KENYAMANAN BEKERJA

by - August 27, 2019

Akhir-akhir ini aku bakal lebih sering nulis soal kehidupanku as a yosa irfiana, ketimbang parenting, ketimbang beauty-for the sake of sharing. Simply karena merasa kudu cepet-cepet nulis saja biar enggak lupa. Ya ada sih PR postingan soal beauty sama parenting, tapi nanti saja lah, hawa-hawa curhat dan senewen sudah enggak bisa dibendung lagi. Lagian blog ini enggak melulu harus diisi dengan sesuatu yang cantik-cantik, pengalaman yang mengharu biru, atau tips yang biasanya punya viewers di atas rata-rata.

Ada kalanya, aku lebih sering nulis tentang rasa karena enggak tahu lagi mau mengadu kemana. So, here we go.

Source: https://quotlr.com/image/883
Selama 5 tahun kekeuh menjadi seorang freelance writer, aku tuh lebih sering ngerasa bosan dan pengen kembali kerja kantoran. Sekali dua kali aku mendapat tawaran agar bisa kerja teratur, punya jam dan tanggal gajian pasti. Buatku yang kini sudah punya anak TK, dan bisa ditinggal-tinggal, hal ini tentunya menggiurkan. Aku pikir, bisa lah tiap hari PP Jogja-Magelang yang memakan waktu kurang lebih 1 jam. Wong anakku juga bisa full day, pulang-pulang tinggal jemput, main sore, baru bisa ketemu aku lagi. Nothing weights on me kalau soal anak dan Suami. Justru aku malah mikir soal kesehatan dan keuangan. 

Bayangin saja sudah pasti sibuk kok, terus gimana nanti ngatur waktu buat olahraga? Ngatur gaji ternyata bak buk atau enggak? Bensin PP kira-kira cucok enggak kalau dibandingkan dengan jarak tempuh dan kondisi badan yang terus-terusan digempur perjalanan waktu? Umurku sudah kepala 3 loh cuy. Dulu sih tiap hari syuting luar kota juga malah bangga. Sekarang? Boro-boro mikirin gengsi dan kepuasan karena dianggap keren. Mending sehat, aman, damai, anakku bisa ke-handle, include bikinin makanan sehat dan ngerawat sakit bronkitisnya sampai benar-benar sembuh. Thats more than enough.

Aku sudah pernah cerita kan, kalau sekarang aku tergabung dalam 1 PT, 1 CV, dan 1 komunitas? Yang masing-masing bisa saling back up, dan kerjaannya jadi silih berganti? Nah, ini nih yang sekarang mau aku bahas. 

Kesemua payung pekerjaan tersebut, memang banyak menghire freelancer, mungkin supaya lebih enak soal gaji, mungkin lebih enak soal laporan, atau mungkin karena kesusahan cari orang yang bener-bener klop sehingga freelancer lebih banyak diperlukan. Aku enggak tahu pasti, yang jelas, gara-gara banyak freelancer inilah, komunikasi kami kadang menjadi enggak jelas akibat jarak. 

Yang pertama, jelas enggak sering ketemu. Yang kedua, susah untuk ngompakkin jadwal. Yang ketiga, aku lebih luwes kalau bisa bertemu langsung biar jelas. Soalnya yang sering terjadi adalah sekali bahas ina inu di grup whatsapp, eh yang nyamber itu-itu mulu. Enggak semua bisa kompak dan bisa berekspresi. Jadi ya lebih enakan ketemu langsung.

Masalah yang sedang anget-angetnya terjadi adalah kemaren tuh aku sempat meeting bertiga. Sebelumnya kami cuma intens berkomunikasi lewat grup dan enggak yang tiap hari juga. Dan parahnya, tiap kali meeting, selalu ada saja yang berhalangan hadir. It's okay, semua orang punya kesibukkannya. Tapi ternyata, di situ aku langsung dicerca dengan berbagai statement dan banyak hal soal penulisan naskah yang kurang detail. 

(I take a deep breath, karena sejengkel itu fyi. LOL)

Jadi begini. Di dalam project yang aku kerjakan sekarang, ada beberapa jobdesk yang hubungannya sama naskah. Diantaranya Pimpinan Produksi, Producer, Line Producer, serta Sutradara. Yang hire aku siapa? Producer. Yang sering ngasih aku masukan siapa saja? Semuanya. Yang biasanya perantara aku sama yang lainnya siapa? Producer. Yang baru pertama kali bertemu dan tiba-tiba kasih masukkan dengan nyolot siapa? Pimpinan Produksi.

I don't know him before ya ini. Aku datang, posisi Alya sama Suamiku nunggu di mobil, dan langsung meeting. Setelah kenalan, langsung dong ya tanpa basa-basi nanyain aku soal naskah yang aku garap. Storyline kenapa tidak dibikin terus tiap hari? Kenapa cuma nunggu-nunggu revisi? Mana value dari story? Harus produksi naskah terus supaya bisa milih yang bagus dan yang enggak. Kan sama saja seenak jidat yang enggak dipakai enggak dibayar?

Itupun pakai ngomongnya keras, banter, melotot pula. Mampus, antara 3 nih. Satu get out, dua diam, tiga ikutan marah. Kalau aku, ya jelas yang ketiga. Walaupun masih bisa aku redam, tapi aku ngerasa ya enggak bisa gini caranya. Aku enggak banyak tahu apa-apa, well i know aku orang baru. Otomatis informasi yang aku perolehpun belum sebanyak orang-orang di situ yang tiap hari ngantor dan sudah lama kerjanya.

