DO MORE OF WHAT MAKES YOU HAPPY

by - September 11, 2019




Jadi ceritanya, aku baru ketemuan nih sama genk-ku SMP setelah sekian lama. Kami dulu biasa main ber-6. Terakhir ketemu bisa dibilang 10 an tahun yang lalu, waktu reuni. Habis itu blas enggak ada kabar dan temen-temenku ini tipe yang enggak gadget freak plus enggak punya media sosial. 

And you know, dari 5 temen deketku, yang paling update cuma aku sama satu orang temenku. 4 yang lain enggak terlalu intens. Ya punya sih media sosial, itu pun pakai facebook dan bikinnya baru-baru ini. Padahal kan facebook sudah so last year, banyak orang sudah move ke Instagram, tapi temen-temenku malah lagi anget-angetnya komentar di facebook. Antara memang enggak update, sama memang enggak butuh. Kadang mikir juga sih, mereka ini memang tipe orang yang enggak ambil pusing. Mau ketinggalan kek, mau enggak tahu informasi terkini kek, pokoknya sudah nyaman wae hidupnya. Toh prioritas orang beda-beda.

Nah, sekarang sudah cukup sering chatting dan ketemuannya. Seru-seruan, karena sekarang kami sudah beda banget. Sudah pada punya keluarga, dan beragam pula ceritanya. Ada yang sukses banget dengan bisnis pemotongan ayam sampai jadi crazy rich, ada juga yang lagi terpuruk karena lagi ngurus proses perceraian. Definisi everyody has their own stories-nya pas banget! And we can share it to each other.

Terus habis itu, salah satu temenku upload foto kami lagi makan gitu di grup besar SMP, lalu ada  temen di grup yang nyelutuk: "anaknya mana? Kok keluar hura-hura sendirian saja?"

Temen yang nyelutuk ini temen enggak deket sih, tapi pernah satu kelas sama aku. Ohiya, dia cowok, dan media sosialnya banyak diisi dengan sharing berita provokatif berbau agama. Aku enggak mau bahas dia sebetulnya, tapi bahas soal anak dan relasinya dengan hura-hura.

Sebelumnya aku mau cerita dulu deh, tentang masalah salah satu temenku yang mau bercerai, tenang ini atas seizinnya kok, dan memang dia yang minta. Nanti cerita ini akan relate sama kenapa kok wanita masa' sih enggak boleh keluar sendirian setelah berkeluarga? Sendirian dalam artian enggak sama keluarga dan ketemu juga sama temen-temen lama loh. Enggak ada tendensi apa-apa.

Oke, kita lanjut saja. For your information, temenku ini putus sekolah. Jadi setelah SMP lulus, dia enggak lanjutin ke jenjang SMA, tapi memutuskan untuk jadi asisten rumah tangga di jakarta. Ya bayangin saja sih, waktu kita asik-asiknya mencari jati diri sebagai ABG dan tebar pesona sana-sini, dia sudah harus mencari uang sendiri untuk mencukupi keluarganya. Aku inget sih, dulu waktu SMA pernah nemu nomor telepon majikannya, dan aku sempetin telepon sebelum masuk sekolah. Dulu telponnya via wartel karena kalau di rumah, bisa dimarahin papa karena tagihan telpon jadi membludak.

Aku beberapa kali telpon dan sempet nemu alamatnya. Terus kalau enggak salah pernah kirim surat segala saking kangennya. Tapi enggak berbalas, karena mungkin juga si temenku ini sibuk dan enggak enak juga sama majikannya. Ya sudah, habis itu sampai belasan tahun enggak ketemu. Ketemunya ya baru kemarin ini, walaupun sempet denger kabar bahwa temenku mengalami KDRT dan kepontang panting sama kehidupan di jakarta. Sekarang kondisinya dia sudah enggak tahan dan lagi balik ke kota asal untuk ngurus perceraian. Kalau sudah begini, rasanya kalau enggak ketemu langsung kan enggak nyaman ya, jadi aku agak maksa buat ketemuan supaya dia bisa cerita panjang lebar.

Dan terjawablah sudah kekepoanku selama ini. Dia ternyata sudah nikah 10 tahun lebih, hingga punya 3 orang anak. Sehari-hari, dia kan bekerja sebagai asisten rumah tangga di apartemen. Terus enggak diperbolehin sama Suaminya, padahal majikannya baik banget. Pulang pergi disuruh naik Grab dengan biaya Rp 50.000 tanpa dipotong gaji. Sudah gitu, bayarin sekolah anaknya pula. Nah, karena enggak dibolehin, akhirnya dia keluar. Dan kebetulan pula ada tawaran buat jaga warteg punya temennya. Keuntungannya dia jaga warteg adalah dia dan anak-anaknya bisa makan disitu, plus bisa antar jemput anaknya sambil dimomong di situ juga. Walaupun gajinya lebih dikit ketimbang jadi asisten rumah tangga. Tapi, disamping itu, dia juga antar jemput anak temennya. Jadi dapat tambahan tiap bulannya. Belum lagi kalau malam, dia berubah jadi tukang setrika di beberapa rumah, yang gajinya kalau dikumpulkan, dia bilang sampai bisa nabung beli emas selama 6 bulan. Wow.

