BECAUSE WE FIGHT TOGETHER

by - October 19, 2019

Salah satu kegiatan di sekolah Alya yang paling aku sukai adalah adanya sesi parenting. Sebuah pertemuan di mana para orang tua murid diberi wawasan, ilmu, dan bekal dalam mengasuh anak tentunya sesuai syariat Islam. Senang dong, karena ternyata begini ya rasanya nyekolahin anak di sekolah yang sesuai pilihan. Hehehe, maaf frontal, karena terasa banget tuh bedanya. 

Oh iya, aku nyekolahin Alya di sekolah yang berbasis agama, murni karena pengen kami tuh pengen punya bekal dan landasan agama buat kehidupan sehari-hari. Ini soal kepercayaan saja, karena buatku membekali diri dengan agama yang baik, merupakan refleksi dan sarana introspeksi diri. Gitu saja sih, tapi kadang takut euy, wayah gini kalau sedikit saja ngomongin agama, banyakan dikira terus jadi tertutup dan intoleran. Jadinya kan serba salah.

Aku bukannya membatasi diri bergaul dengan satu agama saja, karena menurutku, toh semua ajaran sama saja. Semua mengajari kebaikan, melalui caranya masing-masing. Nyatanya, dalam sesi parenting kemarin, banyak hal yang enggak sesuai sama hati nurani aku sebagai orang tua dan ngerasa "hello pak! Anda hidup di tahun berapa?"

Jadi, menurutku, menurutku loh ya, mencari pembimbing entah itu ustad, entah itu psikolog, entah itu Dokter, itu juga cocok-cocokan. Ada kalanya, kita nemu orang yang ngerti sama kondisi kita. Yang menyamaratakan pemikiran harusnya begini begitu, tanpa ngelihat dulu kasus dan apa yang dialami tiap orang. Nah, yang begini ini nih, yang menurutku enggak keren!


Seperti kemarin pas parenting, ngangkat tema "Kewajiban Orang Tua dalam Mendidik Anak Sesuai Ajaran Islam". Bagus sih materinya, banyakan soal kaidah agama. Pembicaranya juga praktisi dari kalangan terpelajar lah istilahnya. Penyampaiannya bagus, tapi yang bikin enggak sreg, adalah:

Satu, ketika pembicaranya menyoal ibu-ibu bekerja dan mending di rumah saja. Aku yang kerja di rumah saja, ngerasa "apa-apaan sih, seperti ini dibahas?" I was like, memangnya Bapak tahu dapur rumah tangga tiap orang apa?

Sebagai Stay At Home Mom yang kadang kalau meeting harus nitipin anak dulu, dan ketika ambil tawaran syuting kudu itung-itungan untung ruginya, hal seperti ini sensitif sekali, please. Aku beruntung karena kerjaanku remote, tapi kan enggak semua ibu bisa seperti bekerja jarak jauh? Misalnya, Bidan, Perawat, Producer Film, Pengusaha. Apa lagi coba sebut. Rasanya kok enggak adil ya, menempatkan wanita pada keterbatasan. Padahal kalau dipikir-pikir nih, ada kan yang mau melahirkan tapi mintanya Bidan/Dokter Perempuan. Malu kan kalau diperiksa sama Dokter Pria? 

Lagian, tahu kan kalau Siti Khadijah, Istri Nabi Muhammad itu wanita karir. Beliau adalah pedagang yang sukses dan bisa bersamaan mendidik anaknya dengan lembut nan penuh kasih sayang. Jadi wanita bekerja tuh enggak melulu bikin kita jadi nutup mata soal rumah tangga. Bahkan ada kalanya, wanita-wanita ini bekerja karena kebutuhan yang makin mendesak dan bertujuan untuk meringankan beban Suami. 

Menurutku, kalau misal nih, misal, amit-amit, ada Ibu yang enggak ngurus anaknya, cuek, atau enggak mau tanggungjawab, ya itu bukan karena dia bekerja. Itu karena sifatnya saja. Yang mungkin, kalau dirunut juga pasti ada sebab akibatnya. Kenapa dia bisa cuek, kenapa bisa enggak mau ngurus, memang Suaminya kenapa? Makanya, issue ini sensitif abis, enggak bisa dipandang dari satu sudut pandang saja. Enggak adil, beneran.

Yang kedua, ketika ada Bapak-bapak yang datang dalam sesi parenting, Si Pembicara yang notabene juga laki-laki ini, give applause untuk mereka. Buat aku yang melihat dari sudut pandang "Ibu yang Suaminya susah disuruh belanja dan ngurus anak", aku bisa relate lah. Kagum. Salut.

