MUDIK DI KALA PANDEMI

by - April 11, 2021

Eh sorry, ini bukan mudik lebaran ya, tapi pulang kampung di saat yang diperlukan. Bukan kampung halamanku, tapi punya suami yang lokasinya di Pangkalan Bun Kalimantan Tengah. Jauh sih enggak wong cuma sejam naik pesawat dari Semarang dan langsung turun di kotanya. Tapi kalau milih naik kapal, perjalanannya bisa sampai 24 jam tergantung ombak, terus nanti bakal turun di Kumai. Baru deh perjalanan darat sekitar 45 menit ke Pangkalan Bun.

Sejujurnya, selama ini kalau ke Pangkalan Bun bukan soal waktu, atau jaraknya, cuma masalah biaya. Belum harga tiket yang naik turun, belum biaya sehari-hari hidup di sana yang cukup berbeda harganya, belum sekarang pandemi. Banyak! Nah, aku cerita pengalaman mudik kemarin saja ya.


Some of you pasti bertanya, "yosa kamu kan habis Covid-19 kok berani perjalanan jauh sih?" Iya Guys, begini ceritanya.

Jadi adek iparku nikah awal maret lalu. Kami sudah izin enggak datang, jauh sebelum kena Covid. Alasannya karena lagi bener-bener bokek, mana Alya kan mau masuk SD dan sudah mulai bayar-bayar uang gedung, seragam, dan fasilitas. Singkatnya, kami memang enggak ada rencana gitu. Bahkan kain seragam buat acara nikahan juga enggak kunjung kami jahitkan. Semua oke, fine, dalam gelombang ketenangan. 

Lalu di suatu hari ketika kami fix sembuh dari Covid, eeeh... Mertua tiba-tiba nyuruh kami tetap datang sambil agak memaksa. Kata beliau, "ya masa enggak datang? Enggak kompak dong?" Seakan terdengar gemuruh kilat di siang hari..DUNG JRENG! Seketika itu juga semua berasa harus cepat, padat, senyap! Kalau kata Suami, "titah Mamah is everything". Okay, tanpa pikir panjang, kami sepakat ke Pangkalan Bun apapun yang terjadi. 

Langkah pertama yang kami lakukan tentu saja mencari tiket, karena konon makin mendekat hari yang kita inginkan, harganya bakal lebih mahal. Jadi, ketika kami dapat tiket dengan harga yang masuk akal, ya sudah, langsung kami booking dan bayar. Kami memutuskan untuk booking pulang-pergi sekalian, yaitu dari tanggal 28 Februari 2021 sampai tanggal 7 Maret 2021. Booking-nya online pakai aplikasi Tiket dot com. Ini bukan endorse ya, tapi aku memang lebih sering pakai aplikasi ini ketimbang Traveloka. Kami memutuskan untuk di sana selama semingguan saja, soalnya kalau kelamaan, kerjaan kami juga bakal numpuk!

Langkah kedua, kami langsung cari penjahit buat jahit seragam keluarga. Agak susah karena mau nyari yang bagus, rapi, tapi juga cepet. Ada pasti mahal, cuma aku sampe harus menimbang-nimbang, sampe nanya-nanya, kemudian akhirnya dapat juga. Ya walaupun nantinya agak mepet hari H keberangkatan dan hasilnya agak kurang rapi. But it's okay. Aku masih maklumi wong harganya juga standart dan pengerjaannya cepet. 

Langkah ketiga, kami bertiga jaga kesehatan! Ini terpenting. Kami enggak mau sakit lagi yang bikin gagal enggak mudik. Kami harus jaga kondisi, harus makan teratur, makan sehat bergizi, dan enggak boleh begadangan. FYI, recovery dari COVID-19 itu enggak sebentar. Sebulan setelah isoman, kami masih merasakan gampang capek, energinya sudah enggak sama. Beruntungnya, makin hari makin biasa. Bukan yang long covid-10 juga.

Setelah semua persiapan kelar, sehari sebelum berangkat, kami swab antigen di Klinik Pramitha. Buat yang belum tahu, saat ini swab antigen sifatnya wajib ya untuk bisa naik pesawat. Kami milih Pramitha, karena selain dekat, juga sudah terhubung dengan aplikasi e-HAC, electronic Health Alert Card. Harganya sekitar Rp 250.000/ person. Setahuku, Pemerintah memang memberlakukan standart tarif swab antigen supaya terjangkau dan tidak ada kesenjangan biaya. Karena Alya sudah hampir 6 tahun, dia juga harus ikutan swab antigen. Naaah, kan waktu aku dan Suami kena Covid-19 itu Alya pernah swab, jadi ini pengalaman keduanya. Anaknya enggak rewel sih, justru kelewat excited dan sempet bikin tik tok segala. Tapi yaaaa begitu dicolok, wuaduuuuuh teteup nangis sist.


Okay back to topic. Alhasil hasil swab kami bertiga tuh negatif semua. Aman, dan diperbolehkan terbang. Oh iya, nanti kalau kalian swab untuk kebutuhan penerbangan, jangan lupa minta bukti fisik berupa print kertas ya, karena nanti sewaktu di Bandara akan dicek dulu. Ketiga kertas ini lalu kami masukin ke tas jinjing yang bisa kami bawa kemana-mana biar enak ambilnya.

Anyways, aku sendiri masih ngganjel karena dalam bayangan kami, mudik saat pandemi, duitnya bakal lebih banyak. Selain diwajibkan swab antigen, harga tiketnya kan naik. Nah, ini ngaruh ke maskapai yang kami tumpangi. FYI, Pesawat boeing rute Semarang-Pangkalan Bun sementara diberhentikan. Adanya ATR, alias pesawat kecil (baling-baling). Perjalanan enggak begitu ngaruh sebenernya, bedanya cuma terbang lebih rendah, lebih lama, dan lebih bising. 

