I KNOW I CAN

by - February 08, 2019

Harus diakui banget nih, bahwasanya menjadi seorang penulis, setidaknya juga harus suka membaca. Kenapa? Alasannya banyak dong, diantaranya, supaya wawasan tambah luas, gaya kepenulisan makin baik, kosakatanya makin banyak, sampai biar idenya ngalir terus. Lebih-lebih yang enggak begitu suka ketemu orang banyak dan bertukar pikiran secara langsung. Lho memang ada kan, yang lebih suka bekerja di balik layar dan jarak jauh. Enggak usah jauh-jauh dulu deh, dulu aku gitu juga kok.

Tapi satu hal yang aku sadari belakangan ini. Aku jarang banget baca buku. Iya sih, kemarenan sempet gencar baca buku. Pakai target lagi, seminggu satu buku. Bukunya pakai yang lawas dulu, baru kalau sudah ngerasa "oh ini kan ceritanya yang ini ya" alias aku sudah inget alurnya, ya sudah, baru beli buku baru. Cuma ya, akhirnya stuck sampai bulan desember kemarin karena kerjaan akhir tahun dan awal tahun berturut-turut makin banyak.

Dikarenakan kesibukan -ala mami muda butuh jajan skincare- jadilah aktivitas membaca cuma sebatas: baca baca blog ringan-ringan, berita terkini, atau yang paling parah nih (teteup): scroll media sosial. Nyebelin tapi nyata. Mau ngurangin kok ya sudah candu. 

Well, pantes sih, sekarang aku ngerasa, kok mikirku pol mentok segini saja. Mmm, kurang asupan otak rupanya.


Mungkin kalian belum banyak yang tahu ya, selama ini kalau aku nulis naskah, aku terbiasa karena 'pesanan'. Ini tuh jadi kayak enggak ada kebebasan buat aku. Industri banget lah kalau mau dibilang. Aku jadi terbiasa dapet brief, bikin, revisi yang seabreg-abreg, terus nonton hasil akhir yang kalau mau dirunut, kadang menyisakan rasa enggak sreg di hati.

Berkali-kali apa yang sudah aku tulis dan aku bayangkan, enggak tervisualisasi sempurna. Kadang jatuhnya njlungup dan enggak jarang beradu argumen. Tapi yang namanya pesanan kombinasi butuh uang, hal tersebut jadi "yo wes lah, meh piye meneh".

Atas dasar klien seneng, duit gampang cair, akhirnya menjadi solusi yang lama kelamaan bikin otakku terasa tumpul. Baca buku ini sebagai bentuk denial juga, biar enggak dibilang "lemot amat jadi orang". Ya gimana ya, di antara temen-temen seangkatan kuliah yang lain, bisa dibilang aku jarang menelorkan sebuah mahakarya sebagai seniman. Yes, seniman beda banget sama pekerja seni.

Nah, inilah saatnya aku berkarya dari lubuk hati yang paling dalam. Paling enggak, makin tua aku makin punya idealisme ku sendiri deh. Berani bersuara dan berani membuat karya yang berbeda. Terdengar lebay biar. Dikata terlambat, enggak apa-apa lah. Kan kita punya kesempatan yang enggak sama.

Sadarnya hanya karena satu hal kok. Beberapa hari lalu aku sudah punya naskah film fiksi pendek. Sudah aku buat dari desain produksi dan skenario. Apa yang aku tulis di sini, hasil ide dan buah karya aku sendiri tanpa ada campuran tangan dari orang lain. Aku sebar ke temen-temen. Responnya luar biasa, ada yang seneng langsung pengen diproduksi saja, tapi ada juga yang ngasih kritik karena idenya termasuk biasa, enggak yang out of the box dan bisa diikutkan ke festival-festival.

But, i'm okay with that. Justru seneng karena banyak pendapat dan bikin aku melek, kalau karya itu ya memang harus dikritisi kayak gini. Ini saja baru ke temen-temen loh, gimana kalau sudah jadi film terus dipublikasikan. Siap dibantaikah hahaha.

Oh iya, aku juga akan berusaha supaya blog ini akan terus eksis dan diisi dengan kesenangan-kesenanganku. Blog melatih gaya penulisan agar enak dibaca dan mudah dipahami. Itu juga salah satu sebab kenapa aku agak enggak bikin sebuah tulisan yang pakai bahasa semiotik. Susah cuy, lebih enak yang santai dan pesannya ngena gitu saja. 

Karena aku inget banget, zaman skripsi, aku dibilangin sama dosen begini : "anggap saja, ketika kamu menulis, pembacamu enggak tahu apa yang ada dipikiran kamu. Dan skripsi ini yang tahu ya kamu, jadi kamu harus bisa memberi penjelasan kepada orang yang enggak tahu" Lalu aku aplikasikan pemikiran tersebut ke semua tulisanku. Aku berusaha menceritakan secara detail, berbahasa yang enak dibaca, enggak capek, plus orang nangkep apa yang aku maksud.

Nah, kalau dalam bentuk naskah, apa yang aku tulis kan jadi acuan buat sutradara untuk memvisualisasikan. Sudah lumayan okelah bisa bertutur dengan baik. Tapi kurangnya ya ide itu tadi huhu. Bener-bener kerasa apalagi kalau tahu yang ikut festival itu widiw, filmnya keren-keren, banyak sineas muda, mana gambarnya oke punya, gradingnya juga modern. Aduh ini ketinggalan jauh amat yak.

Then now, aku ngerasa bahwa aku memang harus terus belajar apapun, baca buku, lebih banyak dengerin orang, lebih peka sama sekitar, dan nonton film yang enggak cuma ditonton tapi ditelaah baik-baik. Agak berat ya, hehe, tapi aku yakin kok otak kalau dilatih malah lebih bagus daripada enggak dipakai (eh sarkas). 

Aku sadar kok, sekarang ide-ide liar makin banyak dimiliki tiap orang, mau yang muda, mau yang berpengalaman, semua kayaknya bersaing sehat demi kebutuhan passionnya. Malu ah hidup gini-gini saja. 

Yang jelas, pelan-pelan saja, rome wasn't built in a day kan ya. Aku yakin kok, semua akan ada waktunya. :)

You May Also Like

0 komentar