berlebihan jika menyebut-nyebut nama agama lain untuk dibandingkan. Saya percaya, Tuhan itu satu.

Waktu kuliah, jadwal sangat padat, tugas yang banyak dan beberapa acara lain yang sering saya hadiri diluar jam kampus. Saya suka berbagi pengalaman, bersenang-senang dan banyak teman. Tetapi seminggu sekali saya tetap harus pulang ke rumah.
Di semester ke lima, saya mulai bekerja separuh waktu kuliah untuk bisa menambal uang jajan saya (saya tidak tahu, saya yang boros atau uang jajan saya yang memang mepet). Jelas hal itu saya lakukan bukan karena ingin membantu orang tua, tetapi untuk keperluan pribadi. Lain lagi kalau saya pulang dengan harus membawa titipan Papa berupa koran, majalah, atau sebangsanya yang setumpuk banyaknya. Saya pun pernah dimarahi Papa karena titipannya itu basah kuyup oleh hujan. Papa selalu mengajarkan supaya segala sesuatu harus ada tanggungjawabnya.
Mama toh selalu bersedia mendengarkan keluh kesah saya walaupun Beliau juga mempunyai masalah yang lebih rumit.

Saya bayar lunas melalui wisuda saya dengan IPK diatas 3,00 selama empat setengah tahun. Itu adalah salah satu kewajiban yang bertanggungjawab.
Saya tidak merasa ada beban berat. Saya juga tidak malu dengan keadaan. Saya berusaha menyikapinya dengan rasa senang.

Sekarang, kalau saya komplain dengan hot coklat yang sebelumnya direkomendasi total oleh pelayannya, tentu kalian paham bagaimana saya adalah orang yang mementingkan tanggungjawab dari sesuatu.
Saya percaya, sikap bisa terbentuk dengan sendirinya, walaupun sifat adalah dasar pribadi manusia. Terlepas dari anak pertama ataupun tidak, kini saya sadar, perbuatan adalah cermin pribadi manusia, jalani saja dengan ikhlas, tidak usah berburu apapun. Segera bersikap selayaknya kamu, dan jangan ragu untuk menjadi kamu. Tidak ada yang sempurna di dunia ini. Semuanya hebat!

090910
Sungkem buat Papa Mama,
Keluarga adalah kado terindah dalam hidup kita.
Minal aidzin wal Faidzin, ya…

You May Also Like

0 komentar