SEMBUH DARI MASTITIS DAN BABY BLUES

by - January 04, 2017

Jadi orang tua baru memang menguras energi dan pikiran ya. Nah, saya mau sedikit berbagi tentang pengalaman saya terkena mastitis. Ini cerita panjang. Semoga dapat berguna. 

Saya ngga akan pernah menyangka, sehabis melahirkan akan menjadi moment paling 'menyakitkan' sekaligus pengalaman berharga bagi saya.

Awalnya saya berencana melahirkan normal. Dari mulai senam, ngepel jongkok, jalan pagi, bahkan saya masih bekerja di usia kehamilan 39 minggu. Namun Tuhan berkendak lain melalui Dokter yang memutuskan Caesar di umur kehamilan 40w+1. Waktu itu sudah bukaan lengkap, ketuban akhirnya dipecah dan ternyata keruh, lalu 1/2 jam saya ngeden bayi tidak kunjung keluar.

Akhirnya saya melahirkan bayi yang sangat sempurna bagi saya walaupun kemudian timbul beberapa statement orang-orang semacam: 'Kok lahiran caesar sih? Pasti belum minta maaf sama mamanya?'
'Belum wanita lho ya, kalau belum melahirkan lewat jalan lahir...'

Merasakan kecapekan luar biasa ditambah sehabis pulang dari RS, saudara+kerabat yang datang silih berganti, membuat saya flu berat. Apalagi awalnya, anak saya tidak memakai disposable diaper. Harus meluangkan waktu extra untuk mengganti popok dan mencuci. Belum lagi saya harus mandi pagi 'wuwung' (keramas) tiap hari katanya supaya sel darah putih naik biar tidak pusing. Ngga boleh tidur setelahnya sampai siang. Posisi menyusui juga tidak boleh sambil tiduran, kakipun pantang terlipat. Biasalah, orangtua mulai menampakkan rules nya sendiri. Parahnya, puting PD sebelah kiri saya lecet! Malam saya harus begadang menyusui, harus bangun pagi dan sampai siang ngga boleh istirahat. Lengkaplah sudah. Kalau yang lain bisa perawatan lengkap paska lahiran dan bahagia sama bayi-bayinya, saya bisa apa?

Semua disibukkan sama si bayi dengan analisanya masing-masing. Saya sempat merasa gagal jadi Ibu.

Batuk yang menyiksa membuat luka sayatan makin terasa. Mana saya belum boleh pijat karena caesar.

Oiya, mertua saya khusus datang untuk membantu kami dalam mengurus lahiran. Dari masak, mencuci, dll. Kami sengaja ngga ada ART/nanny. Kelebihan mertua saya dibanding orang tua saya sendiri adalah mereka pro asi minimal 2 tahun.

Tapi justru inilah yang membuat saya depresi dan hampir sekarat! Terdengar berlebihan ya? Nggapapa, toh itulah faktanya.

Jadi, gara-gara puting lecet itulah yang membuat mereka berpikiran asi saya ngga lancar. Dari minum jamu, booster asi, daun katuk, kacang hijau sampai susu disodorin semua ke saya. Padahal obat-obat dari RS untuk jahitan belum habis. Ditambah lagi obat untuk flu. Mertua saya juga berniat baik dengan menyediakan Pil Cina Piahong untuk luka jahitan saya (kemudian saya sadari pil inilah yang bisa membuat asi kering).

Belum buka perban seutuhnya, saya dikondisikan dengan payudara yang semakin mengeras dan menimbulkan benjolan sebesar telor puyuh. Saya harus bolak balik ke Dokter. Positif mastitis! Jika terjadi abses dan akhirnya bernanah, saya harus operasi. OPERASI (lagi)?

Mastitis ini ada obatnya juga, berupa antibiotik, salep untuk puting dan beberapa obat lainnya. Bisa dibayangkan ya, sehari saya makan minum obat berapa banyak dan berapa kali.

Pernah beberapa kali pumping asi, hasilnya lumayan. Sekali pumping di satu PD bs 100ml. Seperti itu masih didoktrin asi saya kurang bagus.

