INTROSPEKSI

by - September 13, 2019

Fiuh, lagi ngerasa makin tua makin banyak tingkatan masalah nih. Aku pikir badai akan segera berlalu ketika kami sudah menemukan secercah harapan terutama soal financial. Kalau kalian belum baca, beberapa waktu lalu kami lagi mengalami kondisi keuangan yang sangat memprihatinkan. Bukan dari kami yang enggak berusaha sih, tapi karena pembayaran fee yang nunggak, atau ketemu klien yang curang. Itu terjadi enggak cuma sebulan dua bulan loh, dan uang tabungan kami jadi ludes des. Sebenernya pernah sih ngalamin hal kayak gini, wong namanya juga freelancer. Tapi yang kemarin ini nih, yang sangat bikin emosi. Kadang sampai bikin berantem, enggak jarang juga bikin nangis terus-terusan.

Kami sudah ikhlas kok, dan kasus ini sangat menjadi catatan biar ke depannya lancar. Cuma yang namanya hidup, ada saja urusannya. Kemarin sudah lega karena nemu ritmenya. Sekarang dihadapkan lagi pada masalah baru. Yang ternyata kerjaannya enggak sesuai sama fee lah, yang ternyata kerjaannya ngepush banget lah, yang ternyata ketemu atasan baru yang ribet lah. Iya sih, ini masalah sepele, tapi beneran loh, bikin nguras energi karena bikin mood jadi jelek. Pengen nginget-inget terus "this is too shall pass", tapi kan kapan sih bener-bener keluar dari masalah? Kraaay.


Waktu nulis ini, aku baru saja ngerjain satu storyline untuk program animasi. Alur nulisku memang biasa sinopsis dulu, atau langsung storyline juga bisa, lalu diajukan ke Produser, dan dibahas bareng-bareng, baru kemudian diajukan ke stasiun televisi. Enggak tahu ya, ngerjain animasi satu ini nih sampai bisa bikin aku capek luar biasa. Mungkin terlalu banyak revisi dan divisi yang ikutan urun rembug kali ya. Jadi ide orisinal dan ceritanya berkembang sampai mbuh, draft berapa. Belum ketambahan pula ada beberapa program web series dan company profile. Yang terakhir santai sih, ndilalah klien dan teamnya sudah klop banget, enggak ada masalah berarti.

Jujur karena pekerjaan yang numpuk-numpuk begini, aku jadi agak males ngurus pekerjaan rumah tangga. Kayak setrika sama masak. Iya, kalian bisa teriak, "Suamimu kan bisa masak", tapi kan ya enggak semudah itu. Kadang Suamiku sama sibuknya walaupun kami sama-sama di rumah. Bahkan nentuin menu makan apa, sampai bisa berantem segala. Maklum lah sama-sama capek, apalagi Alya ini kan ekstra ya. Enggak semua menu makanan dia diperbolehkan sama Dokter. Wong yang sudah kami jaga saja, batuknya masih sering kambuh kok.

Aku sempet mikir, dulu nih, aku selalu berharap bisa bekerja tapi enggak jauh-jauh dari anak. Waktu zamannya aku jobless dan kesusahan gara-gara baby blues, aku sampai ingin ninggalin anak. Tapi  lucunya, sekali ditawarin kerjaan, berubah mikir, "terus Alya nyusunya gimana ya?" Belum lagi urusan siapa yang bakal ngasuh Alya, mengingat aku masih tinggal di Jogja dan Mama di Magelang juga belum pensiun, Mau cari asisten rumah tangga atau ninggalin anak di daycare? Monmaaf, di Jogja kok daycare jarang ada yang dari bayi. Terus asisten rumah tangga pulung-pulungan kan. Aku enggak tega coba.

Dalam kesusahan itu aku kemudian berdo'a biar aku dapet kerjaan yang sesuai dengan kondisiku saat itu. Rasanya enggak mungkin lagi kembali ke dunia perfilman dalam waktu dekat. Gimanapun aku pasti bakalan pergi pagi pulang larut kalau urusan syuting. Mana harus mikirin ASI pula. Wes lah, mending aku berubah haluan jadi penulis naskah walaupun aku harus belajar lagi mulai dari nol.

Tahun demi tahun pekerjaan jadi penulis naskah makin menjanjikan. Aku sudah mulai percaya diri dan makin dikenal. Tahun ini misalnya, aku sama sekali enggak nyangka bisa teken kontrak sama beberapa perusahaan, yang artinya, penghasilanku sudah jelas dan enggak nunggu kepastian lagi kapan ditransfernya. Cuma ya itu tadi, kok ya ada wae yang bikin nyesek. Bukan masalah uang sih, tapi masalah salah seorang rekan yang aku kurang sreg karena too much bossy. 

Baca juga: Kenyamanan Bekerja

Masalahnya, aku tuh apa-apa gampang kepikiran. Masih mending kalau buntu, paling diajak nonton, atau makan di luar, bisa langsung ketemu ide. Lah kalau ketemu orang nyebelin padahal satu team? Apa enggak emosi. Kalau sudah gitu, bisanya cuma nangis. Mau mundur kok ya sudah teken kontrak. Mau maju tapi angot-angotan. Ya wes, solusinya memang kudu diterusin, gimanapun berdarah-darahnya.

