#MemesonaItu BERANI MENJADI DIRI SENDIRI

by - March 22, 2017


Halo!
Namaku Yosa, hari ini aku adalah seorang creative freelancer dan full time mother. Sebelum kalian membaca, pastikan cerita ini bukan keangkuhan, melainkan pengalaman yang kuharapkan mampu kalian rasakan.

Aku dibesarkan di keluarga yang sibuk dan cuek. Mama bahkan ngga ngerti tentang ASI, Papa selalu takut membiarkan aku pergi. Kata Mama, aku anak yang minder, sedangkan kata Papa, aku anak yang mudah putus asa. Satu hal yang membuat mereka menjagaku terlalu ketat: tubuhku terlalu kecil untuk dunia yang besar.

Ya, dengan tinggi sekitar 150 cm, aku tidak cukup percaya diri. Kemandirianku justru lahir sejak aku memutuskan minggat dari rumah demi ngotot kuliah di jurusan (televisi) pilihanku. Aku isi hari-hariku di rumah nenek, belajar dan mengikuti bimbingan supaya lolos masuk di sebuah institusi seni di Yogyakarta. Aku sudah memikirkan tentang bagaimana kuliah sambil bekerja. Namun, akhirnya Papa menemuiku dan bersedia membiayai kuliahku dengan syarat lulus tepat waktu.

Jarak 45 km cukup membuatku merasa membutuhkan dan belajar bersosialisasi. Pintu hati yang tadinya aku kunci rapat, perlahan aku buka dan biarkan berjabat tangan dengan orang lain. Berteman sesuka hati, mencari pengalaman dan saling berbagi. Semakin hari aku tumbuh menjadi pribadi yang kokoh dan punya visi misi. Aku belajar dan berusaha untuk memperbaiki diri. Aku mencari celah untuk menghilangkan sikap ketus ini lewat seringnya berkomunikasi. Aku sibuk menenggelamkan diri di berbagai kegiatan yang tidak jarang membuat mataku sayu. Dan bahkan aku tidak tahu bagaimana rasanya menjadi cantik memesona seperti seharusnya.


Aku kuliah sembari bekerja dan lulus S1 di umur 23 tahun. Melalui KKN dan magang dengan gamblang. Lunaslah sudah hutangku pada Papa.

Setelahnya, aku didaulat menjadi pegawai tetap di sebuah production house dan mendapat standing applause dari keluarga. Rasa ketakutan Mama Papa terjawab dengan keberhasilanku yang mereka akui: tepat waktu. Akhirnya mereka bangga. Namaku ada di beberapa credit title program televisi. Hari-hariku sibuk dengan casting, bertukar ide, menuangkan ke naskah, mengatur waktu dari pra hingga paska produksi. Pun dengan jam kerjaku yang pergi pagi pulang pagi. Yang orang tuaku tahu, menjadi seorang Line Producer adalah aman.

Tapi cerita bahagia tidak sampai situ. Aku lalu merasa jenuh dengan hiruk pikuk dunia hiburan, kepala sering pusing karena tertekan, dan drama tak lebih dari kita sendiri yang buat. Aku memutuskan resign kerja dengan alasan mau menikah. Bukan karena siapa-siapa, tapi mutlak karena pilihanku sendiri. Banyak yang menyayangkan bahwa keputusanku salah, karena karirku sedang bagus dan diunggulkan. Termasuk Mama Papaku. Baginya, kemapanan adalah yang utama. Tapi dibenakku, apapun pilihanmu, tetap akan menimbulkan komentar yang orang lain seakan lebih tahu.

Mama pernah bilang bahwa menjalani hidup sesuai pilihan kita adalah kebanggaan, dan Papa menambahkan bahwa menjalani hidup yang bukan kita sukai adalah tantangan. Jadi apabila kita dihadapkan pada suatu masalah berat, pasti ada jalannya, karena manusia diberi Tuhan akal pikiran.

Aku melakukan semua kehidupan ini dengan ringan, melalui masalah yang tadinya membuat bimbang menjadi kekuatan. Kini, aku bangga menjadi Ibu Rumah Tangga dan Pekerja serabutan. Sebuah posisi di mana aku bisa memberikan kasih sayang penuh untuk si buah hati, dan membagi waktuku untuk lincah mencari rejeki kesana kemari. Aku tidak lagi tergiur oleh jabatan dan posisi. Di saat yang lain berdandan, aku sibuk mencuci pakaian. Di saat yang lain upload menu makan siang, aku sibuk nyuapin anak. Di saat yang lain terlelap, disitulah aku harus memulai mengetik. Segala kelelahan ini telah dibayar sempurna dengan sebuah kebersamaan. Berdekatan dengan Suami dan Anak adalah sebuah kehormatan.


Pikiran ini begitu luas menjelajah impian, jemari kecil ini selalu siap menuturkan harapan. Aku tidak akan berhenti berlari. Pelan tapi pasti hidupku kemudian berubah menjadi pemberani. Berani mengubah. Mengubah kata mengeluh menjadi lebih bersyukur, mengubah cacian menjadi saran, mengubah suntuk menjadi bahagia, mengubah putus asa menjadi mengejar asa. Dimanapun, kepada siapapun, aku tetaplah aku. Si kecil yang siap dengan kejutan dunia. Si kecil yang mempunyai hati besar.

Tiada ingin ada adegan dan berperan menjadi siapapun selain aku. Tiada rasa menyesal sedikitpun dengan hidupku. Karena ketika aku berbuat kesalahan, disitulah aku tahu kebenaran.
Memesona itu berani menjadi diri sendiri. Ia tidak pernah berjanji, cukup buktikan dan syukuri.


Nah, cerita di atas adalah memesona menurut pengalamanku. Jadi apa memesona menurut versimu? Jika kalian ingin menceritakan hal yang sama, silahkan share dan ikuti:

BLOG COMPETITION #MemesonaItu

Kalo ngga punya blog, bisa juga daftar langsung dan nulis di micrositenya. Hadiahnya menarik lho. Yuk ikutan dan jangan lupa ajak yang lain ya.


You May Also Like

0 komentar