KURANG BERSYUKUR?

by - August 15, 2018

Ada pernyataan yang pualing aku benci dari kecil, yaitu kalau orang lain sudah ngomong: "kamu tuh kurang bersyukur". Oh wow, really?

Enggak mama, enggak papa, enggak temen-temen, sampai suami sendiri kompak bilang gitu. Oke, aku paham, kalau mayoritas yang ngomong, itu bisa berarti hal tersebut benar. Bahwa aku kurang bersyukur tampak nyata. Lelah ya.

Tapi masalahnya, aku sendiri justru merasa jauh dari kesempurnaan. Keseharianku ya sederhana saja, bahkan mungkin beberapa kali kekurangan. Aku enggak bohong loh, aku selalu bilang, aku sedang berjuang. Nah, pencapaian yang selama ini aku idamkan itu belum tuntas terlaksanakan. Bukankah berdamai dengan keadaan juga merupakan bentuk rasa syukur? Selama ini aku masih dalam proses kok, belum membuahkan hasil. Istilahnya nih, belum apa-apa kok sudah disuruh bersyukur dulu? HERAN kan?

Photo Credits: Chandra Pradityatama
Boleh dibilang, aku ini tipe fleksibel, enggak semua kudu sama peraturannya. Keadilan itu berasaskan kondisi. Yaaah, ini justifikasi pribadi sih. Kalian boleh kok enggak sepemikiran. Bebas mah.

Dalam kamus aku, ada pola tentang rencana kehidupan yang mau dijalani. Setuju donk kalau, life is always full of surprises? Gimana pun kita kudu antisipasi, nyiapin cara A, B, sampe Z supaya urusan enggak cuma halu. Begitu punya masalah, harus segera ditangani. Lebih-lebih masa depan soal finansial dan kerjaan. Malu donk, sarjana umur 23, tapi kok goals enggak ada. Zonk kan ya. Maka aku maunya semua hal itu kudu dipertimbangkan matang. Semua hal sebisa mungkin lewat jalurnya. Jadi setiap tahun ada pencapaiannya.

Yup, manusia merencanakan Tuhan yang menentukan. Tapi ingat, “Sesungguhnya Allah tidak akan mengubah keadaan suatu kaum sebelum mereka mengubah keadaan diri mereka sendiri.” (QS.ar-Ra’d:11)

Artinya, manusia diberi akal sehatnya untuk memilih jalan yang sudah Tuhan tunjukkan. Ada banyak loh, tinggal mana yang mau dijalani. Bukan semata-mata "halah ini kan takdir Tuhan, ya kita cuma bisa begini-begini" Ya bukan. Kalau mindsetnya saja seperti itu, lantas apa yang akan kita pertanggungjawabkan. Hawong kita hidup secara sadar kok! Menurutku, hidup itu harus balance, disamping do'a juga ada usaha. Belum berhasil, ya bisa dicoba lagi.

Mungkin kebanyakan orang berpikir bahwa aku selalu menggebu dan punya goals muluk-muluk. Sebenarnya enggak muluk-muluk sih, serius. Misalnya saja pengen sekolah di luar negeri, rutin bersedekah, selalu punya perhatian buat orang tua yang... enggak berlebihan kan? Itupun skala prioritasnya bukan yang urgent banget. Semua masih dalam batas wajar alias masih bisa dikejar kalau ada kemauan.

Artinya, kalau aku mau merealisasikan angan-angan itu, aku harus ekstra kerja keras. HARUS. Enggak boleh enggak. Aku sendiri merasa sudah terlalu lambat. Beberapa kesempatan sudah aku lewatkan, beberapa moment sudah aku buang percuma, jadi kalau sedikit kecewa, itu hal yang biasa. Biasa dalam arti, memang aku sudah berusaha, sudah berdo'a, Kok ya belum dapet-dapet. Setelah itu baru sadar, ya mungkin aku kurang ekstra berusaha. Trust me, kecewanya juga paling bentar saja.

Well, balik lagi ke masalah bersyukur tadi. Aku selalu menganggap bahwa yang harusnya disuruh bersyukur tuh orang yang punya rumah gonjreng mentereng. Orang yang sukses lahir batin sampai lupa menyantuni anak yatim. Atau... tuh, orang yang sudah enak hidupnya tapi masih nyacat hidup tetangga. Nah targetnya tuh tepat, enggak salah sasaran.

Lah aku? Enggak bersyukur dari hongkong?

Aku bener-bener berpikir loh, apa yang membuat mereka merasa aku enggak bersyukur. Barang kali kalau denger curhatanku, baru mereka tahu kalau selama ini aku gimana gimana. Ya tapi masa' saran teman selalu dijawab dengan curhatan, kan enggak.

