BISIK BISIK TETANGGA

by - November 02, 2018

Pernah denger istilah "kalau lingkup kita terbiasa ngomongin orang, maka jika suatu hari kita tidak ada situ, justru kitalah yang akan balik diomongkan"

Agak lupa kata-katanya tapi intinya gitu. Cukup relate sama kehidupan kita sehari-hari kan? Oke mari kita mulai membahas yang namanya bisik-bisik tetangga.


Sejak aku kecil, aku sudah terbiasa dengan sikap keluarga yang cuek dan cenderung enggak nanggepin omongan orang. Mau jungkir balik kayak apa, kata mama sih, kita bakal tetap diomongin. Aku setuju, apalagi dulu ruang lingkupku berada di sebuah kampung yang isinya adalah orang-orang heterogen. Mulai dari pejabat, guru, polisi, tentara, tukang parkir, sampai copet. Iya copet, maling, pemalak bahkan, kamu enggak salah denger kok. Lucunya, semua bisa membaur, kayak enggak ada apa-apa gitu. Cuma ya entah deh di belakangnya.

Pernah sih sesekali denger gunjingan yang mengarah ke keluarga kami. Mama Papa yang terlihat baik-baik saja pun tetap enggak luput dari gunjingan. Contoh nih ya. Mama kan pegawai negeri, dia juga didaulat sebagai bendahara RW. Kalau enggak salah, Mama pernah bikin sistem nabung dan hutang. Semua itu sudah dirembug dan disetujui bersama, ya demi kesejahteraan warga juga. Nah, aku yang waktu itu masih piyik, tiba-tiba ditanyain temenku sendiri, dia bilang:

"Yos, mama kamu lintah darat ya?"

(LINTAH DARAT? Semprul!)

Aku cuma bisa hah hoh doang, karena bener-bener belum mudeng apa itu lintah darat. Terus aku balik nanya
"Emangnya lintah darat itu apaan".
Dia jawab dong,
"Itu loh rentenir yang suka minjemin duit dengan bunga gede. Ya pantes kamu sugih"

BAYANGKAAAN!!! Sugih dengkulmu!

Sakit loooh. Aku tahu sendiri Mama Papa kerja keras dan masing-masing punya penghasilan tetap. Sempet batin juga, seragam yang dipakai Mamaku tiap ngantor apa kurang mencolok sih, sampai bisa-bisa dikatai rentenir segala. Mana rumah kami cuma kecil mepet segitu saja, bukan rumah yang nagrong-nagrong. Wah kurang ajar bener nih su'udzonnya.

Temenku yang bilang begitu itu temen kampung, dia hampir seumuran sama aku. Pas gosip tersebut beredar, kayaknya kami masih SD deh, lupa tepatnya kelas berapa. Lagian temenku ini kecil-kecil nyinyir, tahu dari mana deh, selain dari yang lebih gedhe. Mungkin dari orang tuanya? Tetangga kanan kiri? Atau bisa jadi dia nguping seomongan orang lalu menyimpulkan sendiri? Huaaa ada juga ya, yang kecil-kecil sudah seneng gosip.

Karena keluargaku cuek, sebetulnya ini bukan jadi masalah serius. Toh enggak cuma sekali dua kali kok kami digosipin. Masih banyak cerita lain yang ngarahnya ke hal-hal negatif. Kalau makin ditanggepin, bakalan makin heboh, bahkan mungkin bisa sampai bikin kubu sendiri. Karena sifat orang kan kalau sudah membuat pembenaran, pasti pengen melibatkan banyak orang. Makanya, kami memilih diam dan membatasi pergaulan.

Sampai sekarang. Trauma gitu intinya.

Aku sebenarnya paling anti kalau disuruh kumpulan terus menerus gitu dan bikin topik pembicaraan enggak terarah. Sama temen kantor mending ya, mungkin yang dibicarain cuma sebatas ruang lingkup kerja, paling mentok gosipin seleb yang lagi hits. Setelah pulang ke rumah, punya kehidupan sendiri-sendiri.