Baby blues ini makin kuat karena dijejali mitos-mitos yang ngga logis. Pup bayi berbuih, saya dikira makan aneh-aneh (DSA bilang, penyebabnya justru karena saya banyak makan sayuran seperti brokoli dan sawi). Bayi nyusu terus, dikira asi saya encer karena bayi ngga kenyang-kenyang. Bayi bentol-bentol keringet buntet, dikira saya masak di dapur. Bayi kolik malah malah dibakarin kulit bawang ditaruh di teras dan dibacain surat kursi. Semua mitos sepertinya saya sudah khatam!

Saya dan suami sampai pusing 7 keliling. Tiap malam suami memijat PD saya yang benjol sambil di kompres hangat selang seling dingin. Saya dipisahkan dari bayi saya sepanjang malam, niat mertua supaya saya bisa istirahat. Padahal asi saya tetap produktif.

Sakitnya sudah sampai tidak berasa dan air mata sampai tidak keluar lagi.

Akhirnya saya komunikasikan semua kepada suami tentang semua yang saya rasakan. Ya, kami mulai rebel dan berontak dengan segala peraturan yang aneh. Disitulah saya mengajak suami ke seorang bidan, bidan ini kerja di dinas kesehatan dan ahli laktasi. Saya luapkan semua uneg-uneg. Bidan tersebut kembali meresepi saya dengan antibiotik dan setuju dengan saya yang suka menyusui secara langsung dibanding perah. Saya mulai gabung grup menyusui, googling sana sini. Logika saya mulai berjalan. Jika asi supply by demand, saya mungkin tidak perlu pumping asi sementara waktu. Saya biarkan anaklah yang menyembuhkan saya melalui seberapa maunya dia menyusu. Jika puting saya lecet dan dijejali pelancar asi, otomatis asi saya tambah 'mbludag' (kepenuhan), benjolan malah semakin besar. Ibarat jalan yang macet, kalau semakin banyak kendaraan yang masuk, keadaan malah tambah parah. Solusinya, tuntaskan dulu jalan yang membuat macet.

Saya aplikasikan logika itu ke PD. Jelas asi saya bukannya ngga lancar tapi over supply. Puting yang lecet saya tetap kompres dingin hangat. Saya bersihkan memakai VCO dan kain kasa, Milk blisternya saya ambil pelan-pelan. Selalu susu-kan PD yang tersumbat dahulu daripada yang sehat. Saya juga tidak memakai bra yang berkawat. Akhirnya dengan logika asal-asalan itulah kemudian saya menemukan kulit PD mengelupas halus yang artinya bengkaknya sudah berkurang. Sebulan paska melahirkan PD saya sembuh total!

Nah, rasa sakit itulah yang akhirnya memberi energi untuk lebih baik demi si buah hati. Saya selalu mengandalkan logika dan menganalisa dengan sigap. Sayalah Ibunya.

Sekecil apapun masalahnya, pastikan selalu berkomunikasi dengan baik. Suami termasuk faktor utama dalam pemberian asi.

Dengan tidak mengurangi rasa hormat saya pada mertua, pada akhirnya saya sadar, justru masalah inilah yang membuat saya bersikap lebih bijak. Positive thinking dan harus bahagia.

Saya rela nolak beberapa kerjaan freelance di masa emas tumbuh kembang si kecil. Saya mengambil pekerjaan yang bisa saya lakukan sambil ngemong anak. Anak masih nenen langsung, karena sekarang ngga bisa ngedot. Kalau ada yang bilang anak saya 'mbok-mbok-an', bukankah itu esensi dari bonding yang diciptakan dari menyusui? Nanti kalau anak saya dekat sama orang lain malah dikira saya yang ngga perhatian.

Apapun perkataan orang, banyaknya saran, dengarkanlah. Kemudian ambil energi positifnya. Karena semua tindakan pasti ada komentar positif dan negatifnya. :)


Terimakasih sudah membaca. Salam asi. 

You May Also Like

0 komentar