Nah, kemarin ini, aku ketemu sama temenku kan. Dia cerita, kalau dia punya masalah keluarga. Jadi dia ini hidupnya sudah enak banget, sudah dapet passive income dengan bisnis ayam potong. Pokoknya tiap hari kerjaanya tinggal mantau, telpon, dapet uang. Muter terus saja gitu. Kalau dipikir-pikir nih, hidupnya sudah enak banget. Tanah banyak, rumah di mana-mana, suami setia, anak dua komplit cowok cewek. Rumah tangganya tuh sudah belasan tahun dibina dan nyaris enggak ada apa-apa. Lah kok ya masalah datang dari luar. Dia digoda sama cowok gitu dan sampai mau. Dia ngaku sih, dia sempet gandrung sampai ngumpet-ngumpet sama keluarga. Si cowok minta apa saja, monggo. Ngajak kemana saja, ayo. Terus beberapa bulan jalan, akhirnya ketahuan juga! Jeng jeng! Waini nih, kalau aku sudah pasti langsung aku kepret.

Ternyata enggak dong. Suaminya temenku nih malah yang akhirnya introspeksi diri. Temenku cerita, Suaminya refleksi barang kali dia yang salah duluan hingga akhirnya temenku ini mau digoda cowok lain. Suaminya juga lebih khusyuk berdoa dan makin sayang keluarga. Sekarang bahkan memperbolehkan si temenku main keluar tanpa harus dia antar. Mungkin sebelumnya dilarang kali ya, jadi temenku juga main sembunyi-sembunyi. Lagian mungkin temenku bosan dikekang?

Well, i have to stop the story here, because i'm pretty sure you guys got the point.

Iya, maksudku, introspeksi memang diperlukan ketimbang kita sibuk nyalahin orang. Pernah enggak kita ketemu pada titik yang bikin kita ngerasa kecil dan enggak berguna? Kalau aku nih, pada saat ngerasa kayak gitu, aku cenderung mencari celah kekesalan untuk melampiaskan. Seperti misalnya pulang kerja, capek dari luar kota, terus di rumah ketemu anak. Niatnya pengen main seneng-seneng nih ya, tapi anak malah numpahin susu sampai rumah kotor dan lantai pliket. Nah, langsung kesel kan. Plus, aku kalau lagi capek, keselnya bakal kemana-mana. Nanti mrembet ke Suami yang enggak cepet bantuin kek, lihat pekerjaan rumah lain yang enggak kalah banyak kek, belum lagi inget naskah next episode yang enggak kunjung di acc. Rasanya, semua kena imbasnya. And everything feels like gloomy.

Aku sadar betul beberapa hari ini ngerasa demikian. Aku masih sering ngerasa bahwa aku sudah paling benar dan paling cepat bekerja. Giliran ada yang enggak sama, aku langsung ngegas. Mungkin faktor umur juga kali ya, yang gampang capek. Terus pengen mengasah skill lain, misal kayak menggambar, main gitar, mikirnya kok waktu sudah habis duluan. Ini saja masih mending, emosinya sudah aku salurkan dengan olahraga, jadi ya wes capek buat huru hara yang enggak-enggak.

Sekarang aku mau pelan-pelan memperbaiki diri. Enggak mau membandingkan sama orang lain dulu. Biar apa-apa dikerjakan semampunya dan ya enggak semua orang bisa sama. Misalpun mau upgrade kemampuan ya enggak bisa cepat-cepat. Begitu juga sebaliknya, orang lain juga enggak selalu sejalan sepemikiran sama kita loh. Gimana caranya biar semua berimbang dan saling melengkapi. Terutama soal rumah tangga ya, karena terus terang, kalau aku stress, larinya ke rumah terus. Mau marah sama siapa lagi? Mau nangis sama siapa lagi? Aku kan butuh meluapkan emosi, walaupun caranya yang masih salah.

Self development kayak gini kalau ditulis memang seperti berlebihan sih ya. Aku enggak masalah kalau ada orang yang bilang, "halah, kayak gitu saja dipikirin to yos?". Karena, ya apa sih yang orang tahu tentang kita? Toh luarnya saja.

Makanya, kata introspeksi ini paling cocok di aku. Entah itu banyak-banyakin sujud, ngaji, nafas panjang, yoganya dirutinin, atau mungkin i just need teman curhat yang enggak semata ngedengerin doang?

Oh iya, introspeksi ini juga bikin aku inget-inget lagi, barang kali dulu aku pernah mempersulit orang dan membuat seseorang terluka, sampai aku bisa berbalik kepada ku? Who knows bahwa proses sebab akibat itu bisa membalikkan keadaan? Atau jangan-jangan apa yang aku anggap berjuang ini adalah doaku dari masa lalu? Entahlah, aku masih mencari jawaban.

Makin hari, aku harus bisa mengolah diri lebih baik lagi, kepada siapapun. Boleh lah sesekali marah, tapi harus segera mencari cara untuk melampiaskan biar keluar. Habis itu, jangan sampai ada dendam. Mungkin benar kata orang, sebaik-baiknya manusia hidup, adalah bagaimana cara ia agar bermanfaat bagi sesama. Semoga aku pun juga ya!


You May Also Like

0 komentar