Terus anehnya, kata temenku, selama ini dia enggak dinafkahi sebagai istri dan diselingkuhin bolak-balik sama Suaminya. Beberapa tabungan dan emas yang sudah dibeli, diambil dan dijualnya entah buat apa. Belum minta handphone, minta motor. Sudah gitu kalau lagi marah, suaminya ini sering lempar-lempar barang dan paling parah berkali-kali jeblesin kepala temenku ke tembok. Saking menahannya selama bertahun-tahun, akhirnya hancur juga pertahanannya. Alhamdulillah banyak orang baik sekitarnya walaupun dia diam, enggak banyak cerita. Dia sudah berhasil membawa anak-anaknya pulang ke kota asal, dan menyekolahkan semuanya.

Hati perempuan mana yang tega denger cerita kayak gini? Pantes saja tiap kali dia telpon, pasti lagi nangis. Sedih sih denger curhatannya. 

Usahanya sudah sampai mana-mana. Dia juga sudah ke LBH dan sampai saat ini masih susah menemukan solusi pasti. Dia disarankan pakai pengacara karena prosesnya alot banget, si suami enggak mau dicerai. Tapi satu hal yang aku sayangkan, katanya, bagaimanapun dia akan tetap kembali ke jakarta, karena di sana gajinya bisa mencukupi anak-anaknya di sini. Selama dia mengurus perceraian di sini, enggak ada pemasukan sama sekali. Dia cuma bantuin orang tuanya dan sehari-hari antar jemput anak. Beruntung banget, di sini dia juga banyak yang ngebantuin, karena ya memang temenku ini baik banget, kalem, enggak neko-neko.

Aku yang denger cerita kayak gini langsung ngomong dong, kalau suaminya saja psikopat begitu sampai ancam membunuh segala, ya sudah mending enggak usah satu kota. Buka lembaran baru, toh anak-anak juga di sini. Anggap saja Jakarta sudah enggak nyaman lagi untuk ditinggalin. Lagian di kota asalnya, temen-temen juga banyak yang mau bantu kok. Misal mau wirausaha juga oke, kayak buka warung makan, atau bikin jajan pasar yang nanti bisa dititipkan. Temenku ini terbuka sih, walaupun masih mikir-mikir kalau di sini dia harus mulai dari nol lagi. 

Yang jelas, aku makin yakin kalau kesetaraan harus tetap diperjuangkan dan kita sebagai perempuan musti punya power. Ini saja temenku ikutan kerja loh, lha gimana kalau enggak? Sudah enggak dibolehin jadi asisten rumah tangga, kok ya nemu jalan. jadi penjaga warteg. Kalau dilogika kan ya masa' temenku yang salah, pasti lah dia ubet banget nyari solusi untuk keluarganya. Mana dia sudah berusaha untuk mempertahankan rumah tangganya, sampai berkali-kali diselingkuhin coba!! Ini kalau aku sudah pasti akan remuk banget entah jadi apa. 

Tapi kalau masalah susah cerai, atau si pihak suami keberatan, i can relate. Berbekal perceraian mama papa ku dan sampai saat ini masih saja mengakar masalah sampai mana-mana, perceraian itu tetap butuh pengorbanan. Kalau di posisi papa mamaku kan aku sebagai anak, jadi enggak bisa berpihak walaupun kadang juga tahu keluh kesahnya. Gimanapun aku musti realistis, toh nyatanya sekarang lancar-lancar saja, masalah omongan orang itu nomor kesekian. Dan beneran, life must go on kan, itu dulu yang harus ditekankan. Iya collapse, iya terpuruk, but for how long? Beruntung aku langsung gercep pulang Magelang dan berusaha mendengarkan mereka dalam kondisi yang sedang rapuh-rapuhnya. I'm here for goodness. Semua kan butuh support system. Aku berusaha jadi semua itu, tanpa mereka sadari.