Tapi kalau ngelihat dari sudut pandang pribadi, yang Suamiku juga belanja, masak, ngurus Alya dan porsinya sama, aku ngelihat itu ya biasa saja. Ini saja pas kebetulan aku bisa ikut parenting. Lha kalau aku pas kerja? Ya aku minta Suamiku buat gantiin, dan dia ya biasa saja. Suamiku enggak malu, aku juga ngerasa ya memang sudah sepantasnya. Masa' yang dapet Ilmu Parenting cuma ibu-ibu doang? Yang benar saja.

Di sekolah Alya deh contohnya. Ada beberapa Ibu yang nungguin anaknya sekolah sambil bawa anak kecilnya satu lagi. Bawa motor sendiri, masih minum ASI pula. Bahkan kadang bisa-bisanya mampir belanja dan bawa sayur sekresek besar. Mana yang katanya wanita itu lemah? I can't see it clearly yet. Karena ternyata, banyak kok wanita yang strong baik itu pikiran maupun tenaga.

Bias banget kalau rumah tangga dipandang sebelah mata dan enggak dilihat kondisinya. Asli, tiap rumah tangga itu beda-beda kasusnya. Ada yang Istrinya senang di rumah dan ngurus anak. Ada yang Suaminya bekerja keras karena mau bikin bisnis di masa tuanya. Ada yang dua-duanya pengen bisnis berdua biar bisa ngurus anak berdua. Ada. Dan kesemua orang tua yang baik dan punya rasa tanggung jawab, harusnya bisa saling melengkapi satu sama lain. 

Kutipan surat Al-Baqarah ayat 233:
وَ عَلَی الۡمَوۡلُوۡدِ لَہٗ رِزۡقُہُنَّ وَ کِسۡوَتُہُنَّ بِالۡمَعۡرُوۡفِ ؕ لَا تُکَلَّفُ نَفۡسٌ اِلَّا وُسۡعَہَا
Dan kewajiban ayah memberi makan dan pakaian kepada para ibu dengan cara ma’ruf. Seseorang tidak dibebani melainkan menurut kadar kesanggupannya.
Rumah tangga itu sebaiknya kan berdasarkan kompromi yang disepakati bareng. Misal si istri enggak apa-apa ngasuh anak 2 tanpa nanny, it's okay. Mungkin lebih baik uangnya ditabung untuk biaya sekolah anak, atau buat dana darurat. Yang seharusnya di-bold adalah, istri juga harus ikhlas melakukan semua tanpa beban. Tapi, kalau itu jadi hal yang sangat membebani, ya jangan salahkan istri. Mengemban tugas di rumah sambil momong anak itu cukup berat loh. Enggak semua orang mau, dan enggak semua orang mampu. 

Kayak aku contohnya. Kerja di rumah atau di kantor, menurutku masing-masing ada tantangannya. Ada kalanya aku stress sama kerjaan, ada kalanya aku bingung Alya sakit, ada kalanya kerjaan rumah jadi terabaikan gara-gara aku enggak bisa bagi waktu dengan baik. Benar, aku seorang ibu. Tapi aku masih sebagai seorang yosa irfiana yang biasa saja. Yang kadang mikir, mbok ya hidup jangan berat-berat amat.

Aku tuh kalau punya banyak pilihan, aku paling males masak, dan enggak mau setrika. Makanan mending beli aja deh daripada capek. Atau setrika, beugh paling sumuk ngerjainnya. Aku lebih milih nulis, atau ngepel, atau beres-beres rumah deh ketimbang dua itu tadi. Cuma kan masalahnya kondisi finansialku cukupan ya, belum bisa nyisihin uang banyak-banyak. Uang buat jajan di luar, dan hire asisten rumah tangga mendingan aku tabung buat travelling. Tapi ini sekali lagi aku loh ya, bukan kalian. Mungkin kalian beda. Nah ya kan, kita semua tuh kondisinya enggak akan bisa sama persis. Pasti enggak mau kan disamaratakan.

Untuk itulah, Suamiku turut membantu kerjaan rumah tanggaku. Dari jemur pakaian, masak, dan gantian momong Alya. Urusan nambah anak kedua, aslinya Suami dan anakku pengen banget nget nget, tapi ya sorry-sorry jek, semua kudu lewat acc-ku dulu. Kalau aku belum sanggup, ya tunda. Enggak lalu dipaksa. 

Aku pernah marah karena ada temen yang senengnya nyinyir aturan rumah tanggaku. Ketika lihat Suamiku masak, atau jemur pakaian, itu langsung judesin aku loh. Aku dibilang enggak seharusnya memperlakukan Suami kayak gitu. Padahal, intensitas aku masak ketimbang Suami juga lebih banyak aku. Nah, entar nih, giliran aku kerja sampai larut, dan pagi-pagi harus nganterin Alya, dibilangin, "ya memang wanita seharusnya begitu".

