DRAMA SAKIT GIGI (PART II)

by - May 17, 2019

Lanjut drama sakit gigi yuk. Pada blogpost lalu, sudah aku ceritain ya riwayat sakit gigiku sejak kecil. Nah, sekarang aku ceritain kronologis sakit gigiku ketika sudah punya anak.


SAKIT GIGI KE DUA


Setelah mendapatkan kejelasan dari Obgyn soal pengeroposan tulang yang bisa berakibat gigi ikutan keropos, sebenernya dalam hati pengen segera nyelesaiin satu per satu masalah gigi. Cuma waktu itu mikir, Alya mau dititipin siapa. Soalnya setahuku, ngurus gigi enggak cuma sejam dua jam. Bahkan bisa berjam-jam, include pendaftaran, dan ambil obat. Jadi ya, lagi-lagi ngurus gigi sekadar wacana.

FYI, gigi yang keropos waktu aku menyusui itu ada sekitar 3 buah. Yang paling jelas terlihat adalah gigi bawah kanan, letaknya agak depan. Terus yang ditambal, tambalannya sedikit demi sedikit hilang, dan menyebabkan keropos pelan-pelan. Gigi bungsu kiri dan depannya rasanya sudah tidak terselamatkan lagi. Parah deh kalau diinget-inget. Makanya, aku enggak jarang ngeluh sakit gigi terus. Dari mulai yang cuma nyut-nyutan, sampai yang ngilu sampai pusing tujuh keliling.

Terus, waktu Alya sudah mulai bisa diajak kompromi, yaitu sekitar 1 tahun, aku memberanikan diri ke Dokter Gigi. Alya aku boyong sekalian ke Puskesmas yang deket sama rumah. Sampai sana diperiksa. Yang pertama dinotice adalah yang gigi bungsu dan depannya yang hampir membusuk. Dokter Gigi Puskesmas bilang kalau giginya masih bisa diselametin dengan cara ditambal, tapi memang harus dirujuk ke RSUD. Setelahnya, aku diresepin paracetamol dan antibiotik buat beberapa hari ke depan.

Eh habis dari Puskesmas, Alya malah sakit Flu Singapura yang pertama kalinya. Di saat aku sibuk ngobatin sakit gigi, malah ketambahan ni anak rewelnya luar biasa. Sungguh nano nano rasanya. Jadi ya, aku sibuk sama pengobatan Alya. Dan bikin mikir dua kali kalau misal mau ngajak Alya ke Dokter Gigi lagi. So, bisa ditebak. Lagi-lagi aku menghentikan diri buat periksa ke Dokter Gigi, eh Puskesmas ding.

Kenapa enggak ke Dokter Spesialist Gigi langsung? Simply karena mikir biaya. Waktu itu duit tuh kayak sekedar cukup buat makan dan hidup sehari-hari. Belum bisa nyisihin dana buat lain-lain. Masih susah lah istilahnya. Seakan enggak ada pilihan lain, ya bisa nya cuma ke Puskesmas, sudah paling murah. Belum kepikiran BPJS, karena mikir ribetnya sudah ngeper duluan.

Untungnya, rasa ngilu di gigi sudah enggak seperti yang sudah-sudah. Kalaupun sakit, aku beli obat sakit gigi asam mefenamat dan konsultasi by phone dengan saudara ipar suami yang kebetulan juga Dokter Gigi. Aselik, rasanya dilema sih, mau periksa gigi. Bukan karena takut bor, suntik, atau tang buat nyabut, tapi takut ninggal Alya lama dan takut totalannya berapa hahaha.

via GIPHY

SAKIT GIGI KETIGA KALINYA


Hingga Alya sudah beranjak 3 tahun, aku malah sudah enggak ngeh ke Dokter Gigi. Walaupun jujur, bagian gigi yang keropos itu nusuk-nusuk dinding mulut bagian dalam, dan sering bikin sariawan. Buat ngunyah juga tambah enggak enak. Tapi ya gitu, sudah kadung males ribet. Wong perawatan gigi kudu meluangkan ekstra waktu dan tenaga kan ya.

Lalu gimana bisa sampai mau perawatan gigi?

Terkutuklah suatu hari di mana tahun 2018 dan waktu itu sedang awal-awal puasa. Kerjaan banyak, dan deadline numpuk. Beneran, enggak cuma satu program dua program televisi yang dipegang, tapi juga skenario film untuk festival. Saat sedang asik mengerjakan dan pengen produktif walaupun ramadan, eh, sakit gigi itu datang!

Kali ini maha dahsyat dan ngalor ngidul puyengnya. Sumpah, enggak bisa mikir. Kalau boleh sambat, ini yang paling parah. Aku sampai enggak bisa berkutik lagi, dan langsung memutuskan: gimana caranya kudu dituntasin. Aku enggak mau lagi sakit-sakitan terus soal gigi.

Suamipun mendukung dan siaga nganterin aku kemana-mana. Plus, di waktu itu Alya juga sudah bisa ditinggal kemana-mana. Aku langsung ngajak Suami ke Dokter Gigi langganan mama. Sudah ribet banget deh pokoknya. Nyari ke Rumah Sakit Islam kok Dokter Giginya kebetulan enggak praktek. Mau lari ke RSUD kok sudah kesiangan. Lantas akhirnya ditelponin Mama sama yang namanya Dokter Akbar.