Yang paling kerasa tuh ada di bagasinya. Ada sih NAM AIR yang bagasinya free 10 kilogram, tapi kami dapatnya tiket pesawat WINGS AIR dengan free bagasi 5 kilogram/ person. Kenapa kok enggak pilih NAM AIR, waktu itu yang termurah soalnya WINGS AIR, harga NAM AIR bisa 2 kali lipatnya sendiri. Beruntungnya, balik ke Semarangnya dapat juga tiket NAM AIR dengan harga yang sama kayak WINGS AIR, yeay! Jadi pulang bisa bawa oleh-oleh.

Bedanya kalau Wings Air, semua barang naik ke kabin, bukan ke bagasi. Alias kalau lebih dari 5 kilogram per orang, otomatis nambah biaya untuk masuk ke bagasi. Jadi kami sempet pusing packing saking harus masuk kabin semua, haha. Kami pakai 3 tas utama: tas ransel berisi laptop dan daily use products, tas jinjing besar berisi pakaian, dan tas koper kecil isinya baju-baju Alya. Memang cuma seminggu, tapi bawaannya banyak termasuk gamis, kemeja, jas, sepatu, dan perlengkapan formal ala nikahan lainnya. Pokoknya dipersiapkan lebih matang ketimbang biasanya. Menghindari over bagasi, menghindari keluar tambahan biaya lain-lainnya. 

Hari H, kami berangkat dari Magelang habis subuh karena jadwal terbang jam 09:30 WIB. Untuk jadwal check in sendiri 2 jam sebelum, jadi kami harus sampai Bandara Ahmad Yani sekitar pukul 07:00. Alhamdulillah sampai sana tepat waktu dan langsung check in. Suasana Bandara enggak kayak biasanya sih, lebih sepi, beberapa toko tutup, dan penumpang tidak ramai seperti biasa. Oh iya, meski diwajibkan swab antigen, tapi untuk protokol kesehatan sendiri berbeda tiap maskapai. Pesawat WINGS AIR yang aku tumpangi, cukup dicek pakai thermogun, dan langsung duduk di seat yang sudah dipilih waktu check in. Yang nanya ada social distancing enggak, jawabannya TIDAK. Penumpangnya cukup penuh dan sebelah-sebelahan. Nah, karena ATR, seat-nya itu dua dua. Aku sebelahan dengan Alya, sedangkan Suami berada di seberang kursi. 

Perkiraan perjalanan memakan waktu sekitar 1 jam 30 menit, tapi kayaknya enggak selama itu deh. Memang bising juga, cuma enggak mengganggu yang gimana banget. Apalagi wow, cuaca hari itu cerah sekali guys. Suka deh, lihat awan gendut-gendut dipadu dengan langit biru. Aku yang sebenernya masih takut terbang, saat itu hatiku jadi tenang hehe.


Sampai Pangkalan Bun, kami langsung turun dan disambut suasana terik. Beda banget sama di Magelang cuy hehe. Kami nunggu bagasi dulu kurang lebih 15 menit, setelah itu dicek aplikasi eHAC.... dan eng ing eng! Ternyata sampai sana nama-nama kami belum tercatat. Yang katanya langsung dicatat di Pramitha, tapi namanya kosong. Asli ini jadi lama banget nunggunya, enggak tahu dimana kesalahannya. Huhuhu. Ngisinya enggak ribet sih, cuma harus buka KTP dan posisi kami udah bawa barang banyak banget. Mana Petugasnya itu kedapetan yang agak jutek mampus! Ya enggak apa-apa sih, mungkin capek juga karena banyak banget melayani orang kan. Jadi ya, aku yang harus mengalah.

Kami sampai rumah Mertua tepat pada jam makan siang dan sudah disambut menu makanan yang wooooow banyak banget!!! Ini perlu aku ceritain dalam satu blog post kali ya haha. Dan abis itu saudara-saudara banyak yang datang. Jujur kadang lupa protokol kesehatan, dan agak mengabaikan, tapi kalau aku pribadi, aku tetep maskeran! Aku ndak mau COVID 19 dua kali, capek sist. Selama persiapan pernikahan, hari H, dan paska pernikahan aku, suami, dan Alya sebisa mungkin menerapkan protokol kesehatan. Masker on almost seharian kecuali tidur, makan, dan mandi. Maskernya masker medis dan diganti 4 jam sekali. Jaga jarak walaupun agak susah, tapi meminimalisir sentuhan. Cuci tangan sesering mungkin, pakai hand sanitizer kalau pas enggak memungkinkan. Mungkin kayak, "halah... wong rame-rame gitu kok, impossible". Ya monggo, aku yang ngelakoni kok say. Aku enggak ngadi-ngadi. Tapi aku juga enggak mencari pembenaran. 2 tahun lebih kami enggak mudik, jadi kalau misal pernikahan adek iparku ini aku enggak ikutan pulang, rasanya kok ya keterlaluan. Terbukti mertua, dan adek-adek yang lain juga perlu bantuan. Jadi, mudik kami kali ini ya memang diperlukan. 


Sekian cerita mudik kala pandemi ini yah. Kami ada rencana mudik lagi mungkin habis lebaran, karena melihat situasi dan kondisi. Kami bukan orang yang sak klek juga sih, cuma ya harus dilihat bagaimana tingkat kebutuhannya. Kalau kalian mau mudik, make sure semua aman, sesuai anjuran Pemerintah, jangan lupa menerapkan protokol kesehatan, dan jaga diri kalian semua untuk kebaikan orang-orang di sekitar.

See ya.

You May Also Like

0 komentar