I AM JUST ME - THE WAY I AM

by - April 16, 2021

Dulu, ada seorang teman yang bilang gini: "yosa, aku ngelihat fotomu kenapa kok kalau senyum kayak enggak los? Kayak tertahan? Are you really happy, atau cuma tersenyum karena kepaksa?"

For the sake of sanity, saat itu juga aku berpikir bahwa mungkin yang temenku bilang itu banyak benernya. 20 tahun lebih aku ngerasa selalu disetir oleh orang-orang terdekatku. Even cuma soal beli baju, milih jurusan, menerima apa yang mereka mau, soal potongan rambut, soal style, soal selera... Nyaris semuanya! Karena sekalinya aku memilih sesuatu, seringnya dikomentarin: "lh, norak!" 

Over the years, I didn't get myself the way I am. 


Posting-an ini sama kayak 3 postingan BPN 30 Day Ramadan Challenge sebelumnya, yang enggak tahu kenapa jatuhnya kok mellow terus. Soalnya jujur saja nih, jarang sebenernya yang nanya soal personal hidupku. Paling sering denger ya Suami dan anakku. Almost everyday aku ceritain dikit-dikit, karena sering skip memory masa kecil. Kadang kalau inget dulu kecil ngapain aja, biasanya Suami dan anakku kayak bingung like: "lha kok bisa? Masa sih segitunya?"

Sedangkan circle-ku yang sekarang ini mungkin bakal bingung karena ketika aku bercerita, aku pasti terlihat sangat berbeda dengan sosok yosa yang aku ceritakan. Ya gimana ya, dulu aku beda banget! Dari segi penampilan wae, aku tuh mungkin terlihat sangat ndeso dan enggak punya selera. Kaosnya kaos distro yang beli di pinggiran jalan, celanany cutbray yang terkenal pada masanya, rambut juga bercabang enggak terawat, wajah pula berjerawat. Sudah gitu, wawasanku juga enggak seluas sekarang, karena waktu aku remaja, aku enggak banyak keluar rumah, enggak banyak temen deket, dan enggak open minded. Wes pokoknya komplit. Aku ngerasa dulu sering didoktrin aneh-aneh baik oleh orang tua maupun guruku. Parahnya, dulu enggak bisa ambil yang baik, buang yang buruk. Semua yang aku tangkep, dengan mudahnya aku terima. Aku enggak bisa nolak sama sekali, simply because I have no other choice.

Enggak berlebihan rasanya kalau aku selalu bilang bahwa sudah bisa mendapatkan kebebasan sejak punya uang sendiri. Aku mulai mencari jati diri di umur 23 tahun, setelah lulus kuliah. Lambat memang, tapi aku janji bakalan kejar setelahnya. For you info, selera musik dan selera berpakaianku sudah lebih mendingan waktu kuliah. Kalau enggak punya uang, aku carinya baju-baju thrift mulai dari kaos, vest, jacket, sampai sepatu. Aku juga sudah banyak mendengar musik-musik indie, dan nonton film sebagai rutinitas harianku. Seleraku memang sedikit diubah oleh teman-temanku, anyway thanks guys. But again, seiring tumbuh kembang kita, bukankah memang passion dan selera bisa berubah dan dipengaruhi banyak hal? Jadi itu merupakan hal yang wajar, I owe you nothing lah ya, wong kalian yang secara sadar mempengaruhiku untuk tumbuh lebih baik? Isn't it?

Lalu aku perlahan mendapat asupan soal selera. Cuma kalau soal kebebasan, masih jauh kayaknya. Waktu itu kalau aku agak nyentrik dikit, masih dinyinyirin. Dengerin musik mainstream bentar, dibilang labil. Serba salah, semua kok rasanya harus nurutin apa kata orang.

Ketika aku kerja, alhamdulillah aku bisa beli apa yang ku mau dengan uangku sendiri. Aku mulai suka beli majalah, yang dari situ lah, selera fashion dan style-ku bisa berubah. Aku bisa membeli syal, leather jacket, boots, dan aku bener-bener menemukan kebebasan berekspresi. Sampai aku pacaran dengan teman sekantorku yang kini jadi suamiku, boro-boro dia ngelarang, malah makin mendorong menjadi apa yang aku mau. Iya, Mas Didit adalah orang yang membentukku menjadi seperti sekarang ini. Misal Mas Didit kurang sreg dengan pilihanku, dia enggak memaksaku harus sama dengan keinginannya, tapi dia menyampaikan secara sopan. Contoh sepelenya adalah rambut panjang. Seingatku, terakhir aku berambut panjang tuh SMP, setelah itu sampai kerja, rambutku sering cepak dan trondol, padahal kayaknya memang enggak cocok sama bentuk wajahku.

