BOUNDARY

by - April 04, 2019

Bulan ini, kami ngerasa ajrut-ajrutan sama badan. Serumah flu. Awalnya Suami, nular ke Alya, terakhir nularin ke aku. Kalau kami berdua sih mungkin karena sudah jarang olahraga, plus umur juga makin tua. Enggak bisa dipungkiri lagi nih, dulu waktu masih muda, mau begadang sampai pagi, plus dihajar syuting stripping juga mentok masuk angin doang. Lah sudah tua ini? Mendaki gugusan tanah bawa tripod saja rasanya sempoyongan. Sebenernya mau nolak sih dibilang umur tua, tapi nyatanya memang begitu adanya.


Dulu, waktu zaman pacaran, Suami pernah sombong bilang kalau imun dia paling kuat diantara adek-adeknya. Ini dibuktikan dengan hasil lab waktu dia sempet mondok karena DBD. Sebelum divonis DBD pun, dia masih yang bisa berkeliaran kemana-mana. Bahkan, aku nganter ke rumah sakitnya naik taksi dan bawa satu ransel doang. Temen-temennya sampai ngira kami mau backpackeran saking kami santainya!

Lain sama aku. Walaupun belum ngecek soal imun diri, tapi rasanya yakin deh kalau daya tahanku  tuh lemah. Dari yang sejak kecil punya riwayat asma, sampai yang kalau dicek tensi pasti rendah. Aku pernah kena DBD juga waktu kelas 6 SD. Karena Papa Mama menganggap aku cuma sakit biasa, aku cuma diberi obat flu sampai 3 hari lebih. Beruntung siang itu eyang dateng dan mencak-mencak karena ngelihat kondisiku yang ngedrop tapi kok enggak segera dibawa ke Dokter. Alhasil sorenya langsung dibawa ke Dokter, dan langsung diopname saking sudah lemesnya.

Aku opname baru sekali itu, ya selain lahiran sih. Tapi, ada kondisi lain yang mengingatkan ku bahwa aku tuh lemah. Jadi pernah nih, sebelum KKN disuruh cek kesehatan dulu, nah, di situ Dokternya bilang kalau tensiku rendah banget, dan rentan pingsan. Padahal FYI saja, aku pingsan cuma sekali seumur hidupku. Itupun waktu kecapekan habis syuting pas kuliah, bukan yang gampang pingsan karena kepanasan.

Dokter lalu enggak ngebolehin aku ikut KKN. Padahal, KKN itu wajib hukumnya dan KKN enggak bisa digantikan dengan mata kuliah lain. Negosiasinya cukup alot karena beliau sebagai Dokter ngerasa harus melindungi pasien bila memang sakit. Terus aku diperbolehkan KKN dengan catetan, jangan terlalu capek.

Ngelihat rekam medik aku dan Suami, percaya enggak percaya, justru sekarang suami-lah yang cukup sering sakit. Entah itu flu, sakit tenggorokan, sampai yang baru-baru ini: backpain - karena kebanyakan duduk. Dibombadir olahraga sih sudah sering. Mulai dari badminton, lari, volley, sampai futsal. Sudah deh, pokoknya dia sudah sadar diri, setidaknya ketimbang aku.

Oh iya, lucunya lagi, Suamiku juga baru tahu dia ternyata ada alergi angin malam. Ini periksanya dulu habis Alya lahir sih, dan itu memang benar. Pantes kalau pergi-pergi malem bawa motor, pasti mendadak hidungnya kerasa tersumbat. Aku awalnya agak nyepelein gitu, karena ya gimana, wong biasanya juga kami kemana-mana pakai motor kok. Bukan cuma kota-kota saja, tapi juga luar kota. Sudah sesering itu, jadi ya heran juga.

Kata Suami, alergi angin malamnya sudah sejak kecil. Cuma pas remaja sudah enggak terlalu kerasa. Kerasanya justru di umur 30-an ini. Wah ya bener dong, ini mirip asma. Waktu umur 15-30 an gitu aku jarang banget kambuh. Selain mungkin diimbangi sama renang, aku juga enggak terlalu mikirin penyakit sih. Dibawa seneng saja pasti lupa. Nah, tapi di umur 30-an, asmanya kadang kambuhan, apalagi kalau ke-ca-pe-kan! Ya sama sih sama alergennya Suami. Kambuhnya di usia menuju tua. Kraaay.