Jadi, saking kepikirannya aku tentang 'kudu bersyukur' ini, aku jadi lebih memekakan diri terhadap sekitar. Salah satunya adalah mendengarkan cerita dari ibu-ibu di sekolah Alya. Apa lagi sih kegiatan ibu-ibu waktu nungguin sekolah anak selain rumpi? Senam? Yoga? Main catur? Sudahlah iyain saja, kalau sudah ketemu yang klop, biasanya kita rumpi hahaha.

Aku sudah pernah cerita ya, aku memang sengaja menyekolahkan Alya di tempat yang biasa saja, dan dekat rumah. Lagian Alya masih PAUD, aku pikir fungsi sekolah lebih ke sosialisasi dan tempat bermain. Kalau boleh jujur, sekolah Alya itu mayoritas orang-orang menengah ke bawah. Dengan begini, biasanya malah bikin cerita makin beragam.

Mostly para ibu ini adalah ibu rumah tangga, walaupun beberapa ada juga yang kantoran dan anaknya di jemput kakek/neneknya. Awal mulanya kami bercerita tentang anak, merambah ke mau nambah anak lagi enggak. Terus kami yang senggol senggolan becanda gitu. Ada yang bilang pengen, tapi banyak juga yang kompak bilang capek. Yang aku suka, hampir semua ibu-ibu ini realistis. Alias misal nanti punya anak lagi, ya mereka berpikir kalau bakalan momong bayi sambil nungguin kakaknya sekolah. Kalaupun mau punya anak lagi, ya paling enggak nunggu anak pertamanya SD, biar bisa sekolah sendiri. Selogis itu loh!

Nah, sebenarnya dari situ lah aku banyak belajar. Bahwa kekurangan, kadang malah jadi bikin kita lebih berpikir relevan. Enggak yang ya sudah, kebobolan kan rejeki dari Tuhan. Semua sudah diatur oleh Tuhan. Padahal yaelah, kebobolan karena enggak pakai pengaman. Sekali lagi, kalau semua atas kehendak Tuhan, apa yang nantinya kita pertanggungjawabkan.

Para ibu-ibu ini beneran ngajarin aku sesuatu yang bisa dipikir secara sederhana. Misalnya nih, kalau aku lagi kerja keluar kota, otomatis yang antar jemput Alya kan jadi Suami. Mereka langsung nyelutuk "Mbak Yosa enak ya. Kuliah, bisa dapet kerja. Nanti kalau Alya ditinggal, suaminya siap siaga"

Tanggapanku sebenarnya selow, aku cuma bisa ketawa-ketawa. Padahal ya, aslinya aku begini memang aku rencanakan, termasuk memilih suami sekalipun. Tahu banget kok, ada beberapa kondisi di mana beberapa orang enggak bisa bekerja dan manut manut saja. Kita enggak bisa menyamaratakan kondisi dan pilihan.

Aku pun beberapa kali tersadar kalau aku enggak bisa berada di posisi mereka. Harus nyuci pakai tangan subuh-subuh, masakin suami, anak, dan mertua, sampai harus ngurusin PKK RW yang banyak acara. Beneran, masakan mereka enak-enak loh, dan biasa ngurus hal-hal remeh sendirian sama anak. Kayak ke BPJS, kayak ke puskesmas, kayak naik angkot. Aku mah boro-boro bawa Alya berduaan keluar, yang ada selalu nunggu Suami dulu biar bisa momong barengan. Boleh lah kalian bilang aku super mandiri kalau lagi sendiri, kalau sama anak? Wah, cemen luar biasa.

Makanya, aku lebih menyimpulkan perbedaan seperti ini sebagai bahan pembelajaran. Saling melengkapi pengalaman satu sama lain, biar hidupnya berwarna indah, ya kan bun?

Setelah beberapa kali membuka diri pada keadaan, ternyata, kesalahanku selama ini bukan karena tidak bersyukur. Melainlah aku terlalu optimis, terlalu menggebu, jadinya terlalu mendongak ke atas. Bukan ke bawah. Bersyukurnya kurang banyak, karena bersyukur enggak kenal syarat dan skala.

Ada banyak banget orang yang kurang mampu dan belum tentu bisa menjadi apa yang diinginkannya. Mereka serba keterbatasan. Ya keterbatasan dana, ya keterbatasan fisik, ya keterbatasan support. Batasannya apa, ya dari masing-masing personal. Tergantung bagaimana mereka mengukur diri sendiri dulu dan orang lain.

Kalau sudah melek mata gini, aku terus sadar banget. Bahwa selama ini aku sudah mencapai beberapa goals. Yang tadinya belum bisa terealisasikan, tahun ini pelan-pelan sedikit ada perubahan. Bersyukurnya sudah, tinggal langkahnya yang pelan-pelan.

Kata kuncinya adalah refleksi diri dan, BERSYUKURLAH SEKECIL APAPUN.

You May Also Like

0 komentar