Makanya, kalau ada kasus perceraian apalagi pakai embel-embel KDRT, aku garda depan yang paling setuju biar cepat diproses. Aku makin yakin dan percaya bahwa kesetaraan itu tetap harus diperjuangkan sejak pertama menjalin hubungan. Sampai aku pernah dibilang kalau tugas memasak, nyuci, dan bersih-bersih itu tugas perempuan, aku akhirnya bodo' amat. You know lah, memasak itu basic banget buat pertahanan hidup. Kalau kalian nonton Series Alone di History Channel nih ya, yang mana itu adalah Reality Show dari Amerika, pesertanya ada cowok ada ceweknya juga kok. Jangan konsen ke embel-embel reality show pasti ada dramanya, but the point is: mereka bertahan hidup di sebuah tempat terpencil di mana mereka harus bisa berdamai dengan alam, termasuk gimana cara tidur, gimana cara makan, gimana cara bersembunyi dari binatang buas. Bahkan ada loh, yang sampai ular saja dimakan! Jangan salah, kalau kalian pikir yang menang kayak gini semacam tentara-tentara yang biasa tugas di medan perang. Yang aku inget, Zachary Fowler yang menang di season 3 dan bisa bertahan paling lama 87 hari di Pantagonia adalah seorang wooden boat builder. Dia memang sejak kecil sudah suka berpetualangan, kini ia tinggal bersama anak istrinya di sebuah lahan sekitar 2 hektar dan rumahnya itu Yurt (semacam tenda bulat) yang mereka bikin sendiri. How cool is dat kan?

I mean, laki-laki yang sukanya menekan istri dengan embel-embel ini tugasmu, tugasku itu, sebetulnya cuma manja enggak sih? Patriarki dijadikan tameng pakai segala embel-embel agama dan adat. Ya iya sih, kadang kita enggak bisa ngelepas begitu saja kebiasaan yang sudah ada di rumah, tapi kan kalau enggak diputus rantainya oleh kita lantas siapa lagi. Kita lahir dan besar sebagai diri kita sendiri kok. Setelah kita nikah dan punya anak, kalau kita jadi orang lain, apakah itu betul dari dalam hati kita? Iya, berubah lebih baik itu perlu, keluarga nomor satu, tapi keluar sebentar cari suasana lain, memang dosa? Siapa yang mendosakan?

Gimanapun wanita perlu bersuara, butuh berbagi, dan enggak engap sama masalahnya sendiri. Wanita berhak bahagia atas cara terbaiknya.

Coba kalau denger cerita seperti temenku di atas. Sama siapa lagi dia berbagi karena selama ini terlalu sibuk nyari upah dan di rumah cuma bisa dimaki-maki? Menurutku nih ya, wanita tetap harus dikasih kebebasan memilih hidupnya. Enggak apa-apa kok bekerja, enggak apa-apa kok sekolah lagi, enggak apa-apa kok berlibur sejenak sama temen-temennya. Because when women support each other, incredible thing will happen.

Contohnya aku nih. Aku keluar sebentar sama temen-temen, atau keluar kerja. Jujur, walaupun aku mellow kalau ninggal anak, tapi kalau lagi kerja, atau lagi ngobrol sama temen-temen ya aku memang melupakan keluarga sejenak. Sebelum itu aku pastikan Alya aman, dia sama siapa, nanti jadwalnya gimana, makan apa. Terus kalau aku sudah pulang, ya waktuku buat main sama dia. Enggak ada tuh hawa nelantarin anak. Toh Suami juga ngasih kepercayaan, dan itulah yang aku tanamkan. Jangan sampai aku lalai dan mengingkari kepercayaan yang diberikan. Aku juga bisa jaga diri kok, enggak ada yang perlu dipermasalahkan.

Relasi dari celutukan temen-ku di grup yang pada intinya mempermasalahkan kenapa kok kita tega ninggalin anak adalah, SIAPA YANG NINGGALIN WOY? We are still human, yang butuh bersosialisasi terhadap lingkungan, butuh sharing, butuh keluar sebentar supaya pulang dengan sehat dan energi ke-recharged. Sorry, i don't have to be a perfect to be called amazing. Judgement orang yang ngatain kita harus begini harus begitu bukannya bikin kita lelah? Kita kan punya pilihan atas apa yang kita punya.

If we have different point of view, then why don't we just struggle with our choice? Mungkin kamu lebih nyaman sama status istri yang hanya di rumah, it's okay, tapi pastikan itu pakai kesepakatan bersama. Mungkin kamu lebih suka bekerja dan keluarga membebaskan, it doesn't matter, tapi jangan menyia-nyiakan kepercayaan. 

Intinya, kita cuma butuh orang-orang yang sepemikiran sama kita biar tetap terjaga kesehatannya. Kebahagiaan itu hak semua orang. Gitu saja sih, semoga semua sepaham.

You May Also Like

0 komentar