Nah, ketika Mas Didit bilang, "coba deh, rambut kamu dipanjangin", aku pun sejujurnya juga enggak ngerasa dipaksa sih. Aku melakukannya dengan senang, karena ya memang dicoba apa salahnya? Kemudian setelah setahun berselang, aku bisa berambut panjang, and for the very first time, aku perlahan merasa aku cantik sekaligus percaya diri! 

Well yosa, where have you been? T.T Pantes kalau dulu enggak ada yang suka sama aku. Dan pantes juga kalau Mas Didit bilang, "aku tuh ketika ketemu denganmu, aku sudah yakin kamu cantik, cuma ya belum glow up aja" Becanda sih, tapi benar adanya. For the sanity of my life, Mas Dit bener-bener ngebebasin aku milih yang aku suka, sekecil: aku masih bisa dengerin Backstreet Boys di sela-sela playlist musik random-ku. 

Singkat cerita, sampai kami menikah dan punya anak, Mas Didit makin mendorongku untuk memilih yang aku mau. Nah, jangan salah kaprah dulu ya. Sebelum aku memutuskan sesuatu, aku juga harus sadar diri dulu. Ketika aku memutuskan sesuatu, dan memilih sesuatu, tentunya sudah aku pertimbangkan secara matang baik buruknya. Apalagi sekarang sudah punya anak. Rasanya kok keterlaluan, kalau aku terlalu bebas enggak punya aturan.

So, if we decide to make rules, definitely this is by mutual agreement. Yang tidak memberatkan dan menyinggung satu sama lain. Aku bersyukur banget karena ini berpengaruh pada karirku. Waktu gadis, banyak cita-citaku yang belum kesampaian, tapi ketika sudah menikah dan kita menemukan orang yang tepat, ternyata kita bisa tuh melanjutkannya tanpa ngerasa sia-sia. Aku ngomong gini karena beberapa diantara temen-temen yang lain sering ngerasa karirnya mandeg karena udah berumahtangga, ataupun yang ketakutan belum menikah dan selalu berpikiran kalau habis menikah pasti semua serba terbatas. Aku akui keterbatasan itu ada, waktu yang aku miliki juga enggak sama kayak dulu saat masih belum punya anak. Tapi itu karena sekarang aku lebih manage waktu saja. Mana porsi untuk di luar, mana porsi untuk family time. Ku pikir itu adalah hal yang masih wajar.

Soal karir, justru sekarang aku makin jauh berkembang dari waktu belum menikah, Prosesnya memang panjang, melalui banyak babak belur dan baku hantam, tapi jalannya pasti. Aku juga sadar, bahwa memutuskan menjadi freelancer habis lahiran, ternyata memang jalan yang paling cocok, at that time. Alya bisa full ASI sampai 2 tahun, aku juga bisa melihat potensiku lebih detail lagi lewat segala keterbatasan. Aku mulai meniti jalan lain dengan menulis apa saja, membangun link, menyebar benih kebaikan, didukung Suami yang selalu menyemangatiku agar jangan sampai patah arang. Masa-masa itu memang sulit, tapi keluarga kecilku selalu ada dan meyakinkan kalau aku bisa. Bisa menjadi apa yang aku cita-citakan, dan bertanggungjawab atas pilihan yang aku putuskan. Aku bisa mengenal diriku lebih dalam, aku bangga dengan aku yang sekarang. 

Mungkin kalau kamu lihat foto-fotoku yang sekarang, akan jauh berbeda dengan foto-foto lamaku. Aku sudah percaya diri, aku sudah paham dengan diriku sendiri. Aku enggak malu lagi.

Sampai saat ini aku bisa menjadi penulis skenario yang didukung suami dan anakku, tentunya ini adalah hasil dari proses berjuang bersama. Belum selesai, tapi aku sudah banyak mendapat makna atas pencapaian tertinggi dari hidup: Aku mendapatkan diriku apa adanya, setelah bertahun-tahun lamanya.

Jadi, kalau ada orang yang ingin mengubahku dengan paksaan dan menyuruhku untuk sama dengan pikirannya, sekarang kamu tahu kan jawabannya?


#BloggerPerempuan
#BPN30dayRamadanBlogChallenge2021
#day 4

You May Also Like

0 komentar