BARGAINING

by - April 23, 2020

Label Freelancer The Series ternyata sudah lama enggak ke-isi ya? Mumpung lagi anget nih. Ceritanya kemaren Suami ngerasa enggak nyaman dan kurang transparan sama calon klien. Aku jadi mau bahas ini sekalian ah, yang mungkin bisa jadi insight kalian, juga bisa kalian diskusikan di kolom komentar. 

Sesuai yang kita tahu, freelancer punya kelemahan soal pemasukan rutin. Kapan tanggal pasti di-transfer, akan jadi berapa termin, dan lebih-lebih soal negoisasi yang jatuhnya jadi membandingkan diri. Soal membandingkan ini, menurutku sebenarnya sah-sah saja, mengingat kita juga perlu patokan khusus. Seberapa skill kita, menentukan harga jual ke klien. Rasanya kok enggak adil kalau kita sudah pontang panting kerja keras, belajar sendiri tanpa disponsorin, cari pengalaman sana-sini, dan itu dihargai cuma seupah beli sembako. Hidup itu keras sih, tapi ya kalau bisa jangan terlalu nyaman dan memaklumi hal-hal seperti ini.

Semakin dewasa, kita makin terbuka dan makin kritis. Kalau masih awal jadi freelancer, it's okay mau bilang cintai pekerjaan, yang penting bukan uang, yang penting pengalaman. Memangnya kita enggak bisa bedain apa mana project yang beneran butuh perjuangan, sama yang benar-benar sudah ada 'dananya'? Masa' kayak gini kita menutup mata? 

Sebelum kita kerjakan project-nya, harusnya ada tawar menawarnya. Tenang, aku ngomong kayak gini karena pernah punya pengalaman enggak enak. Aku kasih dua kasus saja ya!


Kasus pertama.
Dari beberapa pengalaman, hal utama untuk memulai suatu pekerjaan seorang freelancer, kita harus ngerti dan punya seni dalam hal BARGAINING. Fase ini cukup sulit dan cenderung punya waktu yang lebih lama, apabila calon klien kita termasuk golongan temen deket, atau  calon klein yang sama-sama sedang berjuang, atau calon klien yang enggak tahu apa-apa. Aku kasih tahu enggak enaknya saja ya, karena kalau yang ena-ena agak saru dibicarain (krik).

Aku pernah direkomendasikan oleh temenku, ke seorang Sutradara baru. Temenku ini, sudah tahu kredibilitas dan style-ku. Sudah berkali-kali kerja sama dan hampir enggak ada masalah buruk. Karena biasanya memilih kru satu tim itu berdasarkan rekomendasi teman, jadi, Sutradara tersebut menghubungiku dan dia percaya sama aku. Aku disuruh bikin skenario film pendek durasi 7 menitan. Kalau sudah dari rekomendasi teman, biasanya pakai asas kepercayaan. Lalu aku kerjakan semua brief dari Sutradara sesuai dengan apa yang aku tangkap. Namun ternyata prakteknya sampai berkali-kali revisi karena dia enggak sreg. Aku sampai capek sendiri dan hampir give up. Tapi kalau give up, berarti memutus rezeki yang sudah kita perjuangkan juga kan. Jadi, aku tahan dan biarkan dia ngasih revisi sampai puas. 

Tahu apa yang terjadi? Tiba-tiba dia ganti penulis skenario baru dan aku akhirnya dibayar separuh harga. Sedih? Tenang, besok kita bisa cari uang lagi. Tapi gondok? Wo ya pasti. Trauma kalau sudah begini sama orang ini lagi.

Kasus kedua.
Suamiku tiba-tiba dihubungi temannya. Temannya minta supaya dibikinin layout buku beberapa lembar untuk kliennya. Karena Suamiku tahu ini project yang minim, jadi dia inisiatif bilang, "kamu punya budget berapa?" supaya dia bisa menyesesuaikan. Artinya, sudah biasanya kami menghargai seorang teman yang sedang sama-sama berjuang. 

Lalu temennya ngirimin lembar kerja yang harus diselesaikan. Berkali-kali Suamiku ngomong harganya berapa dari sana karena kalau dilihat dari cara kerja dia biasanya, jelas akan memakan bayaran yang berbeda. Tapi si temen tetap enggak tahu dan akhirnya nanya, "kalau kamu ngajuin berapa?" Akhirnya dijawab Suamiku kalau fee dia per lembar.

Tahu apa yang terjadi? Mendadak temennya ngilang tak berbekas enggak kasih kepastian.

