IF ONLY

by - December 12, 2018

Pada suatu ketika, aku pernah nangis sejadi-jadinya di depan Suami. Entah karena masalah apa, yang jelas, aku ngerasa hidupku lebih banyak berubah. Tepatnya banyak yang terjadi di luar dugaan. Mulai dari Papa Mama cerai, kerjaan yang enggak stabil, sampai... kita harus memutuskan pindah ke Magelang. Sebuah kota asal yang sama sekali enggak aku impikan untuk menjadi masa depan keluarga.

Kalau hidup boleh menyesal, maka hal yang pertama kali aku teriakkan adalah: KENAPA SIH SETELAH MENIKAH MASALAHKU TAMBAH BANYAK!



Boleh dibilang wacana menikah memang sudah ada sejak zaman kami setahun pacaran. Gimana ya, waktu itu sudah sama-sama kerja, sudah berpenghasilan tetap, ada tabungan, terus umur juga makin tua. Oh enggak, aku bukannya menikah gara-gara dibatasi umur, cuma aku tuh kepikiran kalau aku nunda-nunda menikah, terus aku harus hamil padahal umur sudah tua, ya apa aku kuat. Mengingat aku kecapekan syuting dikit saja ngedrop kok!

Kami menikah setelah 4 tahun pacaran. Enggak ada masalah berarti sih sebenernya dalam hubungan kami, hanya saja, ada beberapa hal yang sempet bikin aku nyesel enggak ketulungan karena setelah punya anak, kita kayak enggak siap gitu loh. 

Pertama, Mama bilang sudah masukin berkas ke pengadilan, pagi hari setelah malamnya, aku melahirkan secara caesar. Kedua, aku baby blues dan mastitis, yang bikin aku enggak bisa ngapa-ngapain. Termasuk enggak bisa terima tawaran kerjaan syuting. Ketiga, hubunganku sama mertua yang jadi agak renggang karena yang mereka tahu, perceraian adalah hal yang tabu. Triple combo perihnya. 

Anehnya, saat itu aku meyakini bahwa gimana pun juga, semua adalah akibat dari kami berdua enggak siap lahir batin dalam menikah. Kadang sampai nyalah-nyalahin Suami gitu karena enggak tahu lagi mau gimana.

Iya tahu, menikah perlu perjuangan bersama-sama, tapi ya kan enggak separah ini cobaannya. Kayak  semua tumplek blek enggak kira-kira. Di benakku, jika aku bisa mempersiapkan diri sedetail mungkin, paling enggak, bisa meminimalisir drama.

Salah satu hal yang aku persiapkan dan sesali adalah: Kenapa aku enggak lanjutin kuliah S-2 biar karirku mentok segini-segini saja?

Actually, inilah pangkalnya.

via GIPHY

Memang jauh sebelum nikah, pas aku asik-asiknya dapat duit hasil kerja, cita-citaku adalah bisa melanjutkan studi. Sudah cari-cari Universitas baik itu di Yogya, Bandung, atau di Jakarta. Cuma masalahnya, aku kesusahan ngatur jadwal kuliah. Habis gimana, tiap hari crew call pagi tapi pulang juga pagi lagi. Bermimpi bisa sekolah lagi cuma bisa aku lakukan kalau resign. Paling enggak, jadwal bisa diatur kalau kerjaan juga enggak kerja rodi begini.

Fast forward, cerita kemudian adalah berhasil resign, lalu memutuskan jadi freelancer. Di sini sudah agak enak nih buat memilih kerjaan, tapi kenyataannya kan enggak gitu. Freelancer kalau enggak ubet ya enggak ngliwet. Mana ada kita bisa ongkang-ongkang enggak kerja, lah duitnya nanti dapat dari mana. Aku terus sibuk cari kerja, dan lagi-lagi impian S-2 jadi terlupakan. Sampai menikah.

OK, pas memutuskan menikah pun aku sempat berpikiran, "alah, nanti gampang deh bisa lanjutin S-2 kan bisa aku sambi". Padahal realitanya? Ya yang sudah aku jelaskan di atas tadi. Plin plan enggak sih?

Buatku misal misi aku bisa sekolah lagi ini berhasil, paling enggak, bisa menunjang karirku. Aku lebih bisa diakui, lebih bisa dibanggakan, lebih banyak project yang berdatangan, dan barangkali nasibku enggak gini-gini amat. Pengen sih sebetulnya biar Papa Mama enggak pisah, biar deh aku yang tanggung beban mereka, yang meluruskan semuanya. Cuma apa ya bisa aku satukan lagi kalau sudah kadung sakit hati? Jawabannya kan enggak.

Lama-lama aku pun terdasar sendiri, bahwa manusia memang sering menyesal sama pilihannya. Gimana kalau dulu begini, mungkin akan begitu, itu lumrah terjadi. Padahal kita sendiri enggak tahu loh misal kita memilih opsi lain, keadaan akan berubah lebih baik atau justru lebih buruk.

Waktu aku nangis di depan Suamiku, semua lalu melebur jadi satu. Suami lalu ngomong gini ke aku: "Kamu tahu enggak, yang seperti ini sudah aku prediksikan sejak kita pacaran. Itulah kenapa aku enggak kunjung melamarmu dan enggak buru-buru nikahin kamu. Tapi karena aku yakin kita sudah cinta dan bener-bener satu visi, aku yakin kita bisa berjuang sama-sama"

OH GOD, WHAT THE HELL AM I DOING?


via GIPHY


Ini aku nulisnya juga sambil berkaca-kaca kok. Karena beneran deh, ternyata kadang aku terlalu egois dan mikir menangnya sendiri. Sudah nikah kan harusnya sadar hidup kita telah terbagi. Mana sudah punya anak, buat apa menyesali keadaan terus-terusan. Aku harus mikirin juga kesehatan Suami sama anak, jangan sampai gara-gara aku stress, suasana rumah jadi enggak nyaman.

Perlahan aku mulai berdamai dan banyak-banyakin bersyukur. Aku balik berpikir, kalau misal dulu aku S-2, apa aku bisa bersikap legowo dan realitis kayak gini? Misal Mama Papaku enggak jadi cerai, apa mungkin hubungan mereka tetap erat sepanjang hayat? Misal aku enggak mastitis dan baby blues, dari mana aku dapat pengalaman berharga dan bisa sedekat ini sama Suami?

Hence, aku sadar banget, pilihan yang sudah kita pilih, tentunya adalah yang terbaik bagi kita asal kita bisa menyikapinya dengan benar. Cobaan bukan melulu soal tekanan hidup, bahkan kepuasan dan kekayaanpun kadang bermata dua. Di sisi lain membuat bahagia, di sisi lain kita lalai akan kewajiban kita: bersyukur terhadap apa yang kita punya.

#BloggerPerempuan
#BPN30dayChallenge2018
#day 23

You May Also Like

1 komentar

  1. I can relate. Sering merasa begini. Bahkan pikiran terburuk yang pernah melintas adalah “jangan - jangan keputusan untuk menikah yang saya ambil dulu salah?” Ngerasa nggak siap gitu dengan konflik pernikahan dan jadi ibu itu ternyata susyaaah. Tapi karena sudah terjadi paling penting memang berdamai dan cari cara supaya bisa tetap Happy. Allah pasti tahu yang terbaik buat kita.❤️❤️❤️

    ReplyDelete