Sama temen lama, komunikasinya paling banter lewat WA grup. Yang dibahas kadang memori waktu dulu masih barengan, gosip temen lain, dan info seputaran grup. Selebihnya, kita punya privasi masing-masing. Kalau sudah keranahnya nggosip, ya sudah tanpa cacicu langsung clear chat, atau enggak nanggepin sama sekali. Enggak bisa loh, kita nyampurin urusan, misal si A kok enggak mau gabung di grup. Si B kok enggak pernah aktif cuma diem saja. Itu ranahnya sudah beda, semua punya keputusannya.

Baca juga: Tentang Grup Whatsapp

Di lingkungan komplekku ini termasuk yang mendingan. Enggak cuek-cuek amat, tapi juga bisa membaur seperti teman. Karena mostly yang ada di komplek seumuran, jadi ya ngobrolnya enak, ala orang tua millenial lah. Tapi teteup bos, kudu dibatesin.

Semua lingkungan punya kondisi yang hampir sama. Ada yang cuek, ada yang reseh, ada yang suka nggosip, ada yang pendiem, dan ada yang anti sosial. Karena sering bekerja dan bertemu dengan banyak orang, aku justru menerima dengan baik segala keputusan dan privasi orang. Kalau ada yang memang enggak suka diajak ngobrol ya monggo. No problem. Karena mungkin sifat kita berbeda, dia memang enggak pede, arah obrolan susah nyambung, dia memang introvert, atau dia memang lebih suka jadi figuran. It's all about convenience.

So, kalau kamu mempermasalahan eksistensi mereka, then the trouble is you! 

Mungkin kita memang enggak nyaman sama orang yang enggak sesuai sama kita. Tapi pernahkah kita berpikir bahwa mereka juga belum tentu nyaman sama kita? Manusia yang hidupnya susah berkomunikasi dan enggak nyaman dengan banyak orang itu ada loh! Tipe seperti ini bisa terjadi karena bawaan, genetik, turunan, atau pengalaman. Siapa yang tahu yakan? Nah, tipe pendiem kayak gini memang bisa berubah karena lingkungan, akan tetapi, tetep enggak bisa dipaksakan. Istilahnya kita enggak bisa ngerubah pola hidup mereka, kecuali memang mereka sendiri yang pengen. Mereka bisa kok ngobrol enak dengan yang mereka merasa nyaman. Jadi, kalau kita pengen mereka bisa ngobrol sama kita, ya kita harus jadi orang yang nyaman. Think simple!

Aku sih cuma pengen ngomong, kalau dimanapun kita berada, lintas generasi lintas provinsi, semua sifat itu ada yang baik ada yang enggak baik. Ada cuek, ada yang demen gosip. Jadi enggak bisa ngejudge, di sini da best, karena lingkungannya taat dan ramah, no gosip no sara. Mungkin persentasenya dikit, tapi tetep, pasti ada. Yakin deh.

Sependek pengalamanku pindah-pindah kota, aku tetep diomongin tuh. Walaupun aku diem. Ini aku diem loh, cenderung enggak mau banyak omong, karena diem wae aku diomongin apalagi banyak omong yakan. Makanya, aku percaya kok, dimanapun tetep ada gitu.

Satu-satunya yang bisa stop ya dari kita sendiri. Semua harus berhenti di kita sendiri. Misal kita dapat gosip ya sudah, diam, bye. Jangan nambahin apapun kecuali semua harus di-clear-in secepatnya. This world is full of drama. Everyone has it. Kita enggak bisa memaksa mereka untuk menjadi bagian dari kita. Wong kita saja kalau dicampuri urusannya, mencak-mencak.

Pokoknya, sama-sama tahu lah!

Tenangkan dirimu. Netralin saja say, enggak usah mikir aneh-aneh. Bertetangga itu asal nyaman, aman, damai, sentosa, lantas nikmat mana lagi yang kamu dustakan? Akhir kata, yok kita perbaiki diri. Karena semakin diri kita merasa bahagia dan nyaman, niscahya akan berpengaruh pada sikap kita ke lingkungan sekitar.

Salam.

You May Also Like

0 komentar