Ini lagi becanda atau memang nabuh genderang perang sih sebenernya?

Yang ketiga, si Bapak Pembicara bilang kalau "gadget itu enggak ada manfaatnya". Karena menurutnya, banyak berita hoax tersebar gara-gara gadget, dan bisa bikin anak kecanduan game yang jadi enggak konsen sama pelajaran di sekolah. Wow, data ilmiah dari mana ini ya, mohon maaf. Karena setahuku, Arief Widhiyasa, itu adalah gamer sejak dia TK kecil. Dan ketika dia besar, dia bisa mendirikan Agate Studio di Bandung, yang merupakan developer game lokal Indonesia. Arief Widhiyasa ini seumuranku sih, dan dia memilih drop out dari kampusnya untuk fokus ke perusahannya.

Well, itu memang enggak semua orang bisa, dan dia Arief Widhiyasa, bukan kita. Tapi kalau kita mau ber-positif thinking, ternyata ya enggak melulu game itu bikin ketinggalan banyak sih. Aku tuh demen main Age of Empire yang mana lebih mementingkan strategi dan bikin negara ketimbang perang, dan aku bisa belajar sejarah dari sana tuh. Makanya, kalau dibilang seorang Mark Zuckerberg, Arief Widhiyasa, John Lennon, Walt Disney, itu adalah orang yang mungkin beruntung, dan enggak semua bisa sama, seharusnya ini jadi pemikiran bahwa manusia ya harus bertahan gimana caranya.

Enggak melulu nyalahin keadaan, seperti nyalahin orang tua enggak bisa nyekolahin sampai tinggi, enggak nyalahin Guru Killer, enggak nyalahin teknologi yang kian maju, enggak nyalahin Presiden, karena ya kehidupan kita, kita yang jalanin. Kita punya banyak pilihan kok, itu kalau kita mau. Masalahnya kan kita mau atau terlalu nyaman berada di zona aman.

Menyalahkan gadget tuh enggak fair. Bisa kena aku kalau urusan begini. Lha gimana, kerja sehari-hari ngadep laptop, nyari referensi juga dari tayangan video youtube, TV, atau film, promosi juga lewat media sosial. Yang salah bukan gadget-nya sih, tapi kitanya bisa tidak memanfaatkan gadget sebaik-baiknya.

Ketiga hal yang di-bold di atas kalau ditarik garis korelasi, pastinya akan merujuk ke patriarki. Banyak sekali yang masih mikir bahwa gerak wanita harus dibatasin, tapi di sisi lain, mereka membutuhkan peran wanita untuk hal-hal yang lebih susah effort-nya. Contohnya apa? Ya coba deh, sudah hamil, menyusui, masak, ngerawat anak, mendidik anak, belanja, nyuci, setrika, Suami pulang enggak dibikinin kopi muring-muring. Kalau sanggup mah monggo ya, cuma sudah deh, we are still human too! Enggak apa-apa kok ngeluh capek, ngeluh pengen piknik, ngeluh bosen di rumah terus. Iya benar kita ngejar surga Allah, tapi kan banyak jalan menuju surga.

Kadang mikir juga, ayat dan hadist kok cuma buat memaksa dan menyindir orang lain. Padahal sejatinya sholat kan untuk healing, refleksi kalau ada kesalahan dan sarana untuk memperbaiki diri.

Banyak orang masih maksa untuk jadi apa yang mereka minta. Ya sok atuh, kalian masak dan di rumah, terus Suami kerja pulang larut. Tapi apa hak kalian buat mencampuri urusan rumah tangga orang. Memangnya ikutan beliin beras, kan enggak? Ikutan nyumbang uang gedung sekolah anak, kan ogah?

Buat aku pribadi, rumah tangga dibangun atas azas kebersamaan dan kesadaran. Masih berjuang, ya kuat sama-sama. Betah bertahan, ya harus ambil jalan tengah bersama. Your battle is also my battle, we fight together.

Kita hidup di zaman sekarang yang sudah enggak zamannya mom war. Kita hidup di zaman yang lebih dimudahkan. Kita harus lebih bisa fleksibel dan melihat dari kondisi yang ada. 

So, daripada mikirin rumah tangga orang lain, Suami harusnya begini, Istri harusnya begitu, mending kita fokus dulu sih ke perbaikan diri. Lihat semua anggota keluarga sehat dan senang harusnya sudah cukup menjadi tolok ukur gimana kebaikan sudah seharusnya dijalankan. Yang utama, semoga kebahagiaan itu menular.

You May Also Like

0 komentar