Aku langsung kepikiran sama beberapa orang: Direktur Perusahaan lamaku, seorang Sutradara senior ibu kota yang pernah satu tim, dan satu lagi, kebanyakan film-maker yang kerja di jakarta. Ini aku enggak bermaksud rasis dan menyudutkan cara pandang ke ibu kota yang orangnya kasar-kasar. Aku percaya masih ada orang yang komunikasinya enak tanpa arrogant. Tapi buatku yang dari dulu dianggap orang jawa yang minim pengalaman dan cenderung diam karena enggak dipersilahkan speak up, sikap seperti ini memang umum terjadi. 

Masih mending kalau ada yang lu gue, ada loh yang sampai ya you ya you. Entah apa maksudnya, dan buatku ini enggak manusiawi sih, sorry. Kadang aku berpikiran, orang-orang tipe kayaknya gini punya masalah apa sih dihidupnya? Pengen disegani? Pengen diakui? Pengen pada ngeper biar semua nunduk dan mengangungkan dia adalah pemimpin?

Nope. Aku enggak akan pernah menyegani pemimpin yang ngotot, dan selalu nge-battle apa yang timnya lakukan. Buatku sikap tegas bukan soal gaya bicara lantang, mencak-mencak, dan ambisius sampai orang lain enggak punya kuasa ngomong. 

Suamiku pernah ngomong ke aku, "ngotot biar kelihatan passion" ya ada benarnya juga. Beberapa orang terlihat demikian biar orang-orang di sekitarnya dengar dan ikutan tahu. Padahal mah, sudah enggak zaman loh terlihat otoriter. Buatku itu lagu lama, akan tergerus sama orang-orang yang kharismatik.

Maka dari itu aku bangga bener ngelihat temen-temen dan film-maker daerah yang tumbuh dengan ide-ide liarnya. Sehingga mampu bersaing, sampai bahkan mendapat penghargaan skala internasional. Mereka yang aku kenal ini biasanya humble, enggak pelit ilmu, dan kalau ngasih kritik disampaikan baik-baik. I'm totally proud.

Ke depannya, aku bakal ikutan tegas kalau ada yang tipe-tipe nyolot seperti itu. Karena monmaap ye, yang kayak gitu biasanya cuma lantang di bagian konsep sampai harus revasa revisi. Giliran dimintain MoU, fee, sama batasan revisi pasti mlempem. Palingan mentok bilang bakal cari penulis yang lain karena penulis di luar masih banyak. Padahal mah semua penulis akan menuntut hal yang sama. Apalagi penulis yang sudah moncer di Ibukota. Sudah pasti kualitas dan harganya juga makin bersaing. Plus revisi yang pastinya juga dibatasi.

Dan mungkin karena posisiku di sini sebagai freelance writer, jadi aku sama sekali enggak takut sama efek yang timbul ketika aku fight back. Dulu waktu masih jadi pegawai kantor mah, iya iya saja ketika boss sudah bersabda. Mau membela diri juga sering dianggap salah kan, jadi mending diam. Mau enggak sepaham, takut dipecat. Not gonna blame, kalau kalian enggak sepemikiran silahkan. Ini sudut pandangku, mungkin akan berbeda dengan kalian yang tegar dan menganggap seperti ini adalah hal yang biasa.

Tapi aku tetap kekeuh berpendapat bahwa menyepelekan pekerjaan orang sama saja enggak manusiawi. Kalau dibalik kira-kira mau enggak di-press seperti itu? Kalau ada yang bilang, pemimpin memang biasanya seperti itu, coba deh, dilihat lagi, temen-temenku yang sopan-sopan begitu kok bisa juga jadi pemimpin? Kan bukan pemimpinnya, melainkan sifat orangnya. Lebih mending mana, punya pemimpin yang ketus nan nge-push? Atau yang merangkul dan mengkritik dengan sopan?

Sampai saat ini aku masih bertahan, buat apa? Ya buat membuktikan. Aku enggak mau kalah sama orang yang ngototan. Kerjaan tetap kerjaan, sudah kadung nyemplung mending basah kuyup sekalian. 

Seenggaknya kalau aku dapat approval dari klien, atau messagenya sampai ke penonton, konflik internal kayak gini bakal bias dan enggak berlarut-larut. Aku juga lagi males banyak-banyak menerima isi kepala banyak orang, dua kelapa saja kita bisa berbeda pendapat kok, apalagi banyak. Yang jadi kena getahnya siapa? Ya aku sendiri, dengan posisi penulis naskah.

In the end, you only have your self. Catatan buatku sendiri adalah, jangan sampai hal ini terkesan memaksa dan membebani. Semua aku kerjakan semampuku dan seoptimal mungkin. Aku enggak cuma mengejar uang, tapi juga ilmu dan common sense.

Buat apa mengejar duit yang buanyak kalau akhirnya gila? I mean, happiness inspires productivity loh. Kalau pondasi awalnya saja sudah dibangun dengan rasa enggak nyaman, niscahya kerja juga bakal angot-angotan. Toh tanggungjawabku bukan cuma soal dapur ngebul, hari ini masak apa, duit tinggal berapa, tapi juga kesehatan anakku. Mendingan aku dapat duit secukupnya tapi sehat, tapi nyaman.

Karena beneran deh, pekerjaan kadang bukan cuma soal uang semata, tapi hati yang tertata. Betul kan?

Kemarin, sehabis meeting. Aku yang tadinya umup ketika di dalam, begitu masuk mobil dan bertemu dengan anakku yang anteng selama 1,5 jam, hilanglah sudah pikiran yang tadinya mau kerja kantoran. Freelancer is still my best choice ever.

You May Also Like

0 komentar