Dokter Akbar ini praktek di sebuah Klinik Umum, dan melayani faskes BPJS. Nah, aku inget, faskesku sebenernya di tempat praktek Dokter Akbar ini. Tapi sayang, faskesku nunggak beberapa bulan lamanya, karena aku mikir, kan enggak dipakai (nah kan sotoy). Sejak aku bikin, aku cuma pakai sekali doang, itupun buat periksa telinga. Setelah itu blas enggak kepakai. Karena enggak dibayar, jadinya ya enggak bisa kepakai.

Di sini aku sudah pede pakai duit pribadi saja enggak apa-apa deh. Yang penting lekas ditangani. Bayar berapa sih, ciye, sudah punya duit ceritanya. Tapi setelah aku periksa ke Dokter Akbar, beliau malah nanya "Mbak punya BPJS?" Aku kaget dong, dikira enggak punya duit apa gimana ya kan. Terus aku jawab "Punya dok, tapi nunggak. Belum saya bayar lagi". Tahu enggak Dokternya jawab apa: "Diurus saja mbak. PR gigi mbak banyak. Nanti kalau sudah diurus ketemu saya lagi. Ini butuh dioperasi di RSUD, karena di sini enggak ada alatnya".

DUNGJREEENG. Sudah ready to the max, malah diresepin obat lagi. Kupikir langsung dicabut apa gimana gitu ya kan. Ealah, cobaan apa lagi ini. Ya wes, aku langsung ngurus BPJS sekalian bikin punya Suami dan Alya.

via GIPHY

NGURUS GIGI PAKAI BPJS


Kamu pikir drama akan berakhir sampai di sini? Wah, kalian salah besar. Justru di sini lah babak baru dimulai. 

Kalau ada yang bilang prosedur BPJS itu ribet, aku iyain. Karena kenyataannya memang begitu. Kita harus melalui faskes 1, baru misal tidak bisa ditangani, akan dirujuk ke Rumah Sakit. 

Aku ngurus BPJS yang nunggak dulu deh ceritanya. Aku sempet minta bantuan sama tetangga yang kebetulan kerja di BPJS. Tanya-tanya gimana cara aktifinnya lagi, dan prosedur pembuatan yang baru. Disitu data-dataku sudah diminta. Hanya saja, kudu nunggu nomornya keluar baru bisa bayar. Ya sudah, kami nunggu gitu.

Seperti biasa lah ya, bikin seperti ini enggak cuma sehari dua hari. Ada wae yang bikin lupa dan ribet. Yang males ke BPJS pusat lah, yang atur kerjaan lah, sampai tarik ulur mau bikin BPJS atau asuransi swasta saja sekalian? Kezel euy kalau denger kasus orang yang dinomorduakan ketika pakai BPJS.

Setelah melalui perdebatan panjang, akhirnya kami memutuskan BPJS saja! Buat kami, polisnya sangat terjangkau, dan... mikirnya di Magelang sudah oke kok pelayanannya. Nah, tahun lalu setelah pulang dari pangkalan bun, kami segera ngurus BPJS. 

Mungkin karena kesalahan komunikasi atau gimana aku enggak ngerti, tetanggaku ini enggak segera ngasih nomor BPJS kami. Terus aku dengan sotoynya, langsung cek nomor BPJSku sendiri via web. Ternyata di sana, Suami dan Alya sudah terdaftar juga. Ada rinciannya harus bayar berapa.

Wah ya langsung aku bayar lewat Tokopedia, dan langsung aktif lagi. Sedangkan punya Alya dan Suami, kartunya baru dikirim sesudah pembayaran. Katanya, bisa sih lewat aplikasi online, tapi aku enggak tahu caranya. Aku prefer nanya langsung ke petugasnya biar clear, ya walaupun beberapa petugas tampak tidak ramah karena mungkin kecapekan, tapi it's okay lah. Asal masih wajar. Enggak wajar, ada kolom aduan. Ya kan?

Sekarang balik lagi soal gigi. Sayangnya, Faskes 1 yang tadinya terdaftar di Klinik Dokter Akbar, berganti jadi ke Faskes Puskesmas Jurang Ombo. Aku inget, ternyata karena kami bilang ke tetangga, kalau kami pengen Faskes yang deket, terjangkau, dan bagus. Lalu direkomendasikan Jurang Ombo. Dan saat itu pulalah, sudah didaftarkan dan dipilihkan.

Yang jadi masalah adalah, aku kan mau ketemu Dokter Akbar nih, lha gimana ceritanya kalau Faskesku saja beda dari sebelumnya? Mau ngurus, ternyata kok kudu nyoba Faskes yang dituju selama 3 bulan dulu, baru bisa pindah. Kalau enggak diurus, berarti mulai dari awal lagi dong. Huh, yawes lah, mari kita jalani saja yang ada: segera ke Faskes I Jurang Ombo.

Eits, tapi di blogpost selanjutnya lagi ya, biar lebih seru dan petain ceritanya lebih enak. Akan ada banyak drama yang bikin kita semua "eh..eh..kok gitu sih?" hahaha. Semoga kalian betah nungguin ceritaku yang ditulis dengan menggebu-gebu. 

Sampai jumpa!

You May Also Like

0 komentar