Ngomongin soal umur, relate juga sama orang tua.

Baru-baru ini Mertua kan lama stay di Magelang, nah mereka seringnya minta jalan. Kadang pakai alesan "biar Alya senang". Padahal mah Alya lempeng biasa saja, kalau enggak ditawarin juga enggak. Jadi tiap hari kami bisa pergi keluar rumah, entah yang cuma renang, ke rumah saudara, sampai beli makanan. Tapi makin ke sini makin kami tolak kalau misal keseringan jalan. Jujur, kalau kebanyakan jalan, kerjaan kami keteteran. Plus, mengingat kondisi mertua yang sudah lansia alias gampang capeknya.

Yang sering enggak disadari sama Mertua adalah, kondisi mereka sudah tidak seperti dulu lagi. Naek motor sejam sudah capek. Bepergian keluar kota pasti abis itu minta pijet. Ya bukannya gimana-gimana sih, tapi orang kan kadang suka lalai kalau tubuh juga punya limit. Iya, mostly malu mengakui kelemahan.


via GIPHY

Tubuh kita memang didesain untuk bergerak, tapi tubuh kita juga bisa memberikan sinyal ketika kita sudah melakukan sesuatu berlebihan.

Iya, berolahraga itu penting, penting banget malah. Hanya saja, apakah kita sadar, olahraga itu cocok buat kita atau tidak?

Contoh nih, aku ikut kelas yoga. Guruku sampai bilang "pelan-pelan saja enggak usah dipaksa" mengingat keluhanku juga soal asma. Belum lagi pose yoga yang susah banget buat aku praktekkin, enggak tahu kenapa susah banget lenturnya. Pose itu ada tingkatannya dan untuk mencapainya satu-satu, tetep butuh waktu. Enggak semua orang bisa mencapai dalam waktu yang bersamaan. Ada yang cepet, ada juga yang lama, kayak aku gini.

Hal ini aku rasain juga ketika lari. Aku ya setiap lari, pasti langsung sakit di bagian perut dan nafas yang makin ngos-ngos-an. Nafasku pendek btw. Akan lebih cocok dengan olahraga yang mengatur pernafasan seperti yoga atau renang. Makanya, kalau abis renang, aku cenderung lebih lega dan nafas lebih panjang dari yang biasanya.

Terus soal kerjaan. Karena sekarang kami kerjaannya di depan laptop doang dan pasti duduk lama, kami sadar, ini akan enggak sehat. Kami imbangi dengan makan sehat, minum air putih anget banyak-banyak, olahraga dan setiap beberapa menit sekali berdiri.

Aku sudah lumayan lama menghindari begadangan. Karena beneran enggak enak banget. Pikiran jadi enggak tenang, mau mikir juga susah, dan badanku sering linglung. Suami juga sudah menerapkan hal yang sama, dia kalau sudah kerasa capek, ya langsung stop. Enggak usah dipaksakan deh, toh buat apa? Nyimpen penyakit?

Istirahat bagi kami adalah sebuah keharusan. Bagaimana cara istirahat yang berkualitas, seperti energi yang dicharge kembali. Iya, bukan cuma gerak tubuh yang diperlukan, tapi juga istirahat yang nyaman.

Sekarang kalau lagi sakit, ya sudah, artinya kita kudu berdamai dengan keadaan. Gimana pun, tubuh punya batas energinya. Sudah gampang sakit gini, lama-lama ngerti sendiri, kami harus menciptakan batasan, untuk mengukur kemampuan. 

Mau kesehatan, mau kerjaan, semua kudu punya batasannya. Aku enggak mau lagi bekerja like crazy yang enggak kenal wayah, sampai nabung penyakit. Aku lebih memilih untuk kesehatan jangka panjang, walaupun ada sesuatu hal yang harus dikorbankan. Tentu saha dalam hal ini adalah: karir. Aku mungkin bisa menghabiskan waktuku untuk bekerja keras, berangkat pagi pulang pagi lagi. Tapi sekarang buat apa? Banyak tanggung jawab lain di hidupku. Pada akhirnya, batasan bukan untuk melabeli bahwa kita lemah. Justru agar kita tahu, bahwa setiap pencapaian harusnya pelan-pelan.


You might be able to break the boundaries. But actually you're enough. Everyone has their own limit. Don't push anything you can't reach. Deal with it. 

You May Also Like

0 komentar