Dua kasus ini punya muatan berbeda, tapi punya benang merah "tawar-menawar yang buruk". Kasusku jelas karena aku sendiri dulu kurang paham gimana negosiasi yang oke. Negosiasi juga bisa mencakup berapa kali revisi, briefnya bagaimana, dan komunikasi yang intens dan jelas. Ya kan ada klien aktif nelpon tapi enggak jelas maunya apa. Cuma ngeribetin dan ngasih referensi silih berganti apa enggak berasap itu kepala!

Nah, kalau begini lagi bagaimana? Aku antisipasi dulu sebelum ketemu klien. Aku harus pandai menawar dan membuat keputusan. Misal butuh ya ambil. Tapi kalau pas numpuk kerjaan ya berani tolak. Ketimbang sakit hati, ya obatnya lebih mahal. Mending aku stop dan enggak lanjutkan. Sedangkan jika ketemu orang itu lagi, ya aku enggak mau kerja sama kembali. As simple as that. Kita bisa masih berteman tapi enggak kalau urusan kerjaan.

Kasus ke dua, Suamiku sudah berusaha membuka kebaikan dengan menawarkan, tapi si teman enggak mengerti bargaining yang benar. Kasus ini banyak terjadi nih di area pertemanan. Sukanya nawarin, ngasih ide, ngasih petuah bijak, eee tapi kitanya yang disuruh eksekusi. Giliran dimintai pertanggungjawaban, mlempem.

Terus kelanjutannya? Ya si temen kayak enggak ada apa-apa dan menganggap bukan hal yang anu banget. Padahal, seharusnya, jika kerjaan sepele pun, semua harus dituntaskan lewat komunikasi yang benar. Suamiku sendiri cuma bilang, "ya wes mau gimana, mungkin belum rezekinya". Tapi bargaining ini punya ilmu dan seni-nya loh, kalau kita mau profesional. Biar apa? Biar kualitas kita terjaga.

Aku sendiri pernah di pihak yang membutuhkan jasa. Aku hubungi beberapa orang yang bisa aku ajak kerja sama. Hal yang aku sadari dulu adalah:
1. POSISI
Biasanya, aku adalah perantara. Antara siapa dengan siapa? Ini dibutuhkan biar kita sama-sama enak nanti kalau pas kerja satu tim dan butuh apa-apa. Soalnya aku pernah jadi script writer dan ikut syuting, tapi malam-malam disuruh gojekin nasi uduk, ya apa enggak emosi!
2. FEE
Ini langsung aku jelasin kondisinya. Misalnya aku butuh Voice Over untuk program A, B, C dengan fee sebesar 1234. Lalu kapan pembayaran dilakukan, aku jelasin semuanya.
3. PROJECT
Semua project yang aku dapatin itu bersumber dari mana. Apakah jelas? Apakah hanya untuk keperluan pribadi saja? Untuk proposal? Atau industri? Lagi-lagi aku detailin semuanya, seakan calon yang akan aku ajak sudah fix dan oke ikut gabung.
4. CALON TEAM
Aku biasanya sudah mengenali calon kru satu team yang akan aku ajak. Apakah kerjanya oke? Rewel? Banyak mau? Atau bisa membaur? Ini bisa aku lihat lewat media sosialnya jika belum pernah ketemu. Menurutku, rekomendasi dari temen yang terpercaya sudah paling betul asal kita bisa berkomunikasi dengan lancar.

Kalaupun aku yang menawarkan project dan membutuhkan seseorang, misal dia kurang cocok baik kerja maupun harga, aku pasti akan tetap menginformasikannya dengan cara halus. Atau misal dia nolak, ya enggak apa-apa juga. Tapi pastikan semua itu jelas di awal.

Kesemua ini aslinya bersumber sama bagaimana cara kita berkomunikasi. Proses tawar-menawar, sealot apapun, tetap harus terjadi ketimbang enggak enak di belakang. Aku sudah cukup banyak pengalaman pahit seperti nalangin uangnya freelancer dulu, enggak dibayar walaupun skenario kepakai, sampai fee yang enggak jelas dan di bawah standar aku biasa kerja.

Tawar menawar ini juga harusnya bisa berlaku untuk siapapun rekan kerja kita. Mau itu temen, mau bos besar, mau baru kenalan, semua kudu bisa melewati proses ini bareng. Kalau dari awal saja sudah enggak enak, sudah yakin sih nantinya akan pengaruh besar ke kerjaan kita. Ini bisa kamu praktekkin ke kerjaan kamu yang sifatnya lepas. Bisa juga seperti blogger, desainer, kameramen, maupun voice over. Baik penyedia jasa maupun penawar jasa, punya win-win solution-nya.

So, trust me, every great beginning starts with a good bargaining. :)

You May Also Like

0 komentar